D
i Florence, Italia Chella tengah ngakak tidak berhenti melihat video dari Leonna, begitu juga dengan Vino yang duduk di belakang Chella sambil memeluk tubuhnya dari belakang. "Princes memang ajaib, dia mengerjai para Daddy sampai segitunya." Kekeh Vino.
"Kamu benar Al, astaga aku gak bisa berhenti ketawa melihat mereka." Tawa Chella sampai memegang perutnya sendiri.
Setelah selesai menonton, masih ada kekehan kecil dari keduanya. Vino lalu beranjak mengambil sebotol wine dan menyeduhkannya ke dalam dua gelas. Ia membawanya ke Chella yang duduk di balkon kamarnya melihat pemandangan indah di depannya. Vino menyodorkan wine itu kepada Chella, "Bellissimo Moscato White Wine," ucap Vino membuat Chella menengok ke arahnya. "Rasanya lebih manis dan kandungan alkoholnya sangat rendah, cobalah. Kamu pasti menyukainya."
Chella menerima gelas yang berisi cairan bening itu. Ia belum pernah meminum berbagai minuman alkohol. Chella menyesapnya sedikit dan tersenyum ke arah Vino. "Rasanya manis,"
"Aku tau kamu akan menyukainya," Chella kembali tersenyum dan menyandarkan kepala dan punggungnya ke dada Vino yang menjulang tinggi di belakangnya, keduanya menikmati pemandangan hujan salju di depan mereka.
"Aku sangat bahagia, Al. Terima kasih," gumam Chella.
"Aku juga sangat bahagia, sedikit-sedikit puing kenangan kita mulai aku ingat. Aku akan membiarkan semuanya mengalir begitu saja tanpa ingin memaksakan diri untuk mengingatnya. Yang jelas sekarang aku lega karena kamu sudah menjadi milikku." Bisik Vino semakin memeluk Chella.
"Aku tidak pernah membayangkan kalau kamu adalah jodohku, selama ini aku hanya sibuk mengejar satu pria." Kekeh Chella.
"Leonard," Chella menengok ke arah Vino dengan kernyitannya.
"Kamu-?"
"Aku mengingat itu, awalnya aku sempat kesal pada Leon tetapi aku tau Leon memang begitu sikapnya. Dan aku bersyukur bisa menarik hatimu darinya."
Chella terkekeh mendengarnya, "Kamu gak akan marah padaku?"
"Kenapa harus marah? Itu hanya cinta monyet," keduanya terkekeh bersama.
Chella kembali meneguk moscatonya dan menatap ke atas langit yang terus menjatuhkan salju dari sana. "Aku sedikit trauma kalau kamu kembali terbang, aku takut kejadian itu terulang." Chella menengok ke arah Vino dengan mata berkaca-kaca. "Aku takut kamu tidak kembali lagi, Al."
"Ssstt, sekarang ada kamu yang selalu menungguku. Aku akan selalu menjaga diriku dan kembali padamu," Vino mengecup kening Chella cukup lama. "Janji?"
"Janji, kamu tenang saja Chell. Aku tidak akan pernah membuatmu takut dan menangis lagi." Vino menampilkan senyumannya hingga memperlihatkan lesung pipitnya. "Aku punya sesuatu untukmu," Vino menyimpan gelasnya dan merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah kalung berlian dengan gantungan sebuah pesawat kecil yang indah.
"Bagus," ucap Chella menyentuh gantungan kalungnya.
"Pakailah ini, karena sampai kapanpun aku akan selalu mendarat di hatimu." Ucapan Vino membuat Chella tersipu malu tetapi ia sungguh sangat bahagia.
Vino segera memasangkannya di leher jenjang Chella dan menarik pundak Chella agar menghadap ke arahnya. "Cantik,"
"Terima kasih banyak Al," Chella berjinjit dan mengecup bibir Vino. "Aku sangat mencintaimu," ia membelai wajah Vino yang masih tersenyum.
Saat ini Vino dan Chella tengah berjalan-jalan di malam hari, mereka menikmati segelas cup kopi hangat untuk menghangatkan tubuh mereka. Vino tak melepaskan rangkulannya pada pundak Chella sedikitpun. Mereka menikmati malam yang indah itu, banyak sekali orang yang berjalan-jalan dan membeli beberapa peralatan untuk menyambut hari raya Natal dan Tahun baru. Mereka berdua ingin menghabiskan Natal pertama mereka di sini saat status mereka sudah menjadi sepasang suami istri.
