Chayra menahan tawa. Pintu kayu dibuka begitu mudah, menampilkan lorong gelap penuh obor yang apinya berwarna biru. "Ayo masuk, nanti saya jelaskan di dalam."
Harith dan rombongannya menuntun tunggangan menuju lorong. Selepas orang terakhir masuk, pintu mendadak tertutup rapat. Suara gebrakannya membuat semua orang menoleh ke belakang. Amat sangat terkejut.
"Tenang, tidak usah panik. Pintu itu ditutup agar dapat menghilang. Sehingga mereka yang di luar tidak bisa melihatnya," jelas Chayra. Tangannya menyentuh pundak, meyakinkan Harith.
Anggukkan pelan dengan bibir dikulum pertanda Harith kurang yakin. Hanya karena Chayra, dia berusaha percaya dan berseru pada bawahannya untuk terus maju ke depan.
Lorong yang mereka masuki cukup panjang. Tak ada apapun selain obor dengan api biru menghiasi dindingnya. Hanya terdengar bunyi langkah kaki beserta barang-barang yang mereka bawa. Juga bunyi-bunyian dari pakaian yang saling bergesekan, sangat terdengar jelas berkat lorong yang begitu sunyi.
Mereka terus melangkah sampai kedua ujung lorong gelap gulita. Beberapa pelayan mulai mengutarakan kecemasannya kepada sesama teman. Pelayan paling belakang mengatakan, saat dirinya menjauhi obor, api biru akan padam sendiri. Sementara pelayanan bernama Alika menimpali, obor akan mengeluarkan api biru ketika Nyonya Chayra semakin dekat. Keduanya terlihat bergidik hanya karena keanehan seperti itu. Padahal hal tersebut tidak aneh jika menyangkut sihir. Akan tetapi, mereka bukanlah orang dari masa lalu. Jelas saja tidak tahu tentang keberadaan pengguna sihir.
Obrolan dua pelayan seketika sampai ke telinga Harith, karena dibisiki oleh Syamsi. "Bagaimana menurut Anda, Pangeran?" tanya Syamsi.
Harith menatap sekilas Chayra. Dia tahu wanita itu tidak akan mengantarkan mereka pada suatu hal yang buruk. Maka dia menjawab pertanyaan dengan pernyataan, "Tempat ini kehadirannya saja sudah aneh, sangat masuk akal jika dalamnya jauh lebih ajaib dari kehadirannya."
Syamsi pun mengangguk setuju, merasa pendapat tuannya sangat masuk akal. Dan kembali menjaga jarak sambil menuntun kuda tunggangan.
"Sebentar lagi, kita sampai," seru Chayra mengingatkan semua orang yang ada di belakangnya. untuk bersiap keluar dari lorong. Karena secercah cahaya terlihat menyelinap masuk ke dalam.
Chayra menarik pergelangan Harith untuk bergegas. Bersama rombongan, mereka keluar satu per satu. Dari Chayra terlebih dahulu, kemudian Harith, setelahnya Syamsi, dan terakhir para pengawal dan pelayan.
Mereka semua, dihadapkan pada sebuah oase yang sangat asri. Pohon-pohon kelapa tampak berdempetan sehingga menutupi dunia luar. Begitupun semak dan rerumputan, cukup lebat dengan bunga kecil yang mekar pada pucuknya.
Harith mencoba berjalan beberapa langkah, ia mencuci muka dengan air danau. Menariknya suhu air tidak sedingin di oase yang biasa mereka singgahi. Justru lebih segar dan membuat Harith ingin secepatnya mandi.
"Anda mau begitu saja membuka baju di depan mereka, Pangeran?" Chayra berkomentar seraya mencondongkan tubuh. Memperhatikan Harith yang sudah membuka jubah bertudung dan sabuk kain di perutnya. Dengan senyuman jahil tersungging, mengakibatkan gerakan tangan Harith membeku seketika.
Harith menoleh kaku ke belakang lalu menatap Chayra lagi. "Um, maaf," ucapnya singkat dan kembali memasang sabuk dan jubah dengan rusuh. Sampai sabuk hitamnya beberapa kali jatuh akibat perasaan malu yang kian membesar.
Sementara orang-orang di belakang termasuk Syamsi, terlihat menahan tawa dengan pura-pura mengalihkan pandangan. Mereka sudah terbiasa dengan kekonyolan Pangeran Harith yang seperti itu. Namun tetap saja, tak bisa tidak tertawa jika hal tersebut terjadi lagi.
Setelah selesai memasangkan kembali, Harith membenarkan cara berdiri dan berdeham untuk mengembalikan wibawanya sebagai pangeran.
Beliau berbalik seperti tidak ada yang terjadi. Mulai berseru pada bawahannya untuk membangun tenda sementara. Sembari menunggu hari eksekusi Hazard. Para pelayan dan pengawal bergotong-royong dalam membangun tenda.
Memperhatikan kecakapan Harith, Chayra tidak sadar menyunggingkan senyum. Setiap kali melihat wajah serius pangeran, ia selalu teringat mendiang Raja Ghani, suaminya. Apalagi ketika berbaur dengan istri-istri beliau dan menggosipkannya, mereka semua sangat bahagia bisa dipersunting oleh raja yang sangat bijaksana, adil terhadap istrinya, dan sedikit konyol seperti Raja Ghani.
