"Kok bisa-bisanya ya Dokter teledor seperti itu? Kita harus tuntut rumah sakit itu, Mayang."
Andini berapi-api di samping Mayang yang bersimbah air mata di dekat kuburan kecil. Malaikat kecil yang keluar dari rahimnya tutup usia dengan kondisi mengenaskan.
Pihak rumah sakit sudah mengklarifikasi bahwa kejadian naas itu murni keteledoran pekerjanya. Tidak menyadari ada penyusup yang masuk dan menaikan suhu inkubator secara maksimal.
Aparat kepolisian langsung menuju lokasi. Mereka menyelidiki lebih jauh tentang khasus ini dan orang misterius yang sampai hati melakukan itu. Cctv menjadi petunjuk kuat untuk menguak siapa pelakunya.
"Menyamar menjadi perawat dan menggunakan masker. Sepertinya, dia adalah orang suruhan Marwan." Andini menduga. Semenjak pertama kali dia mendengar nama Marwan. Rasa benci langsung mencuat dari hatinya. Menyebutnya dengan sebutan 'Gendut Jelek'.
Mayang masih larut dalam tangisnya. Otaknya tidak sampai untuk memikirkan hal lain. Tentang apa alasan Marwan sampai tega melakukan itu kalau benar dia pelakunya. Mayang terlalu sibuk dengan kesedihannya sendiri.
"Kamu tenang ya, Mayang. Aku akan mencari pengacara handal untuk membantumu dalam kasus ini. Walaubagaimanapun, anakmu butuh keadilan." Andini merangkul pundak Mayang yang bergetar. Andini bagai ibu peri yang datang di saat yang tepat.
"Ayo, kita pulang."
Andini menuntun Mayang meninggalkan pusara itu. Terlihat Mayang tidak rela meninggalkannya padahal sedari siang sampai sore hari Mayang terpekur di sana.
"Untuk sementara kamu tinggal di rumahku ya sampai hatimu tenang." Andini menyarankan. Mayang hanya menurut. Tidak mungkin dia kembali ke rumahnya. Banyak kenangan pahit yang terjadi di sana. Semakin membuatnya pedih.
Mayang ditempatkan di kamar yang cukup luas. Rumah milik Andini memang Mewah dan megah. Sayangnya rumah itu hanya dipakai kalau Andini mudik bersama suaminya yang bule. Dia membayar orang untuk mengurus rumah itu.
Namun, ada yang mengganjal dalam benak Mayang. Sedari Mayang masuk ke rumah itu, Mayang tidak menjumpai siapapun. Termasuk suami Andini yang bule itu.
"Din, kamu mudik sama suami kamu kan?"
Wajah Andini berubah sendiri. Mayang merasa bersalah.
"Suamiku sudah meninggal sebulan yang lalu, Mayang."
"Astaga, Maaf Andini. Aku tidak tahu."
"Enggak apa-apa. Salah aku juga kenapa tidak memberitahu kamu. Aku terlalu kalut saat itu sampai lupa segalanya. Makanya aku memutuskan untuk tinggal di sini saja."
"Aku turut berduka cita ya, Din."
"Jadi, mulai sekarang kamu berniat menetap di sini?"
"Iya. Aku suruh orang untuk mengurus bisnis restoranku di Lombok. Sedangkan di sini, asal kamu tahu saja aku sudah membuka beberapa outlet."
"Wah hebat kamu, Din. Kamu memang berbakat kalau soal bisnis."
"Biasa saja kok." Andini merendah. Kepribadiannya yang supel dan banyak berkomikasi memudahkannya untuk membangun relasi dan pelanggan. Melengkapi Mayang yang cenderung kaku, apalagi kalau berinteraksi dengan orang baru. Makanya, Mayang merasa kehilangan sekali semenjak Andini memutuskan untuk pindah ke Lombok.
"Tapi, aku ada kendala nih."
"Kendala apa Din?"
"Itu Lho keponakanku dari pulau seberang. Dia kan bekerja di kota ini sebagai customer service sebuah bank. Beberapa bulan lalu, dia bilang kalau risen mendadak karena alasan yang enggak jelas. Sudah kusuruh buat mengurus outlet, dia enggak mau. Malah menjadi sales mobil. Udah gitu tinggal di kontrakan kumuh lagi."
Mayang terhenyak. Kenapa yang dibicarakan Mayang itu sama persis dengan Daud. Apa jangan-jangan Daud adalah keponakannya?
"Kalau boleh tahu bekerja di bank apa Din?"
"Bank apa ya? Aku lupa. Padahal dulu dia pernah bilang." Andini mengetuk-etuk kepalanya. Merutuki penyakit lupa yang sering kambuh.
"Yang jelas bukan daerah sini." Mayang bisa bernafas lega. Jadi besar kemungkinan yang diceritakan Andini itu bukan Daud. Pasti akan canggung sekali kalau sampai mereka bertemu nanti.
"Mayang, kamu mau enggak megang outlet aku?" Tiba-tiba Andini mencetuskan ide yang mengejutkan Mayang.
"Hah aku? Megang Outlet kamu?" Nada bicara Mayang mirip iklan sampo.
"Iya untuk daerah sini saja."
"Mana bisa aku, Din."
"Belum dicoba kok bilang enggak bisa. Nanti aku ajarin."
"Tapi, kan aku masih bekerja di bank."
"Din, aku bilangin ya sama kamu. Mau sampai kapan kamu bekerja di bank. Apalagi umurmu udah enggak muda lagi lho. Cobalah keluar dari Zona nyaman. Jadi pengusaha tidak sesesulit yang kamu bayangkan."
Mayang termenung. Menimbang perkataan Andini. Benar, usianya hampir di ambang pensiun. Cepat atau lambat dia pasti akan berhenti. Namun lebih dari itu, Hal yang membuat Mayang enggan bekerja lagi di bank lagi karena Stevan. Adik Marwan yang tidak kalah liciknya dari sang kakak. Dia trauma kalau dikerjai lagi.
Hal yang terpenting sekarang adalah menjauhi hal-hal yang berkenaan dengan masa lalunya yang suram. Ide untuk menggelola bisnis restoran tidak ada salahnya untuk dicoba.
"Ok, Din. Aku mau. tapi tunggu satu bulan dulu ya. sesuai prosedur mengundurkan diri."
"Nah gitu dong. Jadi aku tidak perlu susah-susah mencari orang yang dapat dipercaya karena aku sudah percaya banget sama kamu." Andini bergerak memeluk Mayang. Begitupun Mayang yang menyambut hangat pelukan itu. Menyatunya dua sahabat yang sudah lama terpisah. Meskipun sifat mereka bertolak belakang, tapi insting kewanitaan mereka sejatinya sama. Haus akan belaian lelaki.