webnovel

Cobaan Beruntun

POV Diego

Setelah masa berkabung atas kematian ibunya selesai, Diego memulai aktivitasnya. Ia tak banyak tinggal di kediaman mewahnya dan memilih untuk tinggal di apartemen. Kematian sang ibu masih meninggalkan duka nestapa di batinnya.

Mobil mewah yang dikemudikannya melaju menuju kantor perusahaannya di sebuah gedung tinggi di pusat kota. Dengan pandangan lurus ke depan, mobil Diego berbaur dengan kendaraan lain menembus padatnya jalanan ibukota. Hari ini akan begitu sibuk bagi Diego, karena mendapat laporan jika keuangan perusahaan bocor kemungkinan ada yang melakukan manipulasi. Tentu saja hal itu akan berpengaruh buruk bagi perusahaan yang dipimpinnya.

Diego segera memasuki lift menuju lantai atas. Begitu keluar dari lift, ia berjalan tegap dan penuh wibawa melewati lorong menuju ruangannya. Dari kejauhan tampak para pegawainya berjajar rapi menyambut kehadirannya setelah beberapa waktu absen ke kantor.

"Selamat siang, Tuan Diego." Secara serempak para pegawai menyambut laki-laki itu. Senyum mengembang di bibir Diego, ternyata berbanding terbalik dengan raut wajah karyawan. Meskipun mereka tampak kompak menyambut Diego yang kembali masuk kantor, tetapi sorot mata para karyawan begitu berbeda. Sebagian besar tampak sedih dan murung.

"Apa yang terjadi, Kevin?" tanya Diego pada salah satu pegawainya.

"Sebaiknya saya mewakili teman-teman berbicara di dalam ruangan saja, Tuan," sahut salah satu pegawainya itu.

"Baiklah, ayo!" seru Diego sembari berjalan menuju ruangannya.

Diego tampaknya telah menduga apa yang akan disampaikan para pegawainya. Dia tahu persis karena telah mendapatkan laporan jika perusahaan dalam keadaan nyaris pailit. Para pemegang saham perusahaan bermain sesuka hati. Mungkin saja termasuk Kathy dan orangtuanya yang selama ini memang menyokong penuh perusahaan yang Diego pimpin.

Ruangan pribadi Diego pintunya telah tertutup saat ia dan salah satu pegawainya sedang berbicara di dalam. Diego mendengar keluh kesah pegawainya yang menyampaikan uneg-uneg jika ingin mengundurkan diri dari perusahaan sebelum benar-benar pailit. Meskipun batinnya hancur, Diego berusaha tegar mendengar semua keluh kesah para pegawai. Ia tak mampu berbuat banyak selain mengikhlaskan kondisi itu untuk sementara waktu.

***

Diego meninggalkan perusahaan dan menembus jalanan ibukota dengan menyetir sendiri mobilnya.

Masih jelas dalam ingatannya tentang peristiwa beberapa saat yang lalu, tepat sebelum ia memutuskan untuk pergi dari kantor dan meninggalkan para karyawan yang menuntut uang pesangon. Mereka tidak di-PHK, melainkan memilih untuk mengundurkan diri karena sadar bahwa perusahaan tempat mereka bekerja sedang mengalami kebangkrutan. Hal itu disebabkan ulah seseorang yang memanipulasi keuangan perusahaan.

Semua karyawan sepakat mengundurkan diri dari perusahaan dan meminta hak mereka sebagai pegawai yang sebentar lagi akan hengkang dari sana. Semua karyawan yang ada di sana menatap ke arah Diego, sosok yang selama ini selalu dihormati atas jabatannya sebagai seorang pimpinan perusahaan. Ia mengembuskan napas lelah, mengamati orang-orang yang ada di sekelilingnya. Semua pekerja bahkan dari satpam dan juga pegawai tampak menuntut hak mereka dengan segera.

"Baiklah, saya akan mengirimkan kalian uang pesangon. Terima kasih sudah bersedia untuk bergabung dengan Naratama Group. Semoga kalian mendapat pekerjaan yang lebih baik." Diego berbicara dengan tenang, tetap berwibawa dengan sikap bijaksana. Sedangkan sebagian para pegawainya memilih untuk menunduk dengan mata berkaca-kaca. Mereka sadar bahwa ini adalah sebuah perpisahan yang tidak diinginkan.

