webnovel

Mimpi Damitri

Damitri mulai hadir di kala aku kerja. Mengacaukan.

"Panglima mau minum?" tanyaku.

Seorang pria yang sangat menawan. Entah kenapa aku harus memiliki perasaan aneh ini. Ketika aku berdiri di hadapannya, seakan kedua kakiku lemas. Tidak bisa menopang tubuh ini.

"Kamu sangat baik, Damitri. Semoga nanti akan ada seseorang yang baik menjadi jodohmu."

Aku hanya tersenyum. Hatiku hancur. Orang yang hati ini inginkan mengatakan kalimat menusuk. Seharusnya pikiranku memahami kalau orang yang sedang berbicara dengan diriku adalah seorang calon raja. "Ada masalah, Damitri?" tanya panglima Indra.

"Tidak, Panglima," jawabku dengan kepala menunduk. "Apakah ada hal yang harus hamba lakukan lagi?"

"Tidak. Tapi aku suka mengobrol denganmu. Menyenangkan."

Kepalaku mengangguk. Kemudian aku kembali ke dapur tempat mbak Rum menyiapkan makanan. Hari ini aka nada pertemuan antara panglima dengan raja di kedaton ini. Mungkin akan membicarakan pernikahan putri Nirmala dengan sang panglima kerajaan Prambanan ini.

Kami sedang menyiapkan segala sajian untuk pertemuan raja dengan panglima perang tersebut.

Sementara putri Nirmala, aku tidak tahu dia sedang apa? Mungkin mempersiapkan diri sebaik mungkin. Wanita cantik dengan rambut lurus. Mempesona setiap orang yang akan melihat. Termasuk mencuri hati panglima Indra.

"Kamu apa cemburu, Damitri?"

"Mboten (tidak), Mbak," jawabku.

Aku tahu mbak Rum masih dendam karena peristiwa yang hampir membuat nyawa sang putri menghilang. Aku yang bersaksi bahwa mbak Rum menaburkan serbuk yang aku tidak tahu apa itu. Sejak saat itu, mbak Rum seakan ingin membuang diriku dari kedaton ini.

Jujur, aku curiga dengan kedekatan mbak Rumdan seorang prajurit yang berada di kedaton putri. Mereka sering membuat kode yang hanya dimengerti oleh kedua orang tersebut.

Dan tentang peristiwa yang pada saat itu, aku melihat mbak Rum memberikan serbuk yang dibungkus dengan daun jati. Sebuah serbuk yang katanya pemanis dari kampung tempat tinggalnya. Terbuat dari tebu yang diolah menjadi serbuk. Entahlah aku kurang paham dengan bahan makanan aneh seperti itu. Yang aku tahu hanyalah gula yang terbuat dari aren. Berwarna cokelat tua dan manis yang pas untuk berbagai masakan. Bahkan untuk masakan yang gurih sekalipun.

Namun, memang serbuk putih itu berbau harum mirip bunga melati. Mungkinkah tebu dicampur dengan bunga khas tersebut? Apa aku harus menyelidiki hal ini? Karena memang menyangkut masa depan kerajaan ini.

Mbak Rum mempunyai rahasia.

"Parutan kelapanya sudah dikukus belum?" tanya mbak Rum padaku.

"Sampun (Sudah), Mbak," jawabku.

Kemudian aku disuruh menghadap mbok Surti. Seorang yang memimpin para abdi di kedaton putri Nirmala. Makanan pembuka sudah siap disajikan.

Aku mencari mbok Surti yang ternyata sibuk dengan para pengawal. Entah mereka disuruh apa? Yang pasti ada yang angkat kursi malahan.

"Pagi, Damitri," sapa mas Yanto.

Aku tersenyum sembari menundukkan kepala.

"Sheila, bangun!" Badanku rasanya bergerak. "Malah senyum-senyum!" Samar aku mendengar suara mbak Rum.

Kenapa aku dipanggil Sheila. Namaku Damitri. Ketika aku membuka mata tampak panglima memakai pakaian aneh. Mengapa Indra melihat diriku dengan pandangan marah? Aku salah apa?

"In, In, eh, Panglima?" ucapku.

"Panglima!" teriak seseorang yang sedang berkacak pinggang.

Disusul suara tawa dari beberapa orang. Angin dingin mulai menerpa leherku. Aku ada di mana? Mengapa ada yang kurang beres dengan diriku?

"Sheila cepat ke kamar mandi! Kamu keterlaluan!" perintah seseorang.

Kemudian aku berusaha membuka mataku perlahan. Mati aku! Chandra sudah siap ceramah tujuh hari tujuh malam tanpa jeda.

"I, I, iya Pak."

