webnovel

Aura Kantor

Chandra dengan kesendirian kala itu.

"Maafkan hamba tuan putri," ucapku.

Putri yang cantik dengan rambut lurus dan mata bulat. Sangat menawan. Aku sampai iri karena panglima begitu mengidolakan sang pewaris tahta kerajaan ini. Siapalah aku yang hanya seorang abdi di dalam kedaton ini.

Aku tidak pantas menyukai seorang pembesar seperti panglima Indra. Sudah menjadi garis takdirku hanya dapat mencintainya di dalam hati. Sekuntum bunga yang harus layu bahkan sebelum mekar. Aku harus merelakan rasa ini.

"Damitri, hei."

Badanku berguncang. Aku harus kembali pada dunia yang sebenarnya. Damitri hanyalah seorang rakyat yang mencintai panglima kerajaan Prambanan ini.

***

"Hi, Sheila kok melamun?" tanya Bilqis.

Seorang wanita muda yang bekerja sebagai editor bahasa Arab. Wajahnya mirip orang Arab. Seriusan. Hidungnya juga maju ke depan.

"Nggak. Hanya memikirkan mimpiku beberapa akhir ini. Aneh," ungkapku.

"Aneh gimana?" tanya Bilqis

"Aneh karena pada masa kerajaan zaman dulu. Tapi aku nggak tahu itu di mana."

"Kebanyakan nonton ftv kolosal kali," canda Bilqis.

"Mungkin," jawabku.

Aku mengembuskan napas yang cukup dalam.

"Udah nggak usah dipikirin. Gimana naskahmu kemarin?" tanya Bilqis mengalihkan pembicaraan.

"Belum balik. Taulah! Orang penulisnya juga ogah-ogahan," jawabku.

"Sapa sih?" tanya wanita berjilbab panjang di hadapanku penasaran.

"Biasa, itu," jawabku sambil memakan ujung sedotan.

"Kebiasaan emang dia," balas wanita yang ternyata sudah punya anak satu ini.

Kami ibu muda dengan sederetan situasi yang hampir sama. Makanya nyambung kalau mengobrol begini. Kecuali bagian suami yang sudah meninggal.

"Terus Chandra gimana?"

"Sama saja," jawabku.

"Sama apaan?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang.

Dengan kepedean tingkat dewa, Chandra duduk di sebelah kiri. Sedangkan Bilqis menyingkir dari kami berdua.

Aku yang melihat ibu satu orang anak itu angkat badan, langsung menahan tangan kirinnya. "Mau ke mana?" tanyaku.

"Nyingkir. Udah dikode sama bapak pimpinan," jawabnya sambil cekikikan.

"Aku nggak ngusir lho ya," balas Chandra.

Aku kan jadi bingung. Mau melepaskan Bilqis dan berduaan dengan Chandra, kok rasanya malah salah tingkah. Duh, ya Allah berikanlah aku ketenangan.

"Jadi gimana, Sheila?" tanya Chandra setelah Bilqis pergi.

Aku kembali pada pria yang sedang makan di samping. Kok selalu begini, makan siang, berduaan. Aku kan makin kegeeran. Apa aku tanya tentang mimpiku? Mungkin dia juga mengalami mimpi yang sama.

"Ya begitu, Pak. Masih di tangan penulis. Bapak kan tahu juga kalau si masnya yang itu, naskahnya pasti. Em ya itulah!"

Chandra tersenyum. Lalu mengangguk.

"Aku sudah sampaikan pada kepala editor dan kepala bagian penulis. Mungkin bisa buat pertimbangan mereka juga."

"Alhamdulillah. Bukan sepenuhnya salah kami juga sebagai editor."

Chandra kembali melebarkan bibirnya. Aku menanggapi dengan menggaruk kepala.

"Nggak nyaman denganku?" tanya Chandra.

"Bukan begitu. Tapi."

"Tapi apa?" tanya Chandra.

"Apa Bapak pernah bermimpi aneh?" tanyaku.

Makanan yang masih di mulut Chandra hampir keluar karena ingin tertawa. Tu kan, kalau aku membuka mulut dengan bapak satu ini pasti salah. Aih, apa otakku secetek ini hingga omonganku tidak ada yang berbobot di depannya.

"Mimpi apaan?" tanyanya.

Dia membersihkan satu atau dua bulir nasi yang lepas ke meja.

"Aneh ya pertanyaanku?" rajukku.

"Nggak. Aku tanya mimpi apaan?"

"Nggak jadi. Bapak udah ngetawain aku begitu," sungutku.

"Bukan begitu. Maksudku."

