Jaya dan Rubi saling melempar pandang. Tidak tahu harus memberi respon seperti apa. Belakangan ini Rubi kerap mengunjungi rumah sakit guna kesembuhannya. Agaknya rezeki belum berpihak. Rubi belum diizinkan untuk mengandung jabang bayi.
"Ngomong-ngomong, kenapa Rubi belum hamil juga, ya?" Hardi kembali angkat suara.
Pertanyaannya membuat Rubi jadi salah tingkah sendiri. Mustahil ia mengatakan yang sesungguhnya terhadap pria itu. Rubi sudah sering disakiti, jadi dia tidak mau menambah beban apabila orang-orang tahu dia mengidap penyakit kista.
"Belum rezeki, Pa," jawab Jaya. Diliriknya wajah masam sang istri.
Sementara itu, Anti tampak membisu di tempat. Sejujurnya dia juga bingung kenapa putranya dan Rubi belum memiliki keturunan padahal mereka sudah menikah nyaris setahun. Seingat Rubi, tidak ada keluarga mereka yang tak subur. Apakah mungkin jika Rubi merupakan dalang di balik semua ini?
Di sisi lain, Anti juga bersyukur karena Jaya belum memiliki keturunan dari Rubi. Entahlah. Anti merasa tidak sudi punya cucu yang dilahirkan dari rahim perempuan yang ia benci.
"Apa kalian sudah melakukan program hamil?" tanya Hardi.
"Sudah, Pa." Jaya kembali berseru.
"Aku permisi dulu,"
Kriiit…
Tiba-tiba saja Rubi memundurkan kursinya dan ngeloyor pergi. Melihat perbuatan istrinya, Jaya pun ikut meninggalkan meja makan. Membuat Anti menaruh curiga.
"Sayang!" teriak Jaya.
Rubi berlari menuju bibir pantai. Ia berdiri di sebelah batang kayu yang sudah mengering. Rubi terisak sejadi-jadinya. Berulang kali ia mengusap wajah.
"Hei, ada apa?" tanya Jaya setelah berhasil menemukan Rubi.
"Bagaimana ini, Mas? Pertanyaan Papa membuatku bingung," titah Rubi.
"Kenapa harus bingung?"
"Aku sedih sekali karena belum bisa memberi keturunan untuk keluarga Hardi," keluh Rubi. Rupanya ia merasa terpojok atas pertanyaan mertuanya.
Sedangkan Anti yang merasa penasaran lantas berlari mencari keberadaan Jaya dan Rubi. Entah kenapa hatinya meyakini bahwa sedang terjadi sesuatu diantara mereka. Benar saja. Kecurigaan Anti terbukti saat ia berhasil menemukan Jaya yang sedang berbicara dengan Rubi di tepi pantai.
"Kita sudah melakukan yang terbaik." Jaya menenangkan hati istrinya.
Rubi menyesali kenapa ia bisa menderita penyakit kista. Sebagai seorang wanita, dia pasti minder karena belum bisa mengandung. Rubi malu setiap kali orang bertanya pasal bayi. Segala macam cara sudah dilakukan, tapi Rubi tak kunjung diberi keturunan.
Saking tidak tahannya, Rubi sampai meluapkan emosi terpendamnya.
"Mas! Perempuan mana yang tidak sedih jika ia mengidap penyakit kista? Aku malu, Mas! Aku merasa tidak punya muka ketika orang bertanya tentang kehamilan. Aku juga ingin memiliki anak, tapi mau bagaimana? Aku juga tidak tahu entah bagaimana penyakit ini bisa datang. Hiks hiks hiks." Rubi menunjuk-nunjuk dirinya sendiri.
"Apa? Rubi mengidap kista dan tidak bisa hamil?" Anti yang diam-diam mengintip sontak terperanjat di belakang sana.
Pantas saja hingga sampai saat ini putranya belum memiliki anak. Benar dugaan Anti kalau Rubilah biang di balik semua ini. Anti menjadi geram. Andai saja Jaya menikahi perempuan lain, pasti dia sudah memiliki cucu sekarang.
"Oh, jadi kau mandul?" Anti mendadak keluar dari persembunyiannya.
Bagai disambar petir diri Rubi saat mengetahui bahwa Anti mendengar obrolannya bersama Jaya. Sejak kapan wanita itu ada di sini?
"Mama?" Jaya juga sama terkejutnya.
"Pantas saja kau lari ketika suamiku membahas tentang kehamilan. Ternyata kau mandul, Rubi," cercah Anti.
"Siapa yang mengatakan Rubi mandul?" tanya Jaya.
"Kalian tidak perlu berbohong, karena Mama sudah mendengar semuanya. Rubi mengidap kista dan tidak bisa memiliki anak, kan?"