Chayra kembali teringat saat dirinya memiliki adik madu juga, yaitu Alea. Ada sedikit rasa cemburu ketika melihat sosoknya, tapi kakak-kakaknya yang lain begitu terbuka dan sangat baik pada Alea. Terutama sang Ratu, beliau segera memanggil Alea untuk mengajaknya minum teh bersama sebelum pernikahan dilaksanakan. Persis sama, seperti yang beliau lakukan padanya dan kakak-kakak madunya yang lain.
Setelah malam pertama. Alea segera ditarik oleh kakak-kakaknya untuk bergabung dalam acara minum teh bersama. Berbeda dengan Ratu Suryan, beliau adalah seorang Ratu dan kakak pertama kami yang sangat sibuk. Jadi jarang sekali berkumpul bersama.
Dalam acara minum teh ini, mereka gemar menggosipkan Yang Mulia Ghani. Karena memang menurut mereka, inilah topik pembicaraan yang paling menarik.
Sementara Chayra tidak begitu nyaman, terlihat Alea juga merasakan hal yang sama saat kakak-kakak madu menceritakan keromantisan Yang Mulia. Dan semuanya memang diperlakukan sama oleh beliau, termasuk Chayra.
"Bagaimana denganmu, Alea? Yang Mulia pasti sangat romantis saat malam pertama?" Kakak kedua bertanya tanpa ragu, hal ini membuat rona merah muncul begitu saja diwajah Alea yang manis.
"Ah! Ya-yang Mulia belum melakukannya," jawab Alea dengan jemari mengepal erat dan menunduk.
"Loh, kenapa? Tapi Yang Mulia tidak dingin terhadap kamu, kan?" Kini giliran kakak ketiga yang bertanya.
Alea lantas menatap kakak ketiga dan menggeleng cepat. "Tidak! Yang Mulai sangat-sangat baik. Beliau membuat saya merasa spesial. Tapi, saya belum siap. Dan Yang Mulia mengerti. Makanya saat itu kami hanya tidur bersama saja."
Kakak ke empat yang paling Chayra tidak suka pun bersuara, "Padahal sudah menikah, tapi kau masih saja menolak. Yang Mulia sampai rela menyisihkan waktu khusus untukmu. Atau jangan-jangan kau ingin jual mahal agar Yang Mulia menganggapmu spesial, begitu?"
Kakak-kakak yang lain terdiam dan sepertinya setuju dengan kalimat kakak ke empat. Sungguh, ingin sekali Chayra menyangkal ucapan kakak keempat, tapi nyalinya terlalu kecil untuk melakukan hal tersebut.
Di saat semua diam dan Alea mulai tertekan dengan suasana di taman kerajaan ini. Kakak kedua mendekati Alea dan langsung memeluknya. "Tidak apa-apa, dulu aku juga seperti kamu. Dan Ratu Suryan justru memelukku seperti ini dan kami tertawa bersama. Aku mengerti, kamu pasti sangat-sangat malu semalam. Karena baru pertama kali satu kamar dengan Yang Mulia."
"Tunggu-tunggu, kakak juga dulu begitu?" tanya kakak kelima dengan wajah yang sangat penasaran dan sedikit terkejut.
"Ya, aku dulu seperti Alea."
"Kenapa kakak tidak menceritakannya pada kami?" kakak ketiga bertanya juga.
"Aku tidak bisa menceritakannya karena kalian semua tidak mengalaminya. Sangat wajar hal seperti ini terjadi, sebab aku dan Alea memiliki kesamaan. Berbeda dengan kalian semua yang berasal dari keluarga terhormat." Penjelasan kakak kedua ini benar-benar membuat kami semua merenung dan akhirnya mengangguk mengerti.
"Benar juga, terlalu kejam kalau pikiran kita picik seperti tadi. Maafkan kami semua ya Alea." Senyum merekah dari bibir indah kakak ketiga dan kedua tangannya yang meraih tangan Alea dengan lembut, membuat perasaan Chayra lebih lega karena memiliki kakak-kakak yang begitu dewasa. Kecuali kakak keempat saja, dia memang gak berbeda.
Chayra sendiri pernah diperlakukan sama oleh kakak keempat. Namun sebenarnya, sikap seperti itu muncul hanya karena hatinya yang mudah cemburu. Dia kesulitan menerima orang baru seperti Alea dan Chayra. Sementara kakak kelima tidak diperlakukan begitu, karena status keluarganya jauh lebih tinggi dari kakak keempat.
Andai saja kejadian 'itu' tidak pernah terjadi, pasti kami masih bercengkerama sambil menyesap segelas teh dengan damai. Sayangnya, masa-masa indah tidak bisa diulang kembali. Hanya bisa dikenang sebagai masa lalu yang menyenangkan, kata Chayra dalam hatinya sambil menyesap teh di dalam tenda sendirian.
Tiba-tiba saja Harith masuk ke dalam tenda sembari menunduk lalu bersila di hadapannya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Chayra dengan senyum mengembang di wajah.
Namun, raut muka Harith yang mendadak sendu membuat keduanya berada dalam keheningan.