Chella dan Vino sibuk memilih beberapa pernak pernik untuk pembuatan pohon natal mereka. Setelah mengumpulkan semuanya mereka kembali ke hotel.
Chella langsung membongkar belanjaan mereka sesampainya di hotel, dan Vino menyeduhkan minuman untuk mereka seraya memutar piringan hitam, memutar lagu kesukaan mereka membuat Chella menengok ke arahnya dengan senyumannya.
"Sini Al, bantu aku."
Vino langsung duduk di hadapan Chella dengan menyimpan dua gelas minuman. Mereka sama-sama merias pohon natal itu dengan sangat antusias, sesekali Chella atau Vino saling mencuri pandang, ini pertama kalinya mereka menghias pohon natal bersama. Biasanya Chella di bantu Leonna atau Datan untuk menghias pohon natal. Vino mulai melilitkan beberapa kabel berwarna gold untuk menyalakan lampu kecil yang menggantung di sekitar pohon.
"Dan ini yang terakhir," Chella memasangkan miniatur pesawat di puncak pohon di bantu Vino, keduanya tersenyum puas melihat hiasan pohon natal berukuran sedang itu. "Cantik," gumamnya seraya meneguk minumannya.
"Natal kali ini kita sudah bersama, dan aku janji natal natal selanjutnyapun kita akan selalu bersama." Ucap Vino merengkuh pinggang Chella dan mencium bibirnya yang beraroma buah cerry dari minumannya. Begitu terasa manis,
Vino mencecapnya dengan lembut membuat Chella membalas ciumannya dengan berjinjit. Vino membawa tubuh Chella ke dalam gendongannya tanpa ada kesulitan tanpa melepaskan ciuman mereka. Ia membawa Chella ke meja bar dan mendudukannya di sana. Ia mulai melepas pangutan mereka saat nafas mereka hampir kehabisa.
Vino hendak membuka T-shirt yang Chella gunakan. "Disini?" tanya Chella menatap sekelilingnya.
"Kita coba yang baru," ucapnya diiringi senyuman manisnya dan kembali membuka T-shirt Chella. Chellapun melakukan hal yang sama, membuka kaos yang Vino gunakan. Dan Vino langsung menerjang Chella, ia mengecupi leher jenjang Chella dan terus turun membuat Chella terengah dan hanya mampu meremas rambut Vino. Darahnya sudah terbakar karena gairah, Chella bahkan sudah tanpa malu lagi menekan kepala Vino ke bagian sensitive nya. Sesuatu yang sangat dia sukai,
Vino membuka kedua kaki Chella dengan lebar, ia perlahan membuka sisa kain yang menempel di tubuh mereka dengan tak sabaran hingga bukti gairahnya terlihat jelas membuat Chella merona melihatnya.
Vinopun mulai menyatukan tubuh mereka dengan Chella yang duduk di atas meja bar. Hentakan Vino membuat Chella menengadahkan kepalanya ke atas diiringi erangan lembutnya. Peluh sudah membasahi tubuh keduanya yang sama-sama menggila karena gairah mereka. Musik masih berputar dengan merdu mengiringi aktivitas mereka di malam natal itu.
Leonna tengah membantu Verrel mengancingkan pakaiannya, tetapi Verrel malah terus memeluknya dan menciumi lehernya. "Kak,"
"Hmm,"
"Aku sulit mengancingkan kemejanya."
"Biarkan saja," Verrel masih sibuk dengan aktivitasnya.
"Kak, aku mau kuliah."
"Ijin saja," Verrel terus menciumi leher Leonna. Dari semalam, Verrel tak ingin lepas dari Leonna. Entah kenapa, ia seperti anak yang ingin selalu nempel dengan induknya.
"Astaga Kak, Lepasin." Leonna sedikit mendorong dada Verrel agar terlepas.
"Aku kangen kamu," ucap Verrel dengan polos.
"Kakak dari semalam nempel terus juga. Kak aku ada jadwal pagi."
"Hmm," Verrel kembali melakukan aksinya memeluk Leonna dan menciumi leher jenjangnya, meninggalkan bekas merah disana.
