webnovel

Diandra

Diandra orang yang punya banyak strategi. Bahkan untuk menjatuhkan orang lain.

"Sheila kamu ini gimana sih?"

Diandra pagi ini sudah mengomel. Aku baru datang. Dengan bapak Chandra tentunya. Namun, baru melangkah di pintu, sudah ada sambutan hangat dari wanita yang menyukai si kepala divisi.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku.

"Jangan sok polos, kamu."

Chandra melihat diriku. Aku pun heran. Apa yang dipermasalahkan oleh wanita sempurna satu ini.

"Aku ke ruangan dulu," pamit Chandra.

"Beresin!" perintah si editor bahasa Indonesia.

Apanya yang harus diberesin coba? Aneh banget itu orang. Aku kemudian melangkah ke meja yang terdapat tumpukan naskah editan kemarin. Sudah balik ternyata.

Tanganku mengambil naskah yang dibendel. Ada satu tambahan kalimat berwarna biru. Dari Chandra. Satu kalimat yang membuat bibirku melengkung. Aih, dia itu mesra banget. Padahal sih cuma nasehat agar aku ke ruangan dia kalau mau konsultasi.

Sebentar, kok ada bau ya. Berasal dari mana?

"Mbak," panggilku pada Diandra.

Tidak ada sahutan. Tadi ngomel, sekarang menghilang. Aku menengok kanan, kiri, ke semua sudut di ruangan editor. Dia ke mana sih? Mungkin ke ruangan Chandra. Menyebalkan.

Aku mencari sumber bau. Sepertinya di bawah meja. Kakiku berjongkok menopang badanku. Kepalaku menyisiri bawah meja. Nah, ketemu kan. Iseng banget jadi orang. Pasti si mbak Diandra. Dia kan tidak suka sama aku. Bodo amat dibilang suudzon. Pagi hari sudah mengomel. Ini ulah dia dan Sony.

Mungkinkah apa yang dikatakan Bilqis itu memang benar? Mereka ada rencana busuk. Sebusuk benda yang ditaruh di bawah mejaku.

"Sheila ngapain?" tanya seseorang.

Hampir ujung tempurungku menghantam dasar meja. Rem otakku ternyata masih on. Meskipun hatiku kacau oleh ulah dia. Jadi masih aman dari tabrakan dengan alas meja.

Kalau tidak ingat suara milik kepala divisi sudah mengeluarkan semua binatang pada si mbak sempurna itu.

"See. Ngerti kan apa maksudku!" sewot Diandra.

"Ada apa Sheila?" tanya Chandra sekali lagi.

Dia mungkin bingung dengan keadaan yang sedang terjadi.

Aku mengembuskan napas naga terlebih dahulu. Daripada menyembur pada si mbak Diandra itu.

Kemudian perlahan tubuhku keluar dari bawah meja.

"Ada pup di bawah meja saya. Tapi saya tidak tahu siapa yang naroh."

Mataku melirik pada wanita yang berdiri di samping Chandra. Hampir memeluk kalau aku lihat. Bapak duda yang kaget karena nada suaraku meninggi pada kata terakhir terlihat sedikit bergeser badannya.

Dih, syukurin mbak Diandra manyun seketika.

"Dibersihin saja sebelum banyak yang datang," saran bapak kepala divisi. "Dan kamu Diandra jangan langsung marah-marah kalau belum tahu persoalan."

Chandra langsung pergi dari tempat kami. Diandra jelas kesal dengan menghentakkan kaki berkali-kali. Lalu matanya beralih padaku. Dengan senang hati kepalaku menghindari tatapan mata yang hampir membunuh itu.

Syukurin! Jadi orang kok iseng banget. Dulu pas pertama di sini, aku bisa mengalah. Sekarang! Tidak! Jangan harap aku kasih kesempatan untuk bersenang. Eh, aku kasih tapi ya gitu aku banting sekeras mungkin setelah melayang.

Biar puas dia!

***

"Sheila!" panggil seseorang. Aku yang hampir pulang terpaksa menghentikan langkah kaki. "Masuk!" perintah si bapak kepala divisi.

Tumben aku disuruh menghadap sebelum pulang. Aku masuk ke ruangan yang dingin, dengan aroma apel yang langsung tercium oleh hidung. Aroma yang mampu membuatku tenang. Indra penglihatanku kemudian menelusuri ruangan milik si bapak duda. Rapi dan bersih. Untuk ukuran pria ini mah lebih dari cukup.

