webnovel

Ancaman dan Teror

Lelaki itu terus mendekat dan berdiri saling berhadapan dengan Natasha. Namun, jika sebelumnya ia selalu gugup dan merasa ketakutan, kali ini jauh berbeda. Natasha tampak berani.

"Menurutmu, apa yang telah kamu lakukan, benar, ya?" sindir Jimmy dengan wajah sinis.

"Saya bertindak sesuai dengan nurani. Anak saya butuh pengakuan dari ayah kandungnya," balas Natasha lantang.

"Berarti kamu tidak takut mati telah mengusik ketenanganku dan juga Kathy," ujar Jimmy dengan penuh penekanan, seolah-olah mengintimidasi Natasha. Namun, tak heran jika wanita itu saat ini berani melawan, karena sudah terlalu sering mendapat ancaman dari Jimmy dan juga Kathy.

"Apapun yang saya lakukan demi anak, saya tidak takut mati meskipun harus bersimbah darah dan nyawa sekalipun," tegas Natasha.

"Oke. Pergilah sekarang dan pastikan jaga diri kamu baik-baik!" seru Jimmy, seolah-olah memberikan peringatan kepada Natasha yang telah menyatakan genderang perang.

Tak menunggu waktu lama, Natasha bergegas membalikkan badan, kemudian melangkah cepat menuju pintu gerbang rumah mewah tersebut. Tangisnya membuncah lagi, diikuti rengekan kecil buah hatinya. Begitu tiba di pintu gerbang, tubuh Natasha yang menggendong Jordan luruh di sisi pagar. Dia tidak bisa menahan tangis saat mengingat begitu banyak orang-orang yang terus berusaha menyingkirkannya dari kehidupan Diego.

Setelah beberapa lamanya luruh dalam tangis, Natasha bergegas bangkit. Dia lantas berjalan kaki menuju ujung jalan untuk menanti sebuah taksi yang akan mengantarnya ke stasiun. Batinnya memang merasa harus segera pergi dari situ, agar tidak terjebak pada rasa sakit yang menderanya kini.

Setelah bergonta-ganti moda kendaraan, Natasha tiba di perkampungan tempat tinggalnya. Dia lantas berjalan kaki untuk menuju rumahnya. Begitu tiba di halaman, tidak langsung memasuki rumah. Dia justru duduk di gazebo terlebih dahulu, padahal menjelang petang. Lagi-lagi tangisnya membuncah mengingat segala yang terjadi pada kehidupannya, apalagi saat dirinya telah mempunyai buah hati.

"Natasha! Sedang apa duduk-duduk di situ? Apa Jordan rewel?" Natasha tersentak, kemudian menoleh ke arah wanita pemilik kontrakan yang memanggilnya. Namun, belum sempat dirinya menyahut, wanita yang membiarkan rambutnya bercat pirang itu justru menghampiri.

"Kenapa menangis? Apa Jordan sakit?" tanya wanita itu kemudian.

"Saya baru saja pulang dari rumah ayah kandung Jordan, Nyonya," sahut Natasha dengan sesenggukan.

"Rumah ayahnya berada di kota?" selidik pemilik kontrakan tersebut.

"Iya, Nyonya. Ini semua saya lakukan demi masa depan Jordan ke depannya. Saya ke sana meminta pengakuan," jelas Natasha.

"Ya sudah, tenanglah. Berdoa saja semoga ke depannya, kamu dan Jordan baik-baik saja."

Batin Natasha berangsur tenang dan tangisnya mulai mereda. Sesaat kemudian dirinya berpamitan masuk ke rumah. Begitu langkahnya tiba di dalam rumah, ia bergegas menuju kamar, membaringkan Jordan dan menghamburkan tubuhnya sendiri ke kasur. Natasha membenamkan wajah di bantal dan tangisnya kembali pecah. Berkali-kali dirinya juga menyebut nama Diego.

Malam mulai merangkak naik. Batin Natasha didera nelangsa. Tangannya bergerak mengelus pucuk kepala sang anak yang terlelap. Sesekali sebelah tangannya terangkat, mengusap buliran bening yang membasahi kedua pipinya.

***

Waktu telah berlalu begitu cepat, Natasha telah bisa melupakan kepahitan dalam hidupnya. Namun, bukan berarti dia melupakan segalanya, termasuk rasa cintanya terhadap Diego yang masih membara. Hampir setiap saat dirinya selalu teringat dengan Diego dan tak lepas selalu berdoa untuk lelaki yang dicintainya itu.