"KAKAK!" teriak Leonna tepat di telinga Verrel dan itu berhasil membuat Verrel menjauhinya dengan memegang telinganya.
"Astaga De, gendang telingaku hampir pecah." keluh Verrel,
"Siapa suruh gak mau lepas." ucap Leonna kembali merapihkan kemeja Verrel serta memakaikan dasi padanya.
"Aku kan kangen kamu, Delia sayang."
"Kakak, kita bersama setiap hari," Leonna beranjak mengambil jas hitam dan membantu Verrel untuk memakainya.
Setelahnya mereka menuruni tangga untuk sarapan bersama dengan Verrel yang masih merangkul tubuh Leonna. "Pagi Pa, pagi Ma, pagi Le, pagi Rian." sapa Leonna mencium pipi semuanya.
"Suami kamu enggak kamu cium juga?" Tanya Verrel membuat yang lain menatap ke arahnya dengan kebingungan.
"Daritadi di kamar kan sudah, gak lihat nih." Leonna menunjuk lehernya yang di tutupi syal, membuat yang lain terkekeh dan hanya menggelengkan kepala.
"Kan ini bukan di kamar," Leonna memutar bola matanya dan mengecup pipi Verrel setelahnya duduk di kursi untuk menikmati sarapannya.
Verrel yang mengantarkan Leonna ke kampus, sesampainya di sana Verrel masih tak membiarkan Leonna untuk turun dari mobil. "Astaga Kakak, aku sudah kesiangan." keluh Leonna,
"Satu ciuman lagi," ucap Verrel dengan senyumannya membuat Leonna memutar bola matanya. Ada apa dengan suaminya hari ini,,
Cup
"Sudah, aku masuk yah. Dadah suamiku sayang,"
Dengan berat hati, Verrel membiarkan Leonna menuruni mobilnya, pandangannya masih terarah ke arah Leonna yang berjalan memasuki kampusnya. Setelah Leonna tak terlihat lagi, Verrelpun menjalankan mobilnya meninggalkan area kampus.
Sore itu Leonna pergi menuju ruangan lab karena di suruh salah seorang dosennya untuk menyimpan beberapa alat praktek. Saat tengah sibuk membereskan alat-alat praktek, terdengar suara keras di ruangan lab yang luas itu. Ia langsung berbalik dan menatap sekelilingnya. "Siapa itu?" teriak Leonna menatap sekeliling ruangan hingga melihat sosok berjubah hitam tengah berjalan ke arahnya. "Siapa kamu?" teriak Leonna.
Seseorang itu berhenti berjalan dalam jarak yang cukup dekat karena Leonna terus mundur. Seseorang itu membuka penutup kepalanya dan mendongakkan kepalanya dengan memegang pisau tajam di tangannya. "Ke-kere?" Leonna membelalak lebar.
"Hay bocah songong," seringai tercetak jelas di bibir Caren yang terlihat pucat. Leonna segera mengambil ancang-ancang untuk menghindar dan mengeluarkan handphonenya untuk menghubungi seseorang.
"Kakak plis angkat," gumam Leonna.
"Hallo De,"
"Aarghhhhh!! Kakak, Kere-"
"Delia!!"
Tubuh Leonna terdorong dengan luka gores di punggungnya hingga berdarah. Handphonenya terlempar ke lantai. Caren berjalan mendekati handphone Leonna yang tergeletak. "KAKAKKKKKKKKK!!"
Kreek
Caren menginjak iphone dengan gantungan boneka hanbok sepasang dengan milik Verrel. Bonekanyapun hancur karena Caren berkali-kali menginjaknya. Leonna berangsur mundur dan beranjak dengan berpegangan ke meja lab untuk menuju pintu keluar. Ia segera mencapai pintu tetapi sudah di kunci. "Tolongggg.... Tolonggg siapapun yang ada di luar tolong akuuuuuuu!!" Leonna terus menggedor pintu itu dengan ketakutan. Masalahnya Leonna bisa saja melawan, tapi Leonna takut terjadi sesuatu dengan bayinya. "Awwww!" Caren menjambak rambut Leonna membuatnya tertarik ke belakang dan meringis sakit. Pisau di arahkan ke leher Leonna membuat syal yang Leonna gunakan jatuh ke lantai dan bercak merah itu terlihat jelas membuat darah Caren mendidih. Ia menggores kecil leher Leonna yang terdapat tanda kepemilikan dari Verrel. Membuat Leonna menjerit kesakitan karena luka sayatan.