Aku biasanya lihat meja Sony yang acak adul dengan tumpukan kertas. Memang beda antara Sony dan Chandra. Namun, persaingan mereka mampu membuat ruangan divisi bahasa menjadi bahan saling tembak leewat mulut.

"Duduklah! Mikirin apa?" tanya Chandra.

Aku tersenyum. Lalu meletakkan segala kegundahan hatiku pada Chandra. Inginku begitu, tetapi tampaknya susah. Dia lebih suka bercengkerama dengan Tania. Gadis muda dengan segala hal yang diinginkan oleh pria.

"Kamu mikirin apa?" tanya Chandra lagi. Membuyarkan ketakutan di dalam hati.

Apakah benar aku menyukai pria ini? Dengan segala hal yang dimiliki. Hangat dan bijaksana. Baper juga sih. Namun, dia selalu memberikan sinyal yang kuat. Mungkin karena aku kehilangan imam keluarga. Hingga membuat hatiku ingin memiliki satu pegangan.

"Sabar saja menghadapi Diandra. Dia mirip Sony," lirih pria yang sedang berbicara di hadapanku.

Lengkungan di wajah putih tidak menyurutkan rasa pahit yang terungkap di balik senyumnya. Chandra erat menahan amarah ketika Sony sudah sangat keterlaluan. Aku paham semua hal yang dilakukan oleh pimpinan divisi ini untuk kebersamaan.

Aku malah melantur.

"Dia suka sama Bapak. Jadinya begitu. Padahal kan aku hanya karyawan biasa seperti yang lain. Bukan pacar Bapak juga."

Pria yang sedang di depanku diam sejenak. Tidak lama kemudian dia berdehem. Semua jarinya sibuk mengetuk meja. Aku jadi salah tingkah lagi.

Hem, kalau begini otakku jadi tidak bisa berpikir lebih baik.

"Em, iya kalau kamu mau sih nggak pa-pa."

Aku menatap Chandra dengan saksama. Mungkin dia akan mengulai lagi perkataan yang lirih tadi.

"Kamu harus hati-hati dengan dia."

"Bukan itu, Pak. Yang tadi."

"Cukup! Kamu boleh pulang." Chandra mengangguk.

Aku berdiri. Kedua tanganku memegang tali tasku. Apa salahnya mengulang perihal tadi? Toh, aku juga mau bilang 'iya aku mau.' Dasar Chandra hanya mau mempermainkan saja. Bodohnya aku yang mengharapkan dia.

Ketika hendak menutup pintu, aku lihat Chandra sedang menggaruk kepala.

"Kamu belum keramas, apa?" candaku.

"Udah," jawabnya sambil tersenyum.

"Jangan terlalu dipikirin. Aku bisa jaga diri," ucapku.

"Aku hanya tidak ingin kita jadi renggang. Em, maksudnya antarkaryawan. Aku."

Chandra mendekati diriku. Aroma citrus dari parfum yang dipakai mampu membuat hatiku ingin melompat kegirangan. Apa hanya ini yang dia bisa katakan? Ayolah bapak Chandra ngomong mesra gitu!

"Diandra tipe orang nekat. Dia akan menyakitimu. Sama seperti dulu. Dia pernah menyerang seseorang." ucapan Chandra membuatku berpikir.

"Menjatuhkan tepatnya," tambahnya.

"Dia orang begitu?" tanyaku memastikan.

Chandra mengangguk. "Itu baru awalan. Makanya kamu hati-hati. Mungkin bukan masalah diriku saja. Ada persoalan lain."

Aku mengingat ada kasus apa dengan si mbak sempurna. Perasaan aku jarang berhubungan kecuali masalah naskah. Ya ngobrol paling Cuma satu dua kali. Itupun diselingi emosi dari dia. Memang sih, dari awal kerja di perusahaan ini, Diandra yang paling mencolok tidak suka dengannku. Meskipun gelagat tidak suka terdapat juga di dalam diri Sony.

Aku seperti mengalami déjà vu. Kejadian ini mirip seperti di dalam mimpi. Diandra yang kesal karena kehadiran diriku. Ditambah sosok Sony yang seakan mendukung alasan wanita sok sempurna itu.

Jadi, apa alasan Diandra seakan membenci aku di sini.

"Hati-hati pulangnya," kata Chandra.

Aku mengangguk. "Terima kasih karena sudah mengingatkanku."

Aku memberikan senyum pada Chandra. Kalau dia mau bisa kok kuberikan hati ini. Aih, Sheila jangan gila!