Chandra menghela napas panjang. Aku keterlaluan kah kalau ngomong di depan pria ini. Sebenarnya Chandra sangat menyenangkan kalau sedang berduaan. Dia begitu manis dengan kalimat yang ingin selalu aku dengar. Bagiku, suara Chandra begitu menenangkan.

Tidak! Tapi kalau hanya aku yang merasakan. Em, Sheila jangan gila!

"Em, Sheila pulang jam berapa?" tanya Chandra memecah keheningan di antara kami.

"Biasa, Pak," jawabku.

"Padahal aku seneng kemarin dipanggil Mas," ucapnya lirih.

Aku tersenyum. Kami dalam keadaan sama-sama berputar dengan segala kemungkinan. Dia yang minum dari sedotan beberapa kali. Sedangkan aku hanya mengetuk meja dengan ruas jari.

Inginku berharap, Chandra akan meminta diri ini menjadi bagian dari hidupnya. Namun, aku terlalu tinggi berharap. Rumornya, Chandra sering menggoda Tania. Editor muda yang penuh dengan daya tarik. Aku, pasti kalah sama dia.

Chandra sering bercanda dengan Tania di saat kami sedang mengedit. Sheila seharusnya tahu diri. Tidak akan mempunyai keinginan muluk.

Eh tunggu! Tania itu kok mirip dengan seseorang yang ada di mimpiku tadi malam. Seorang putri yang sangat cantik.

"Aku duluan," pamit Chandra.

Aku mengangguk. Kikuk rasanya ketika Chandra melempar senyuman yang seakan dipaksakan.

"Maaf Pak," kataku.

"Buat?"

"Kalau aku sering membuat Pak Chandra merasa sakit hati," ucapku dengan hati-hati.

Dia malah tersenyum lagi. Aih, Chandra memang membuat hati dan pikiranku tidak pernah singkron. Otakku menolak segala prasangka yang dikatakan oleh hatiku. Padahal hatiku mengatakan kalau Chandra mempunyai niatan baik untukku. Tidak! Aku tidak boleh kegeeran.

"Aku malah seneng kalau deket ma kamu."

Belum sempat otakku merespon perkataan Chandra baru saja. Bapak kepala divisi sudah pergi meninggalkan diriku.

Apa? Seneng? Apakah ini berarti aku dan dia? Aih, apaan sih! Mungkin dia senang mengobrol dengan semua karyawan. Mungkin juga untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh para bawahannya.

Kan katanya dia pusing karena anak buah yang susah diatur, kadang. Ah taulah!

"Hei, mau masuk nggak?" kata Bilqis membuyarkan monolog diriku. "Diomongin apaan sama Chandra sampai melongo gitu," goda wanita berbaju gamis di samping.

"Nggak," jawabku.

Eh malah bibirnya dimonyongin. Dasar kepo, mama muda yang cantik ini.

"Tau nggak tadi Sony dan Diandra makan bareng. Aneh kan?" kata Bilqis.

"Aneh gimana?" tanyaku.

"Yaelah masak nggak tahu. Satunya pengen Chandra lengser. Satunya cinta mati sama si bapak duda."

"Terus?" tanyaku pensaran.

"Ihhh. Oon banget sih kamu. Ngapain mereka berduaan? Kalau bukan punya rencana jahat," kata Bilqis.

"Hush. Hati-hati kamu! Jangan sampai jadi fitnah," kataku.

"Iya sih. Cuma Sony yang aku tahu memang begitu." Ucapan Bilqis mengingatkanku pada Chandra yang kadang melamun saat makan siang.

Dulu, ketika pertama kali aku bekerja di sini. Belum terlalu dekat dengan si bapak duda satu itu. Dia sering makan sendirian di pojok kantin. Entah kenapa tidak ada yang menemani padahal dia pimpinan di divisi kami. Seolah tidak ada teman yang satu frekuensi dengan Chandra. Hanya Diandra yang kadang memberi kode tetapi ya begitu bapak kepala divisi hanya tersenyum kala wanita yang menyukainya tersebut memanggil.

Hingga aku makan satu meja dengan Chandra. Karena aku tidak mendapatkan tempat di kantin. Ada geng dari divisi IPA yang mendominasi kantin perusahaan ini. Mungkin otak mereka terlalu besar hingga tempurung yang melindunginya tidak muat.

Entahlah aura persaingan yang sangat ketat. Kepala divisi, karyawan on the month, dan serangkaian label untuk karyawan yang terkadang membuat suasana makin memanas.

"Hayuk masuk," omel Bilqis.

Aku menyusul teman satu divisi tersebut masuk ruangan. Bahkan sekelas divisi saja mata yang memandang seolah para penjahat yang mengincar mangsa. Aku hanya ingin cari duit. Bukan cari musuh di sini.