Mayang menatap kosong ke arah pintu. Hari-harinya dia habiskan dengan melamun. Dalam suasana yang hening. Tanpa seorang pun yang menemani. Hanya sesekali suster yang masuk untuk mengecek kesehatannya, membantunya makan, dan minum obat.
'Anakku.' Mayang bergumam. Sampai detik ini dia belum bisa bertemu dengan bayi yang bahkan belum di kasih nama itu. Mayang menjadi teringat sewaktu dulu. Pertama kali Devi lahir. Sapto begitu antusias menemaninya. Dia juga yang menyematkan nama Devi Trisna Ayuningtyas.
Kala itu, mereka sangat bahagia sekali. Sebagai keluarga kecil yang lengkap.
Namun sekarang, semuanya berubah.
Tidak ada Sapto dan Novi yang menemani. Keluarga yang utuh selama bertahun-tahun harus kandas dalam sekejap saja. Mayang merasakan kehampaan yang luar biasa.
Drrtttt…Drtttt…
Mayang menoleh pelan. Ponsel yang tidak tersentuh sama sekali itu tampak bergetar. Dia tersenyum remeh. Memangnya ada orang yang memperdulikannya?
"Halo, Mayang. Kamu apa kabar?" Suara wanita yang terdengar renyah dan ceria. Mayang yang tahu itu siapa langsung menanggapi. Namun, terlebih dahulu, dia berdeham sejenak.
"Baik, kamu apa kabar Andini? Masih di Lombok?"
"Aku pulang kampung nih sekarang. Kangen banget sama kamu. Oh, iya boleh kan kalau aku mampir ke rumahmu sekarang? Kangen banget sama keponakanku, Novi. Pasti dia sudah besar ya sekarang."
Mayang tersenyum kecut. Andini, sahabatnya semenjak kelas satu SMP. Sering menghabiskan waktu bersama. Melanjutkan SMA dan kuliah yang sama. Saking dekatnya, mereka dikira ada kelainan karena selalu berdua. Padahal kenyataannya tidak.
Sampai Andini harus mengikuti suaminya yang Bule pindah ke Lombok. Di sana mereka membangun bisnis restoran yang cukup sukses. Setelahnya, mereka hanya berhubungan lewat video call saja.
"Kok diam sih Mayang? Kamu enggak apa-apa kan? Eh, suaramu serak gitu? Kamu sakit?" Andini menurunkan nada bicaranya. Instingnya mengatakan kalau sahabatnya sedang tidak baik-baik saja.
"Ceritanya panjang, Din." Suara Mayang bergetar. Sumpah Mayang benci dengan dirinya yang tidak bisa bersikap normal. Meskipun beban yang dia derita sungguh berat.
"Kamu ada masalah apa Mayang, sahabatku? Kenapa enggak cerita!" kejar Andini. Dari nada suaranya terdengar dia menyesal karena tidak tahu masalah yang menimpa sahabatnya.
"Datang saja ke rumah sakit kota, Din. Ruang kenanga nomer 7."
"Hah? Rumah sakit? Ok aku segera ke sana. Tolong ketik nomer ruangannya, takut lupa."
Mayang mengetik yang diminta Andini. Sahabatnya itu memang paling gercep tapi lupaan.
Begitu dia meletakan ponsel, tiba-tiba ruangannya dibuka. Terlihat seorang suster memunculkan diri. Terlihat beberapa orang yang sedang berdiri di belakangnya.
"Permisi, Nyonya Mayang. Ada tamu yang ingin bertemu."
Mayang agak celingukan karena tidak bisa melihat jelas siapa yang bersama dengan suster.
"Siapa Sus?"
"Halo, Bu Mayang."
Belum sempat suster menjawab, Marwan menerobos masuk. Dia tidak sendiri. Ada Novi, Sapto dan juga Sari.
"Saya permisi dulu, Nyonya." Merasa Mayang familiar dengan para tamu itu. Suster pun pamit pergi.
Mayang diam. Menelisik satu persatu raut wajah dari para tamu yang tidak diundang itu. Sapto dan Sari yang terlihat tersenyum. Semakin mesra saja mereka sambil bergandengan tangan. Marwan dengan senyum bengisnya yang khas. Sementara hal yang membuat Mayang seperti ditikam adalah tatapan Novi yang tajam. Mayang tidak kuat melihat api yang membara begitu besar di kelopak mata Novi.
"Selamat ya atas kelahiran anaknya." Marwan mengulurkan tangannya.
Mayang hanya melihat tangan itu tanpa menyambutnya. Tatapannya beralih sinis ke Marwan.
"Aku tidak butuh ucapan selamat darimu. Yang aku butuhkan tanggung jawabmu atas anak itu."
