"Ibu, kenapa harus telefon polisi?"
"Diam kamu Novi. Ibu ini ibu kamu. Ibu tidak ingin bandot tua ini semakin jauh mengeksploitasi kamu."
"Cuma pakai bikini saja, kenapa seribet itu sih, Bu." Novi merengut kesal. Mata Mayang menyala.
"Iya, karena kamu menggunakannya di tempat yang tidak tepat, apalagi di depan dia. Astaga Nak, tolong mengerti Ibu. Jangan permalukan Ibu." Mayang berderai tangisnya. Menangisi dirinya yang kurang memberikan perhatian kepada Novi. Mayang terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri sampai-sampai tidak menyadari kalau Novi sudah jauh masuk ke dalam dekapan Marwan. Sang Buaya Darat!
Novi yang kesal tampak menggunakan pakaiannya kembali. Bukannya merasa bersalah karena telah membuat ibunya bersedih, dia justru kesal karena Ibunya itu merusak kebersamaannya dengan Marwan.
"Ayo, Nak. Sekarang ikut Ibu pulang." Mayang mengamit tangan anak itu sampai tangannya terlempar gara-gara ditepis Novi.
"Ibu tidak dengar apa yang Pak Marwan bilang? Saya ini ada bimbingan buat olimpiade matematika seminggu lagi."
Novi membentak penuh kebencian. Marwan yang melihatnya hanya tersenyum-senyum. Sukses mengadu domba anak dan ibunya.
"Tapi, tidak di hotel juga, Nak. Di rumah kan bisa." Mayang mencoba sabar berbicara dengan Novi.
"Memangnya kalau di hotel kenapa, Bu? kan lebih konsentrasi kalau belajar di sini. Daripada di rumah, Novi jadi males kalau lihat ibu."
Hati Mayang tersayat. Bukan karena perkataan pedas yang melontar, melainkan pribadi anaknya yang berubah drastic sejak dekat dengan Marwan. Entah bagaimana cara Marwan mencuci otak Novi sampai Novi yang semula memiliki kepribadian yang polos dan penurut berubah menjadi sosok
pembangkang, bahkan sudah berani nakal. Sampai-sampai Mayang tidak percaya kalau yang ada di hadapannya ini adalah anaknya.
"Bu Mayang dengar sendiri kan? Jadi sekarang, lebih baik Bu Mayang pulang. Jangan mengacaukan kegiatan kami belajar. Nanti kalau sudah selesai, Novi pasti saya langsung antar pulang kok." Marwan berkata santai, tapi dengan senyum mengejek.
Mayang menghela nafas. Jangan berpikir Mayang akan menyerah begitu saja. Pokoknya setelah ini dia harus pergi ke kantor polisi. Intinya, dia tidak ingin si bandot ini semakin dalam pikiran anaknya.
"Ayo pulang, Pak." Mayang mengajak Daud yang sedari tadi diam. Namun, terlihat jelas wajahnya yang menahan emosi. Kepalan tangannya besar. Siap menghajar Marwan. Bagaimana sebagai seorang tenaga pendidik, pria itu malah berbuat semena-mena.
"Setelah ini antarkan saya ke kantor polisi, Pak. Saya mau melaporkan Marwan." Mayang berkata kepada Daud setelah keluar dari kamar itu.
"Berani anda melaporkan saya ke kantor polisi?"
Mayang dan Daud menoleh bersamaan. Marwan muncul dari dalam kamar itu dan mendekati mereka. Agaknya, dia mendengar perkataan Mayang barusan.
"Iya, memangnya kenapa? Anda takut di penjara?"
Marwan terkekeh. Suaranya menggema memenuhi lorong lantai itu.
"Justru anda yang harus takut, Bu Mayang. Anda tidak mau kan video anda dan saya tersebar?"
Mayang mengernyit tidak mengerti.
"Video apa yang Bapak Maksud?" Daud menyela. Dia sudah menduga dari awal kalau Mayang ada hubungan dengan Marwan.
"Video apa lagi kalau bukan 'itu'. Asal kamu tahu anak muda, wanita yang kamu dekati ini sudah aku tiduri berkali-kali."
Mayang mendongak. Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata deras bercucuran. Tidak menyangka kalau Marwan senaif itu. Membuka aib bersama di hadapan orang lain. Mana janji Marwan dulu yang mau bertanggung jawab kepada Mayang. Apa dosanya sampai Marwan tega menghancurkan hidupnya dan juga anaknya.
