webnovel

Airlangga Sang Maharaja

Airlangga adalah pangeran penakut yang mengasingkan diri ke hutan setelah dikhianati orang yang ia percaya. Suatu hari seorang gadis mendatangi pertapaannya untuk meminta (sebenarnya memaksa) Airlangga merebut kembali tahtanya, demi menyatukan Tanah Jawa yang terpecah-belah. Meski awalnya terpaksa, inilah perjalanan Airlangga menjadi maharaja yang terus dikenang bahkan setelah seribu tahun berlalu. Peringatan : Ini adalah cerita fiksi yang diangkat dari sejarah Airlangga. Sebagian besar dari cerita ini adalah fiktif karangan penulis. Apabila anda tertarik dengan kehidupan Airlangga yang sesungguhnya, dapat membacanya melalui sumber-sumber sejarah yang akurat.

Sun_1 · 歴史
レビュー数が足りません
28 Chs

Bab 2

Narotama berjalan santai menuruni gunung. Ia berpapasan dengan seorang anak laki-laki yang masih berusia belasan. Anak itu mengatupkan kedua telapak tangannya sebagai salam, yang dibalas oleh Narotama.

"Mpu hendak ke mana?" tanya anak tersebut.

"Mencari makanan untuk Sri Raja." Narotama mengedipkan sebelah mata.

"Saya punya makanan, ambil saja punya saya."

"Tidak usah, tidak usah, memang saya harus turun," ucap Narotama yang terpukau akan kebesaran hati anak tersebut.

"Oh…" Ding mengangkat kedua alisnya. "Baik, Mpu."

Narotama pun melanjutkan perjalanannya.

***

Airlangga terjaga untuk yang kedua kalinya pagi ini. Lalu ia menoleh ke samping. Sri Dewi masih setia bersimpuh menunggunya.

Aaaaa memalukan sekali… Pemuda itu tak pernah menyangka hari ini akan datang, hari di mana ia pingsan seperti pecundang di hadapan seorang perempuan.

"Apakah Sri Raja baik-baik saja? Maaf, saya mendorong terlalu keras. Apa Sri Raja terluka? Apa kepala Sri Raja terbentur?" Sri Dewi berbicara dengan sangat cepat. Kekhawatiran tampak jelas di wajahnya.

"Saya tidak apa-apa," jawab Airlangga. Ia sedikit bersyukur, tampaknya gadis itu mengira ia pingsan karena terjatuh. Tapi masalah belum selesai. Ia duduk, kemudian menatap dagu Sri Dewi. Trik lainnya yang ia pelajari dari Narotama—kalau tidak berani menatap mata, maka tataplah dagu lawan bicaramu. "Saya mohon pergilah. Saya benar-benar sudah tidak ada urusan dengan dunia."

Karena sejatinya Airlangga takut. Aji Wurawi membuatnya takut. Dan ia merasa kapok berurusan dengan manusia, sebab manusia akan mengkhianatinya.

"Saya mohon!" Sri Dewi bersikeras.

Airlangga mendesah.

"Baik, terserah. Saya mau bertapa."

Ia duduk bersila, lalu kedua tangannya membentuk jnana mudra. Ia memejamkan kedua matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan. Menarik napas lagi, lalu menghembuskan. Ia berusaha menenangkan pikiran.

Tapi sosok Sri Dewi masih saja terbayang meski ia sudah memejamkan mata! Ia merasa dirinya sedang diamati. Napasnya mulai berat. Perutnya mual.

Berhenti… berhenti memandangiku…

Ia membuka sebelah kelopak matanya sedikit sekali—setipis jarum—untuk memastikan.

Ternyata Sri Dewi sudah tidak ada di sana.

Airlangga melihat ke sana kemari, lalu ke sekeliling pondokan. Gadis itu benar-benar sudah pergi.