Badanku segera bangkit dari tempat duduk. Aku melirik Diandra dengan senyum mengejek. Dih, itu orang memang dari awal tidak suka sama aku. Apa sih yang ditangkap oleh otakku hingga melihat sekilas ke arah wanita sinis itu?

Setelah aku mengeringkan tangan menggunakan tisu, kakiku melangkah keluar dari kamar mandi. Busyet dah, ada Sony di dekat kamar mandi. Ini kamar mandi perempuan tahu. Kok dia ada di sini?

"Kamu ndak apa-apa, Sheila?" tanya Sony lembut.

Eh, tumben pula ini orang menyapa. Biasanya cuek kayak bebek lagi jalan.

"Nggak pa-pa, Mas," jawabku.

"Jangan dianggap serius. Chandra memang kadang galak," candanya.

Aku tersenyum saja. Tidak berapa lama, Chandra muncul ke toilet. Em apa mereka sudah ada keinginan untuk berganti jenis kelamin hingga ke mari semua?

"Sheila ikut!" perintah kepala divisi.

Aku mengikuti langkah si bapak duda di hadapanku. Jalanku menunduk tidak melihat arah depan. Otakku terus berpikir tentang mimpi barusan. Namun, yang lebih aku khawatirkan kok bisa aku tertidur ketika sedang mengedit. Iya sih, cuaca panas akhir-akhir ini membuat moodku jadi buruk. Mungkin kecapean juga.

Tanpa aku sadari, tiba-tiba badanku menabrak sesuatu. Harum citrus mulai masuk ke lubang penciuman.

Badan Chandra berbalik, dia lalu bertanya, "Sheila, tadi Sony bilang apa?"

"Tidak ada, Pak," jawabku.

Adegan saling menatap tentu menjadi hal yang membuat hatiku ingin lari sejauh mungkin. Akan tetapi, kakiku menjadi kaku. Apalagi oatkku mungkin sudah membeku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mana Chandra menatap terus.

Canggung, kikuk, dan salah tingkah.

"Em,"

Suara kami berdua bersamaan keluar.

"Bapak dulu," kataku.

"Dia tidak bilang apa pun?" tanya Chandra sekali lagi.

Aku menggeleng. "Bapak mengkhawatirkan apa?" tanyaku balik.

"Mulutnya terkadang usil dengan membelokkan fakta," jawab Chandra.

Harus aku akui Chandra orang yang kuat. Kalau aku di posisi dia mungkin sudah kabur duluan. Lawan seperti Sony memang berat. Dia orang terkenal licik.

"Tadi kamu bilang panglima?" tanya Chandra mengingatkanku dengan mimpi.

"Ah iya. Akhir-akhir ini aku memang bermimpi aneh," terangku.

"Aneh?"

"Semacam kerajaan. Tapi aku tidak tahu itu apa. Ada panglima perang yang mirip." Tanganku menutup mulut. Kepala Chandra sempat bergerak ke kanan sedikit. Aku menangkap gerakan keheranan dari si bapak baperan di hadapanku ini.

Ya kali mau menyusul aku ke kamar mandi hanya ingin menanyakan perihal Sony berkata apa padaku. Aku tahu mereka memang musuh yang sedang bertempur untuk sebuah jabatan. Namun, aku juga bukan orang bodoh yang langsung percaya dengan omongan orang. Takut kualat juga sih.

"Mirip siapa?" tanya Chandra antusias.

Matanya menatap lekat. Ingin menunggu jawaban dari mulutku, mungkin.

"Bukan siapa-siapa," kataku. "Hanya mimpi."

Aku harap sih begitu. Bukan hal yang akan menghubungkan diri ini dengan sesuatu yang akan terjadi.

Oiya, aku jadi teringat sesuatu di mimpi tadi. Mbak Rum mirip dengan, ah tidak mungkin. Dua orang dengan wajah yang sama. Dan keahlian yang persis.

"Ada apa? Apa kamu ingat Sony ngomong apa?"

Pandanganku beralih kepada Chandra yang berdiri di samping.

"Bukan, Pak. Aku bahkan tidak perduli dia ngomong apa. Hanya ingat soal mimpiku tadi. Mengejutkan."

"Beneran?"

Apa dia memastikan kalau aku tidak terpengaruh oleh Sony? Aku masih waras untuk membedakan orang gila macam Sony dan mulut Chandra yang terlampau manis.

"Iya. Sumpah!" candaku.

Pria yang di hadapanku ini. Dia membutuhkan orang lain, tetapi seakan takut untuk sekadar dekat dengan orang lain. Padahal sih orangnya baik, mirip dengan panglima di mimpiku. Dan orang itu juga mirip dengan mbak Rum.