"Menangis-menangis saja terus. Kamu memang wanita kesepian yang murahan Mayang. Kamu dengan mudahnya mau memberikan apemmu itu kepada pria lain. Mana harga dirimu sebagai istri dari suami terpandang. Oh iya, lupa suamimu juga selingkuh ya. Hahaha…."
Tidak ada kata untuk menyanggah perkataan Marwan yang membuka semua kunci matinya. Sengaja ingin mempermalukannya di depan Daud. Marwan memang busuk hatinya. Menyesal Mayang karena dulu pernah mempercayainya. Mengantungkan asa dan cinta kepada pria yang salah. Benar-benar salah.
"Tunggu, Bu Mayang." Daud menoleh ke Marwan sesaat sebelum mengikuti Mayang. Marwan terlihat tersenyum sambil menggosok-gosok kumisnya dan kembali masuk ke dalam kamar.
"Tunggu, Bu Mayang." Daud berhasil meraih tangan Mayang. Terlihat wanita itu membalikan badan dengan wajahnya yang memerah penuh airmata.
"Biar saya antar anda pulang."
Mayang menurut. Emosinya yang meluap menguras seluruh tenaganya. Membuat kondisinya tidak stabil sehingga tidak memungkinkan untuk menyetir sendiri. Seharusnya di saat-saat seperti ini ada seorang suami yang selalu menemaninya kemana-mana. Namun sayangnya, tidak ada lelaki yang bisa dipercaya. Semuanya brengsek!
Mayang hanya tercenung di samping Daud yang menyetir. Pria itu beberapa kali melihat samping. Seperti ingin mengatakan sesuatu. Tentu dia penasaran tentang omongan Marwan barusan dan ingin mengklarifikasi langsung kepada Mayang.
Namun, pria itu memilih untuk menahannya. Dia tahu kalau Mayang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Sudah sampai, Bu." Daud berkata setelah sampai di depan rumah Mayang. Dia menoleh ke Mayang yang terlihat kosong menatap ke depan.
"Pak Daud. Tolong, mulai malam ini jangan dekati saya ya."
"Memangnya saya salah apa Bu?"
'Salah kamu karena kamu sudah tahu aibku, Daud. Aku malu kalau dekat kamu.' Mayang membatin miris.
"Haruskah aku jelaskan alasannya? Saya ini masih istri orang, Daud. Salah kalau kita dekat begini."
Daud tidak segera menjawab. Dia berdehem sejenak. Meraih tangan Mayang yang lembut.
"Tidak ada alasan bagi saya untuk menjauhi Bu Mayang di saat Bu Mayang terpuruk seperti ini. Saya tahu semua orang terdekat Bu Mayang menjauhi Bu Mayang sekarang, tapi tenang saja, karena masih ada saya yang selalu ada untuk Bu Mayang."
"Soal perkataan Pak Marwan. Sumpah demi apapun, aku tidak mempercayainya. Saya lebih percaya sama Bu Mayang dibandingkan dengan dia."
Trenyuh Mayang rasakan. Ketika Mayang begitu terluka gara-gara laki-laki, sekarang di saat yang bersamaan ada seorang pria yang tulus berada di dekatnya. Namun, Mayang sadar diri. Tidak terlalu kotor. Di sisi lain Mayang juga trauma, jangan-jangan Daud baik karena ada maunya.
"Anda tuli apa bagaimana. Kalau saya bilang jangan dekati saya ya jangan. Bebal sekali jadi orang." Mayang ketus. Sama sekali tidak menoleh ke arah Daud.
"Lagian jadi orang kok tidak tahu diri. Sudah tahu saya punya suami, hamil. Masih saja mendekat. Apa anda sudah tidak laku lagi sampai-sampai mengejar-ngejar istri orang?"
Mayang memejamkan mata. Dia sempat melihat dari ekor matanya. Raut wajah syok Daud. Sungguh dia terpaksa berkata seperti itu supaya Daud menjauh.
"Baik, kalau itu yang Bu Mayang mau. Saya akan menjauh."
Tangis Mayang pecah begitu Daud membanting pintu. Berjalan dengan langkah lebar dari depan rumahnya. Pria itu sudah kehabisan kesabaran menghadapi Mayang.
Mayang tergugu di dalam mobil. Sekarang dia benar-benar sendirian dalam penderitaannya.