"Huff, akhirnya…"

Pemuda itu pun merebahkan tubuhnya di tikar. Tapi pikirannya terlanjur tidak tenang. Sekarang ia khawatir. Ia khawatir memikirkan apa yang mungkin dipikirkan gadis itu mengenai dirinya. Apa gadis itu kecewa? Apa gadis itu merasa Airlangga memalukan? Apa gadis itu menganggapnya manusia gagal yang tidak pantas menjadi raja?

"Masa bodoh! Masa bodoh!"

Ia kesal pagi ini sudah diganggu dua kali. Mungkin sebaiknya ia moksa saja.

***

Sri Dewi memutuskan untuk mencoba di lain kesempatan. Ia akan meninggalkan sang raja beberapa saat, lalu datang lagi nanti sore atau besok pagi. Kalau ia pantang menyerah, mungkin pada akhirnya Airlangga akan luluh juga.

Ia mengamati hutan sekelilingnya untuk mencari tempat beristirahat. Ada banyak sekali pertapa yang melakukan meditasi. Ada yang di atas batu, di bawah pohon, atau di tanah lapang. Mumpung berada di sini, Sri Dewi jadi terpikir untuk ikut mencoba.

Ia memilih tempat yang rindang, duduk bersila, lalu memejamkan mata.

"Kakek Tua, di mana orang itu?!"

Teriakan yang entah dari mana datangnya membuat Sri Dewi mengakhiri meditasi. Ia penasaran mencari asal suara tersebut. Ia mengendap-endap di antara pepohonan, lalu mengintip setidaknya tiga orang begundal sedang menyeret-nyeret para pertapa, mengumpulkan mereka di tanah lapang.

"Aku Ki Jago, utusan Sri Raja Aji Wurawi!" ucap begundal yang bermuka paling sangar. Matanya melotot hingga kedua bola matanya seolah mau copot. Ia menarik baju salah satu pertapa. "Di mana kalian sembunyikan Sri Raja Airlangga?!"

"Saya—saya tidak tahu, Tuan."

"Jangan bohong!" Begundal itu meninju wajah si pertapa hingga nyungsep. Lalu ia berteriak pada pertapa yang lain, "Siapa lagi yang mau kena bogem mentahnya Ki Jago?!"

Para pertapa tidak menjawab, cuma berdiri tertunduk.

"Culeng! Koplo! Tanya mereka satu-satu!"

Kedua anak buah begundal tersebut segera melakukan hal yang sama seperti dicontohkan pemimpinnya. Mereka bertanya, lalu menghajar.

"Culeng! Tanya dulu, baru dihajar!"

"Oh iya, maaf Ki…"

Kepanikan segera melanda Sri Dewi. Ia tak menyangka kaki-tangan Aji Wurawi bisa menyusul secepat ini. Ia harus segera memberi tahu Airlangga agar melarikan.

Tapi kakinya tak mau bergerak, sebab ia sedang menyaksikan kebiadaban terjadi di depan matanya. Dan ia tak bisa berpaling begitu saja.

Gadis itu membulatkan tekad, lalu melompat keluar dari antara semak belukar. Ia berseru lantang, "Jangan ganggu mereka!"

Ketiga begundal tersebut menatap Dewi Sri heran.

"Siapa dia, Ki?"

"Mana aku tahu!" bentak Ki Jago. "Heh! Siapa kau?!"

"Kalau mau berkelahi, cari lawan yang sepadan!" ucap gadis itu mantap, lalu memasang kuda-kuda silat. Ia menekuk kedua lututnya, merendahkan badan, dan mengangkat kedua telapak tangannya ke depan.

Para begundal saling tatap satu sama lain. Ki Jago pun berseru lagi, "Aku tanya, kau ini siapa?!"

"Aku Sri Dewi, putri Pandita Terep. Di sini cuma ada pertapa, tidak ada Sri Raja Airlangga!" Tatapannya yang tajam terus mengawasi ketiga begundal.

"Benar begitu, Ki?" bisik Culeng.

"Tidak tahu, ah. Cepat, beresi dia!"