Marwan menarik kembali tangannya. Sedikit menunduk sambil mengusap bawah hidungnya. Matanya yang bulat itu melihat Mayang dengan sangat santai.
"Tanggung jawab yang mana ya? Saya merasa tidak melakukan kontribusi apa-apa atas kehamilanmu."
Mayang mendelik. Tega sekali si bangsat itu berkata enteng. Padahal jelas, dia lah yang paling gencar menanam benih. Traktornya yang besar itu sudah membajak keseluruhan ladang Mayang. Benih cinta yang menjelma menjadi kehidupan baru.
"Setan kamu Marwan! Dia itu anakmu!" Mayang sedikit membangkitkan tubuhnya. Suara bentakannya menggema. Menandakan emosi Mayang yang sudah tidak terbendung lagi.
"Oh iya? Tahu darimana kalau itu anakku? Punya bukti?" Marwan menantang. Mayang hanya tersungut sambil menggeleng kepala pelan. Bisa-bisanya Marwan mempertanyakan hal yang sudah jelas kenyataannya.
"Saya punya bukti otentik kalau anak yang kamu lahirkan itu bukan anakku. Lihat sendiri."
Marwan melempar amplop yang dia pegang sedari tadi tepat ke wajah Mayang. Mayang mengambil amplop tersebut yang tertera tulisan hasil tes DNA.
"Ini…." Mayang tercekat. Hasilnya menunjukan bahwa Bayi itu bukan berasal dari Marwan maupun Sapto.
"Kamu lihat sendiri kan?"
"Tidak mungkin. Ini pasti rekayasa. Aku mau test ulang."
"Coba saja kalau kamu tidak percaya. Mungkin saja anak itu hasil dari selingkuhanmu yang lain. Sama Preman pasar misalnya." Marwan menguak masa silam Mayang yang dulu pernah digagahi preman gara-gara menolong seorang anak, tapi tunggu sebentar, darimana Marwan tahu?
"Preman itu pasti suruhanmu kan? Kamu sengaja menjebakku kan?" Mayang menuduh. Marwan terbahak dibuatnya.
"Kok kamu menuduh orang lain, padahal kamu yang enak-enak dengan preman itu. haha…."
Mayang menatap nanar. Kejadian di pasar itu adalah awal mula Mayang menyerahkan ladangnya kepada pria lain. Yang membuat Mayang terlena dan ketagihan. Namun, siapa sangka kalau semua itu ada sangkut pautnya dengan Marwan. Marwan sengaja menjebaknya. Ingin meruntuhkan egonya yang sering cuek kalau digoda Marwan. Setelah Preman itu berhasil menggagahinya, barulah Marwan beraksi. Membuat Mayang yang semula cuek menjadi sangat membutuhkan Marwan. Marwan memang si bajingan perusak haum hawa.
Mayang hendak membentak Marwan, tapi diurungkannya karena melihat tatapan Novi yang penuh kebencian. Sekarang semua aib Mayang terbongkar. Gadis itu pasti menganggap Mayang sebagai ibu yang buruk. Ibu yang sangat memalukan.
"Mayang, Mayang. Harusnya kamu introspeksi diri. Gara-gara kamu yang suka selingkuh. Keluargamu berantakan. Harusnya kamu berpikir dulu sebelum bertindak."
Mayang tak mampu membendung air mata. Bukan karena bualan Marwan. Melainkan meratapi kondisinya yang benar-benar menyedihkan.
'Seandainya, aku lebih bisa menahan hawa nafsuku, tentu hidupku tidak seperti ini. Tidak mengapa aku menjadi istri yang buruk bagi Sapto karena dia sendiri juga sama saja. Suami sampah macam dia memang pantas dibuang. Namun yang Mayang tidak terima adalah Marwan yang berhasil mencuci total pikiran darah dagingnya. Novi yang menjadi satu-satunya miliknya. Yang seharusnya menjadi tumpuan hidup Mayang, malah berbalik memusuhinya. Dunia benar-benar seakan runtuh.
"Lagian aku kasihan melihat kondisi anakmu. Mungkin akibat dosa-dosa ibunya yang begitu banyak. Maka anak itu menanggung karmanya. Kamu memang ibu pembawa sial, Mayang."
"Diam! Tidak ada yang memintamu untuk komen, Marwan. Segera angkat kaki dari sini!"
Mayang mengacungkan telunjuknya ke arah pintu. Tatapan matanya nyalang. Tidak hanya kepada Marwanm tetapi juga Sapto-Sari.
"Kamu tidak menanyakan tujuan kedatanganku ke sini?" Kali ini giliran Sapto berkata.
