Sampailah di bank di mana dia bekerja.
Dia memarkirkan mobilnya, baru kemudian bergerak menuju gedung berlantai dua itu.
Di depan pintu, tampak seorang sekuriti yang sedang memandangnya lekat dari setelah keluar dari mobil. Seperti kebanyakan pria yang seolah tidak bisa lepas dari tubuh Mayang. Hanya saja, Mayang bersikap santai saja. Meski pada awalnya dia merasa terganggu. Pandangan mata-mata nakal yang seolah ingin menelanjangi tubuhnya. Namun, semakin lama Mayang merasa biasa. Tidak mungkin dia memarahi setiap orang gara-gara memperhatikan tubuhnya. Mata-mata mereka jadi hak mereka mau melihat apa saja. Asal selama itu tidak berbuah pelecehan Mayang masih bisa mentoleransinya.
Sekuriti muda itu menyapa Mayang. Tidak lupa senyum lebar dia hadirkan. Mayang tidak pernah tahu kalau kehadirannya di bank ini adalah penyemangat sekuriti muda itu, juga beberapa staff pria lainnya. Mayang juga tidak pernah tahu, kalau dirinya sering menjadi bahan obrolan panas mereka. Bahkan tidak jarang ada yang berkata yang tidak-tidak. Ingin mencicipi atau bahkan men-gangbangnya bersama. Seliar itu pikiran mereka terhadap Mayang.
Sudah menjadi kebiasaan sebelum masuk ke bank. Terlebih dahulu sekuriti muda itu memeriksa tas milik Mayang dengan metal detector. Untuk alasan keamanan saja, tapi yang tidak Mayang ketahui bahwa lelaki yang dengan masa gairah yang menggebu itu mencuri pandang ke arah tubuh Mayang yang ada di dekatnya.
Apalagi aroma parfum vanilla yang berbalut dengan aroma tubuhnya membuat 'adik'nya di bawah sana gelisah. Entah kalau suasananya sepi, Bukan tidak mungkin sekuriti muda itu akan menarik Mayang dan memojokannya di kamar mandi. Untung saja, kewarasannya masih terjaga. Hal gila itu tidak akan pernah terjadi. Kecuali, kalau memang ada kesempatan dan situasinya mendukung.
"Mas, ngelamunin apaan sih?" Mayang berkata dengan gemas dan manja. Membuat sekuriti muda itu tersadar dari fantasi yang tidak seharusnya ada di kepalanya.
"Eh, bukan apa-apa Bu, silakan masuk."
Mayang menggelengkan kepalanya. Keheranan dengan sikap Pria yang mungkin terpaut empat tahun di atas Novi, anaknya. Sayangnya, Mayang tidak pernah tertarik dengan daun muda. Meskipun, kata teman-teman arisannya. Lebih menantang dengan tenaga yang lebih besar. Tapi, tetap saja tidak menarik karena tidak berpengalaman. Tidak seperti Marwan.
"Ah, kenapa aku terus teringat dengan Marwan terus." Mayang membatin. Lontaran kata-kata nakal kembali terngiang jelas. Seolah tidak ingin lepas dari pikirannya. Bagaimana pria itu begitu fasihnya memancingnya, bahkan secara frotal mengemukakan keinginannya untuk menemani Mayang. Menghangatkan ranjang Mayang yang sudah lama dingin.
Dan juga, sebenernya Mayang diam-diam memperhatikan postur Marwan ketika di gerbang tadi. Memang tidak ada bedanya dengan bapak-bapak pada umumnya. Bertubuh gempal dengan perut buncit. Hanya saja Marwan terlihat jauh lebih segar karena sering berolahraga. Masih enerjik. Tidak malas seperti bapak-bapak pada umumnya. Dan yang terpenting adalah tubuhnya yang kekar besar. Mayang tidak bisa membayangkan bagaimana didekap oleh pria itu. Apalagi cumbuan hangat dari bibirnya yang tebal. Menggelikan dengn kumis dan jambang tipis menyentuh permukaan tubuhnya yang putih mulus.
Satu hal yang tidak kalah penting, tapi Mayang benci untuk mengakuinya. Tatkala dia mencuri pandang di bagian yang menjadi kebanggan laki-laki. Bagian vital untuk membuang air seni dan juga sumber kehidupan. Bagaimana, masih teringat betul di benak Mayang, sesuatu itu jelas. Sangat jelas. tercetak sedemikian besar. Menggelantung. Membuat Mayang sampai merapatkan pahanya. Membayangkan betapa sesuatu milik Marwan itu menyentuh ladang kewanitaannya yang begitu tandus. Menyiram dengan benih-benih yang Mayang yakini sangat bernas. Bersemayam dengan indah di dalam.