"Kamu pikir kamu bisa memiliki calon tunanganku, hah? Kamu pikir kamu sudah menang bocah ingusan!!" pekik Caren membuat Leonna terus meringis dan memukul tangan Caren yang menjambak rambutnya. "Dia milikku, Sialan!"
Leonna menyikut perut Caren membuatnya mundur dan melepaskan jambakannya. Kesempatan itu Leonna gunakan untuk mendorong tubuh Caren. "Aarrghhhhh!!" Caren menjerit saat sebagian wajahnya mengenai zat kimia yang ada di sana dan sebagian wajahnya melepuh dan memerah. Kesempatan itu Leonna gunakan untuk membawa kursi dan
Prankkk
Leonna memecahkan jendela yang ada di ruang lab. Caren kembali memukul tengkuk Leonna membuatnya menabrak meja di depannya. Ia meringis saat perutnya membentur meja di depannya. Caren mengacungkan pisaunya dan ingin menusukkannya ke Leonna, tetapi Leonna berhasil menghindar dan tusukan itu mengenai meja hingga tembus. Leonna mengambil kayu patahan kursi dan memukulkannya ke Caren hingga membuatnya terkulai ke lantai.
Leonna segera berlari dengan menahan kesakitannya dan mendorong meja mendekati dinding dan segera menaiki meja itu untuk bisa keluar lewat jendela yang tadi sudah dia pecahkan.
Srett
"Aarghh," Leonna meringis saat kakinya di gores Caren dengan pisaunya. Ia memegang daerah betisnya yang sobek dan berdarah hingga berceceran.
Brakk
"Aarrghhh!" Tubuh Leonna di lempari kursi dari kayu oleh Caren membuat tubuhnya terdorong dan terguling dari atas meja yang cukup tinggi ke lantai dalam posisi yang tengkurap. Leonna memegang perutnya yang terasa semakin sakit. Dan sesuatu seakan keluar dari bagian selangkangannya. Leonna meringis kesakitan dan berangsur untuk mencapai pintu. 'Kakak, tolong aku.'
Caren menendang bahu Leonna hingga membuatnya terlentang. Caren menyeringai melihat Leonna yang terlihat kesakitan dan lemah. Ia mengacungkan pisau di tangannya. "Aku mohon jangan membunuhku, aku sedang hamil. Aku mohon Caren. Ini adalah impianku dan Kakak, ku mohon jangan lakukan. Kalau kamu begitu mencintai Kakak, maka jangan hancurkan impiannya. Aku mohon Caren." ucap Leonna terdengar lirih diiringi tangisannya.
"Inilah yang aku inginkan, hahaha. Sekali bunuh, dua nyawa melayang." tawanya menggelegar membuat Leonna semakin ketakutan. Bahkan Caren tak perduli sebelah wajahnya yang melepuh dan memerah. Kalau kalian belum pernah melihat jelmaan iblis betina, maka inilah saatnya kalian lihat. Karena Caren lebih menyeramkan dari seorang iblis.
"Aku mohon, jangan." Leonna sudah sangat ketakutan dan terus berangsur mundur.
"Tidak ada yang boleh memiliki Verrel, selain aku. Karena kau begitu ngotot maka aku akan membunuhmu!" ucapnya tajam membuat Leonna menelan salivanya sendiri.
Brak
Leonna terbatuk-batuk saat rak kecil menimpa tubuhnya karena di dorong Caren. Darah semakin menggenang disana. Luka di tubuhnya semakin parah. Ia sudah sangat kesakitan. Caren kembali menendang Leonna hingga tubuhnya terlentang dan....
"AAARRRGGGHHHHHHHH!!" Leonna menjerit kesakitan saat Caren menginjak perutnya dengan kencang. Ia merasa jantungnya di cabut paksa dari tempatnya. Darah semakin deras keluar dari bagian selangkangannya. Caren tertawa puas melihat Leonna yang merintih kesakitan. Itu seakan sebuah kesenangan baginya.