"Apa? Mau mengajukan cerai kamu?"
"Iya, ini tanda tangani, supaya aku bisa cepat menikah dengan Sari."
Mayang meraih amplop dan bolpen dari tangan Sapto. Dia muak dengan manusia-manusia tidak berperasaan ini. Di saat kondisi Mayang rapuh gara-gara si jabang bayi. Mereka malah menambah kesedihan Mayang.
"Sudah aku tanda tangani. Apa lagi yang harus aku lakukan supaya kalian cepat pergi dari sini?" Mayang tersungut. Dia sebenernya salah karena memarahi suaminya di depan sang anak. Namun, amarah Mayang tidak bisa ditahan-tahan lagi. Mereka sudah sangat keterlaluan.
"Ayo pergi dari sini, Sayang. Hawanya panas sekali di sini." Sari berpura-pura mengibas wajahnya dengan bahasa tubuh yang menjengkelkan.
"Novi Sayang mau tetap di sini, atau ikut kami pulang?" Sapto berkata kepada Novi yang masih terpaku.
"Sudahlah enggak usah kamu hiraukan ibu kamu. Dia itu wanita kotor. Lebih baik kamu ikut bersama kami saja. Ada Tante Sari yang lebih becus menjadi ibumu dibandingkan dia. Kamu juga boleh kok berhubungan dengan Marwan. Kamu lebih bebas kalau sama Bapak 'kan?"
Sejenak Novi mengalihkan pandangannya ke Sapto. Gadis itu mengangguk pelan. Kembali pandangannya teralih ke Mayang. Tidak ada kata yang terlontar, tapi dari tatapannya seolah ingin mengatakan selamat tinggal untuk selama-lamanya.
Mayang menatap sendu ke Novi. Menginginkan anak itu untuk tetap tinggal menemaninya. Namun, dia seolah seperti robot. Pikirannya sudah dikendalikan. Dia pun melangkah pergi bersama dengan Marwan, Sapto, Sari.
"Mayang, Apa yang sebenernya terjadi?" Andini menerobos masuk setelah kepergian mereka. Mayang yang sudah tidak tahan langsung memeluknya. Menumpahkan air mata di pundak sahabatnya.
"Kenapa Sapto dan Novi meninggalkanmu? Siapa wanita yang bersama Sapto? Terus siapa pria gemuk jelek itu?" Andini mencerocos, bahkan sampai mengejek Marwan. Kebiasan Andini yang tidak bisa hilang. Rasa keponya tinggi tanpa melihat situasi.
Mayang hanya terpekur dalam tangisnya. Bagaimana mau berkata kalau lidahnya saja sudah kelu. Andini yang merasa ada yang tidak beres pun hendak keluar menyusul mereka.
"Aku harus menemui mereka, Mayang. Keterlaluan sekali suami dan anakmu itu. Meninggalkanmu di saat sakit begini."
"Sudah, Andini. Jangan. Di sini saja. temani aku." Mayang mengamit kuat tangan Andini. Andini yang sudah terbakar amarah, terlihat sekali menahannya. Tidak ingin melihat Mayang tambah susah.
"Astaga, Mayang. Kenapa bisa seperti itu?" Andini berseru saat Mayang menceritakan semuanya. Sejelas-jelasnya tanpa ada yang ditutupi.
"Iya, Din. Ini semua salahku. Aku terlalu terbawa nafsu."
"Enggak bisa begitu dong. Kamu melakukannya karena terpaksa. Aku tahu kalau kamu itu orangnya setia banget, Mayang. Tapi, suami kamu yang tidak tahu diri. Dia diam-diam selingkuh. Bahkan di saat liburan dia juga selingkuh. Marwan. Pria gemuk jelek itu juga biang keladinya. Dia enggak pernah apa merasakan parang melayang. Dasar pria brengsek!"
Andini membual tidak karuan. Gemas dengan sikap pria-pria yang berani menyakiti Mayang. Coba saja kalau yang disakiti Andini. Sudah habis mereka.
"Sudahlah Din, abaikan mereka. Anggap saja mereka adalah kesalahanku di masa lalu, kecuali Novi kalau dia sudah menerimaku lagi. Sekarang aku ingin fokus kepada buah hati kecilku saja."
"Kamu yang tegar ya, Mayang. Aku yakin kamu pasti kuat menjalani ini semua." Andini melembut.
Tiba-tiba, seorang dokter masuk. Dia tergopoh-gopoh ke Mayang dengan wajah tegang.
"Nyonya, ada yang ingin kami sampaikan. Bayi anda tewas terpanggang di inkubator karena ada penyelinap yang sengaja menaikan suhunya."