Culeng segera melaksanakan perintah pemimpinnya. Ia maju, lalu membuka kedua tangannya untuk menangkap Sri Dewi. Namun, gadis itu dengan lihainya menangkap pergelangan tangan Culeng, menjegal kakinya, lalu membanting tubuhnya. Wajah Culeng sukses mencium tanah.

"Kemplo! Kemplo! Bantu Culeng!"

Kemplo yang bertubuh lebih gempal ikut menerjang. Ia melesatkan tamparan. Sri Dewi menepis tamparan Kemplo, lalu balas meninju hidung pria itu dengan kecepatan tinggi. Saat Kemplo masih kesakitan, Sri Dewi memanjat tubuhnya lalu menjepit kepalanya menggunakan paha. Ia memutar tubuhnya ke bawah hingga Kemplo terbanting.

Ki Jago terkejut melihat anak buahnya berjatuhan.

"Katanya di sini cuma ada pertapa kurus kering," desisnya, lalu memasang kuda-kuda silat juga.

"Maaf mengecewakan Kisanak," balas Sri Dewi.

Keduanya bergerak di saat bersamaan. Sri Dewi menyerang, lalu Ki Jago menangkis. Sri Dewi melancarkan tinju berikutnya, dan Ki Jago menangkisnya lagi. Begitu melihat celah, giliran Ki Jago yang balas menghantam dada Sri Dewi dengan telapak tangannya. Gadis itu terdorong mundur beberapa langkah. Ia merasa sesak, tapi lekas mengesampingkannya. Ia kembali memasang kuda-kuda, sebab pertarungan masih panjang.

***

Akhirnya Airlangga bisa bersantai, tapi gedoran di pintu mengagetkannya lagi.

"Berisik…" gerutunya kesal.

"Sri Raja! Sri Raja!" teriak suara yang tidak asing.

"Ding?" Airlangga membukakan pintu. "Ada apa?"

"Ada begundal yang datang mencari Sri Raja!" seru anak lelaki itu. Wajahnya terlihat panik sungguhan.

Airlangga ikut pucat, "Si—siapa?"

"Begundal utusan Aji Wurawi! Mereka memukuli pertapa karena tidak memberitahu keberadaan Sri Raja!"

Mendadak kepala Airlangga terasa pusing. Ia nyaris pingsan untuk kedua kalinya. Aji Wurawi benar-benar mengejarnya bahkan sampai ke ujung dunia.

"Narotama! Mpu Narotama! Beri tahu Mpu Narotama!" ucapnya setelah berhasil mempertahankan kesadaran.

"Mpu sedang turun gunung untuk mencari makanan!"

Celaka! Mpu! Kenapa kau pergi di saat-saat genting?!!

"Tapi ada seorang kakak perempuan yang muncul," lanjut Ding. "Sekarang dia sedang melawan para begundal!"

Perempuan yang tadi kah? Sri Dewi? Dia bisa berkelahi?

"Sri Raja, ayo cepat!"

"Baik." Airlangga bergegas melarikan diri lewat jalan belakang. Tapi Ding menarik tangannya ke arah lain. "Tunggu, tunggu, kamu mau mengajakku ke mana?"

Ding menjawab dengan mata berkaca-kaca, "Sri Raja, Sri Raja harus menolong kakak perempuan itu! Ia bisa mati dihajar begundal!"

Aku juga bisa mati kalau dihajar begundal!!!

Tapi entah kenapa Airlangga sulit menolak. Ia membiarkan tubuhnya ditarik anak itu menuju lokasi konflik. Mungkin ada baiknya ia melihat keadaan sejenak.

Setelah tak berapa jauh, ia bisa melihat seorang laki-laki dan perempuan sedang mengadu jurus. Tidak salah lagi, itu adalah Sri Dewi, tengah menghadapi begundal yang berwajah sangar. Sementara para pertapa meringkuk di sekitarnya.