Usai berbicara di depan para pegawai, Diego berlalu begitu saja. Pria bertubuh proposional itu melangkah menuju parkiran dengan isi pikiran yang kalut. Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Hanya sejumput harapan untuk bangkit kembali menyusun bisnis dari nol.

Dari balik kemudinya, lelaki tampan itu berkali-kali mengusap wajah seraya menghela napas. Isi pikirannya tengah kusut, sama persis dengan kondisi wajahnya saat ini. Rambut yang biasanya disisir rapi itu kini terlihat berantakan, bahkan kedua matanya terlihat sayu dengan lingkaran hitam di bawahnya. Memikirkan kondisi perusahaan membuat Diego nyaris putus asa.

Diego teringat masa lalu, saat ayahnya meninggal juga meninggalkan kondisi yang sama pada perusahaan. Kebangkrutan terjadi karena seseorang begitu jahat menipu perusahaan yang dirintis ayahnya. Tak mampu berbuat, kondisi ayahnya memburuk tepat di saat Diego lulus dari sebuah kampus di Australia. Mau tak mau tampuk kepemimpinan jatuh pada dirinya yang merupakan anak tunggal dan memulai lagi dari nol. Di titik inilah orangtua Kathy menawarkan sejumlah modal asal Diego mau dijodohkan dengan Kathy. Padahal saat itu Diego telah menjadi duda karena menikah pada usia muda.

Mobil melaju menuju rumah yang saat ini ditempati Kathy dan anak-anaknya. Diego melirik ke arah arloji yang melingkar di lengan kirinya. Waktu telah menunjukkan pukul empat sore dan ia ingin menemui Kathy untuk membicarakan kondisi perusahaan karena sang istri juga turut andil dalam perusahaan tersebut. Diego berusaha mengesampingkan rasa benci terhadap Kathy karena ia curiga penyebab kematian ibunya adalah ulah istrinya tersebut

Di tengah perjalanan, saat kendaraan roda empat miliknya sedang melaju dengan cepat, tiba-tiba dering ponsel miliknya terdengar. Ia langsung mengambilnya dari saku kemeja di balik jas hitam itu, tertera nomor asing di layar benda pipih tersebut. Nomor asing ya g rupanya telah menghubungi Diego berkali-kali tetaoi tidak terjawab. Diego lantas berinisiatif menepikan kendaraan sejenak untuk menghubungi balik nomor tersebut.

"Halo. Ini siapa? Dengan siapa saya berbicara?" sapa Diego di ujung ponsel.

"Halo, apa benar ini Tuan Diego, suami Natasha?" balas seseorang di seberang sana.

Diego mengernyitkan dahi, merasa aneh karena orang tersebut mengetahui hubungan antara dirinya dengan Natasha.

"Iya benar. Ini siapa ya?" tanya Diego pada penelepon dengan suara wanita itu.

"Saya pemilik kontrakan, saya ingin memberitahukan bahwa Natasha dan anaknya sudah menghilang dari kontrakan terhitung hampir satu bulan, Tuan. Saya sudah berusaha mencari tahu kontak telepon Tuan, tapi baru kali ini mendapatkannya." Suara di seberang sana terdengar gemetar menyampaikan kabar tersebut.

"Menghilang, Nyonya?" tanya Diego yang tersentak seketika. Jantungnya kini berdegup makin hebat.

"Mohon maafkan saya, Tuan, karena baru bisa menghubungi Tuan." Helaan nafas wanita di seberang sana terdengar di ujung telepon.

Panggilan telepon pun terputus, entah siapa duluan yang memutuskannya. Diego terpaku beberapa saat di jok kemudi. Tak terasa buliran bening meleleh dari sudut manik hitamnya.

Sorot mata itu Diego menunjukkan nelangsa, raut wajahnya memancarkan kesedihan. Ia tidak pernah menyangka bahwa cobaan datang bertubi-tubi kepadanya dalam waktu relatif singkat.

Diego segera mengusap air mata yang jatuh beberapa kali, dengan cepat ia pun kembali melajukan kendaraan roda empatnya untuk menuju ke rumah kontrakan milik Natasha. Ia mencari jalan untuk memutar arah.

Selama perjalanan menuju rumah kontrakan Natasha, Diego berusaha untuk menghubungi Kathy. Namun, istrinya tersebut tak kunjung mengangkat panggilan darinya itu. Diego memukul setir karena kesal dengan Kathy yang saat genting seperti itu malah susah dihubungi.