Mayang mengibas-ibas tangannya sendiri. Melepaskan bayangannya yang begitu jauh tentang Pak Marwan. Namun, semakin dia berusaaha menghapuskannya. Bayangan itu kembali seiring dengan nafsu yang menggelora memenuhi rongga dadanya. Lagi-lagi dua bongkahan depannya dengan ujungnya yang mencuat. Dia benar-benar terangsang hebat.
Mayang menepuk-nepuk wajahnya sendiri. Mengambil nafas sedalam mungkin. Baru kemudian masuk ke dalam ruangannya.
Mayang melepas jaket birunya. Kemudian bersiap untuk dandan. Waktu menunjukan setengah delapan. Masih ada setengah jam lagi untuk bersiap-siap.
Beberapa rekan kerjanya juga ada di situ. Lagi-lagi Mayang harus dihadapkan dengan tatapan nakal dari salah satu staff kerjanya. Termasuk Stevan, pria yang mungkin berusia tiga puluh delapan tahun. Yang terang-terangan menatap Mayang dengan tatapan yang sulit di mengerti.
Apalagi saat Mayang melepaskan jaketnya tadi sehingga terpampang postur menawan, menggugah gairah semuanya. Bisa dipastikan ini adalah sesuatu hal yang sangat menganggu bagi Mayang. Sebenernya dia tidak masalah kalau ada pria yang memandangnya. Satu kali dua kali. Tapi tidak dengan Stevan yang memandang Mayang dari bawah sampai atas dengan matanya yang nyaris melotot. Rasanya Mayang ingin sekali mencolok matanya saja.
"Pagi, Bu. ini saya punya jamu beras kencur untuk Bu Mayang."
Mayang yang sedang bersolek menoleh sejenak. Stevan tampak menyodorkan sebotol minuman jamu tradisional favoritnya itu kepadanya. Mayang memang menyukai beras kencur. Selain bisa menjernihkan suara, juga menambah nafsu makan. Terus rasanya enak apalagi kalau ditambah dengan leginan.
"Makasih, Pak." Mayang meletakan alat make –upnya untuk menerima botol itu. Sebelum akhirnya meletakannya di atas meja, baru kemudian kembali bermake- up.
"Lho, kok enggak langsung diminum, Mumpung hangat lho."
Mayang mendecak kesal. Sebenernya kalau bukan menghargai Stevan, ingin rasanya dia membentak pria itu. Sudah mesum banyak modus lagi. Namun sekali lagi, dia harus menekan amarahnya. Dia harus terlihat elegan, apalagi ini ruang lingkup kerja.
"Iya, Pak saya langsung minum ini." Mayang berkata dengan jengkel. Stevan terlihat kegirangan. Entah apa yang membuatnya begitu girang setengah mati. Mungkin ada sesuatu yang dimasukan ke dalam minuman itu yang tidak disadari oleh Mayang.
Glek… Glek.
Begitu mulusnya tembolok Mayang saat menelan minuman itu. Tegukan demi tegukan terasa segar masuk ke kerongkongan Mayang. Hingga tidak terasa minuman itu habis.
"Bagaimana Bu Maya? Enak enggak jamunya?"
Mayang tidak segera menjawab. Dia melihat botol jamu tersebut sambil mencecap sisa-sisa jamu yang masih tersisa di mulutnya.
"Enak sekali, Pak. Saya tidak pernah meminum jamu beras kencur seenak ini. Emangnya bapak beli di mana?"
Stevan menyeringai. Merasa Mayang terperangkap oleh jebakannya.
"Ada deh, tapi kalau Bu Mayang mau. setiap hari akan kubawakan untuk Bu Mayang."
"Ish, Bapak ini main rahasia-rahasiaan segala. Ya udah deh. Tolong bawakan ya Pak. Nanti saya bayar. Soalnya enak sekali. dan lihat suaranya saya terdengar merdu." Mayang berdehem sejenak. Mengatur suaranya yang terdengar lebih merdu. Suara memang aset yang penting ketika bertemu dengan nasabah. Maka dari itu. Mayang berusaha menjaga supaya suaranya merdu.
"Khusus Bu Mayang gratis, alias tidak usah bayar." Stevan menyahut.
"Makasih ya Pak."
Stevan kembali ke mejanya. Tinggal menunggu apa yang terjadi selanjutnya.