Natasha bersiap mengantar pakaian yang telah selesai dikerjakannya. Dia menyimpannya rapih di dalam kantung plastik berwarna bening. Dengan semringah dirinya menenteng plastik tersebut menuju rumah pelanggan yang memiliki warung makan sekaligus tempat perjudian.

Natasha menitipkan Jordan kepada pemilik kontrakan. Ia sebenarnya enggan mengantar pakaian ke sana karena merasa kapok oleh kelakuan suami pemilik kedai yang pernah melecehkannya. Andai saja bukan pelanggan tetap di laundrynya, mungkin Natasha akan menolak orderan itu.

Natasha yang berjalan kaki menuju rumah pelanggannya tersebut, tiba di sebuah jembatan. Itu tandanya sebentar lagi ia sampai di rumah yang dimaksud. Sejenak, dia berhenti itu membetulkan ikatan pada plastik yang terasa longgar. Namun, begitu dirinya membungkukkan badan, ekor matanya justru melihat wanita pemilik kedai, berada di bawah jembatan padahal sungai sedang mengalir deras.

Natasha segera mengikat kuat plastik, kemudian berjalan menuruni anak tangga menghampiri wanita tersebut. Ia tiba-tiba ingin tau apa yang dilakukan wanita itu sendirian di tepi sungai. Natasha merasa ketakutan, jika wanita pemilik kedai melakukan hal yang tidak diinginkan, mengingat wanita itu pernah diperlakukan kasar oleh suaminya.

"Nyonya, apa yang nyonya lakukan di sini?" tanya Natasha begitu menghampiri wanita tersebut.

"Nyonya?! Saya hanya ...." Wanita itu tidak meneruskan ucapannya, dia sibuk memalingkan wajah.

"Sepertinya hidungnya berdarah, Nyonya? Aku dulu seorang perawat, sini aku bantu untuk membersihkan darahnya!" Natasha menawarkan diri untuk memberi pertolongan pada wanita tersebut.

"Tidak usah, Nyonya! Udah saya bersihkan sendiri. Ngomong-ngomong, Nyonya mau ke mana? Kalo mau mengantar pakaian ke rumah, lebih baik jangan sekarang, Nyonya. Suami saya sedang emosi di rumah. Nyonya, tau sendiri, kan?" ujar wanita pemilik kedai.

"Oh ya? Saya takut juga kalo begitu. Bagaimana kalau sekalian nyonya bawa ke rumah aja, ya?" sahut Natasha sembari menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Nyonya, sebaiknya Nyonya berhati-hati dengan suami saya! Dia mata keranjang dan selalu tidak peduli untuk berbuat tidak senonoh pada wanita manapun," ucap wanita itu kemudian.

"Kenapa bisa begitu? Bukankah dia sudah memiliki istri secantik, Nyonya?" selidik Natasha.

"Saat itu suamiku mengatakan begitu memuja kecantikanmu, Nyonya. Bahkan ia ingin mengejar hendak merayu agar mendapatkan, Nyonya. Dia tahu kalo status Nyonya single parent. Saya sendiri hanya wanita yang berada di sampingnya tanpa ikatan, Nyonya." Wanita itu mengadu membuat Natasha tersentak seketika. Batin Natasha juga ketakutan.

Tak selang berapa lama, wanita bernama Sania itu membawa pakaian yang telah selesai dikerjakan Natasha untuk dibawa pulang. Meskipun, Natasha sedikit kecewa karena upahnya belum terbayar, akan tetapi ia bersyukur tidak bertemu dengan suami wanita itu. Natasha kemudian pulang dengan tangan kosong.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Natasha terus memikirkan ucapan wanita pemilik kedai itu. Batinnya begitu cemas. Beruntung, ia bisa mengetahui bahaya yang mengancamnya, sehingga ia harus lebih berhati-hati.

Natasha merasa hidupnya penuh teror dan ancaman sejak mengandung Jordan hingga anaknya telah berusia dua tahun saat ini. Ancaman tak henti-hentinya datang kepadanya, terutama dari Jimmy yang tentu saja bekerja sama dengan Kathy.

Natasha hampir tiba di rumah kontrakannya, saat matahari tepat berada di atas kepala. Dari kejauhan dia menatap sebuah mobil yang terparkir di jalan depan rumah kontrakannya. Semakin dekat langkah kakinya, ia justru semakin gemetar ketakutan. Ternyata, mobil yang terparkir di depan rumah kontrakannya adalah salah satu mobil milik Diego.