Sri Dewi menerkam seperti harimau. Ki Jago menendang perut gadis itu sebelum kena terkam. Airlangga yang menonton sampai ikut ngilu. Namun, rupanya Sri Dewi menangkap kaki pria itu lalu menariknya hingga jatuh ke tanah. Kemudian ia berusaha mengunci Ki Jago.

"Lihat, ternyata gadis itu cukup tangguh," Airlangga berbisik pada Ding. "Saya rasa ia bisa mengatasinya."

Tapi Ki Jago menjejakkan kakinya, kemudian melempar sejumput tanah ke wajah Sri Dewi. Gadis itu memekik saat butiran pasir membuat matanya kelilipan. Ki Jago memanfaatkan kesempatan itu untuk menghajar Sri Dewi.

Airlangga meringis. Sebenarnya ia tidak sampai hati melihat perempuan dipukuli, tapi ia juga tak cukup berani untuk ikut terjun ke medan laga. Apalagi dia kan tidak jago silat.

"Saya… saya mau mencari Mpu Narotama dulu—"

Ding cepat-cepat menyambar tangan Airlangga. "Jangan, Sri Raja, Kakak itu bisa keburu mati!"

Sang raja menelan ludah.

Ki Jago menekan wajah Sri Dewi ke tanah sambil memutar lengannya ke belakang. "Sudah cukup! Kupatahkan tanganmu nanti!"

Tubuh Sri Dewi takluk, tapi semangatnya tidak. Napas gadis itu masih memburu seperti binatang buas. Ia berusaha meronta sekuat tenaga, tak peduli bahunya bisa saja patah. Hal itu membuat Ki Jago khawatir apabila ia melepas kuncian, Sri Dewi bakalan langsung menyerang lagi.

"Culeng! Kemplo! Cari tali!" serunya.

Dua orang itu mengambil sulur tanaman, lalu menggunakannya untuk mengikat tangan Sri Dewi. Gadis itu masih saja memberontak, hingga mereka harus bersusah-payah. Seperti sedang menangkap buaya.

"Selesai!" Ki Jago mengelap peluh. "Ini di luar perjanjian. Kenapa bisa ada perempuan ini?"

"Sekarang kita harus bagaimana, Ki?"

"Karena sudah tertangkap," Ki Jago menjambak rambut Sri Dewi. "Kita beresin dulu!"

"Tunggu!!!"

Ki Jago menoleh. Seorang pertapa berlari ke arahnya, lalu menarik tubuhnya. "Hentikan, kalian sudah kelewatan!"

Pertapa-pertapa lain pun menyerbu. Culeng dan Kemplo segera menghalau mereka.

"Awas, awas, memangnya kau kira aku mau berbuat apa?!" Ki Jago mendorong pertapa itu menjauh. Ia mendekati Sri Dewi lagi. "Aku cuma mau… hehehe, aku suka perempuan yang bersemangat sepertimu.

Airlangga menelan ludahnya. Ia bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketiga begundal itu akan melakukan hal tidak baik pada gadis yang cuma ingin menegakkan keadilan.

"Padahal kalau kau tidak datang, hal ini tidak perlu terjadi…" gumamnya sementara Ding terus merengek di sampingnya.

Ia bangkit, lalu meraih batu yang tergeletak tak jauh darinya. Ia mengambil ancang-ancang, lalu melempar benda itu sekuat tenaga. Tapi akurasinya terlalu payah, hingga batunya hanya mengenai dahan pohon yang tak jauh dari Ki Jago.

"Sial, meleset!" Airlangga kehilangan kesempatannya.

Sang begundal yang kaget pun menoleh ke arah Airlangga.

"Sri Raja!" jerit Sri Dewi. "Pergi dari sini!"

Ki Jago terbelalak, lalu senyum lebar. "Akhirnya ketemu juga."

Airlangga berdecak. Gadis itu sudah ditolong, eh malah membocorkan identitasnya.

Tapi sekarang semua sudah terjadi. Tak ada lagi jalan mundur. Airlangga mengepalkan kedua tinjunya.

"Lep—lepaskan gadis itu! Ini—ini pertarungan laki-laki!"