"Bukan begitu, Ma,"
Pelupuk mata Rubi dihinggapi oleh rintik-rintik air. Sesuatu yang ia takutkan akhirnya terjadi. Baru saja Rubi membahas kekhwatirannya, kini keluarga Jaya telah mengetahui. Mustahil Anti bisa tutup mulut. Pasti dia akan menggembar-gemborkan berita ini ke seluruh penjuru.
Anti mundur beberapa langkah dan langsung berlari menemui suaminya. Sedangkan Jaya dan Rubi menyusul dari belakang. Melihat tingkah Anti yang mendadak aneh, Hardi langsung bertanya.
"Kau dari mana, Anti? Kenapa wajahmu merah begitu?"
"Aku baru tahu jika Rubi mengidap penyakit kista dan tidak bisa punya anak,"
Degh!
Bersamaan dengan itu, Jaya dan Rubi pun sampai di hadapan mereka.
"Bukan begitu, Pa. Siapa bilang Rubi mandul?" Jaya membela.
Jantung Hardi berdegup kencang. Apakah ini alasan yang membuat Rubi pergi dan menghindari obrolan mereka tadi? Kalau memang iya, maka Jaya akan merasa bersalah pada menantunya sendiri.
Rubi tak mampu bertindak atau hanya sekadar berbicara. Ia merasa malu dan senantiasa menangis. Hilang sudah harga dirinya sebagai seorang wanita. Terlebih saat Anti mengusut permasalahan ini.
Suara keras Anti didengar oleh banyak telinga, karena saat ini mereka sedang duduk di sebuah café tepi pantai. Mendapati hal tersebut, Hardi langsung membayar seluruh pesanan mereka dan membawa keluarganya untuk menuju mobil. Hardi paham bahwa situasi saat ini tidaklah beres.
"Lihat menantu bodohmu itu, Mas!" seru Anti ketika mereka berada dalam perjalanan pulang. "Kalian telah salah memilih istri untuk Jaya. Wanita miskin dan kampungan seperti dia pasti tidak pernah mendapat asupan gizi. Makanya bisa mengidap penyakit kista," sambungnya.
Belum puas Anti mengata-ngatai menantunya itu. Tekad untuk memisahkan Jaya dan Rubi semakin bulat. Anti akan menghalalkan segala cara guna tercapainya keinginan.
"Malang sekali nasibmu, Rubi. Ck ck ck!" ejek Melani. Ia sama terkejutnya dengan Anti dan Hardi.
"Rubi. Sejak kapan kau mengidap penyakit kista dan kenapa kau merahasiakan ini dari kami?" tegur Hardi.
"Ma- maafkan a- aku, Pa." Rubi tak dapat mengatakan bahwa ia takut menjadi bahan ejekan seperti yang terjadi saat ini.
"Rubi sudah enam bulan mengidap kista dan saat ini dia sedang menjalani rawat jalan. Jangan berpikiran yang macam-macam. Rubi tidak mandul dan dia masih bisa hamil," bela Jaya. Tak ingin memperkeruh keadaan.
Anti sudah salah tangkap. Wanita itu terlalu cepat mengambil kesimpulan.
"Jangan menutup-nutupi sesuatu, Jaya. Berterus terang saja bahwa istrimu itu memang tidak bisa punya anak,"
"Tinggalkan saja Rubi, Mas." Perkataan Melani sukses menggores hati Rubi.
"Kalian jangan seperti itu. Lagi pula Jaya kan sudah memberitahu kalau Rubi masih bisa hamil." Hardi tak ingin terjebak dalam pikiran negatifnya.
"Kita lihat saja nanti," tantang Anti. Dia yakin betul kalau Rubi tak akan bisa hamil.
***
Seminggu setelah kejadian itu, Anti meminta Jaya untuk hadir di rumahnya. Sebelumnya Anti telah melarang Jaya untuk membawa Rubi.
Deru mesin mobil terdengar ketika jam membidik angka lima sore. Jaya baru saja keluar dari kantornya dan langsung menuju kediaman orang tuanya. Ketika Jaya menginjakkan kaki ke ruang tengah, ia dikagetkan dengan kemunculan seorang wanita asing di sana. Sosok bertubuh tinggi semampai itu sedang mengobrol bersama Anti.
"Loh, kau sudah datang, Nak?" Anti sampai tidak sadar dengan kehadiran putranya.
Jaya mendaratkan bokong di hadapan mereka. Ia tidak mengerti dengan semua ini.
"Jaya, kenalkan ini Calisa. Anak sahabat Mama. Mulai sekarang kalau mau ke mana-mana, kau bisa minta temani oleh Calisa, ya," ucap Anti antusias.
Jaya menyentakkan kepalanya. Apa hanya untuk ini Anti meminta putranya datang?
***
Bersambung