Caren kembali menjambak rambut Leonna dan menyeretnya, tubuh Leonna yang sudah tak memiliki tenaga lagi pasrah di seret Caren hingga darah berceceran di lantai.
"SIAPA DIDALAM!!" gedoran seseorang terdengar di pintu, membuat Caren menengok. Leonna sudah tak sanggup lagi membuka suaranya. Tubuhnya sangat lemah dan sakit, seakan semua urat syarafnya putus.
Brak
Brak
Caren mulai gelisah saat pintu di dobrak seseorang, dia membawa Leonna ke arah tangga yang menghubungkan lab dengan tempat penyimpanan peralatan. Caren melemparkan tubuh Leonna ke bawah sana, membuat tubuhnya berguling melewati anak tangga yang cukup banyak hingga tubuhnya tergeletak di bawah sana dalam keadaan yang sangat menyedihkan dengan tubuh yang bersimbah darah.
Brak ... Verrel berhasil mendobrak pintu bersama Leon dan Datan. Langkah mereka terhenti melihat kondisi lab yang hancur dan darah banyak menggenang disana.
"Oh sial!" gumam Datan yang sama syoknya dengan Verrel dan Leon.
"DELIA!!" panggil Verrel mencari keberadaan Leonna.
Darah berceceran dari depan papan board, hingga ujung pintu. Di dekat jendela darah menggenang begitu banyak. Bahkan di dinding dan lantaipun banyak sekali darah.
Verrel terduduk saat melihat iphone Leonna hancur bersama dengan boneka hanboknya di dekat darah yang berceceran. "Kak, sebelah sini" teriak Leon.
Verrel memasukkan iphone Leonna ke dalam saku jasnya dan berlari ke arah Leon. Disana terlihat darah banyak sekali menggenang dan terlihat darah itu berceceran di atas lantai seperti korbannya tengah di seret. Mereka bertiga terus mengikuti arah darah itu hingga tangga dan mata mereka membelalak lebar saat melihat tubuh Leonna tergeletak dalam posisi tengkurap dan darah menggenang disana sangat banyak sekali.
"Delia!" Verrel berlari menuruni tangga diikuti Leon dan Datan. Verrel segera merengkuh tubuh Leonna dan membaliknya. Wajah Leonna terlihat pucat dan darah benar-benar memenuhi seluruh tubuhnya. "Delia buka matamu." Verrel terus mengusap kedua pipi Leonna yang terasa dingin. "Deliaaaa ku mohon buka matamu,,," Verrel menangis dalam diam memeluk kepala Leonna yang tak sadarkan diri.
Leon dan Datan yang juga syok melihat kondisi Leonna terduduk di anak tangga dengan pandangan kosong. "Delia buka matamu," isak Verrel memeluk Leonna dan mengecup keningnya.
Brak
Leon dan Datan menoleh saat mendengar suara gebrakan tak jauh dari mereka. Mereka berlari ke sumber suara dan menemukan Caren yang terlihat menjatuhkan barang disana. Leon yang sudah emosi memukul wajah Caren, tidak perduli dia itu seorang wanita.
"Hentikan, dia seorang wanita." Tahan Datan.
"Dia iblis betina, dia bukan manusia!" pekik Leon tanpa sadar Caren tengah mengacungkan pisau ke arahnya. Tetapi gerakannya terhenti saat untuk pisau di genggam seseorang membuatnya menengok ke sampingnya di mana Verrel berdiri dengan mata merah penuh emosi dan tangisannya. Caren melepaskan pegangan pisaunya dan berjalan mundur menjauhi Verrel yang berjalan mendekatinya dengan membuang pisaunya begitu saja. Dengan tangannya yang berdarah, Verrel mencekik leher Caren membuat Caren meringis. "Verrel,"
"APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN PADANYA??" suara Verrel menggelegar disana membuat Caren bergidik ketakutan. Ini pertama kalinya ia melihat orang sesabar dan sebaik Verrel marah. Selama ini Verrel tak pernah seemosi ini padanya.
"Aku akan membunuhmu, Sialan!" pekik Verrel menyentakkan punggung Caren ke dinding dan mencekiknya hingga Caren berjinjit dan hampir tak menyentuh lantai lagi.
"Bang hentikan, loe gak boleh membunuhnya." Datan menahan lengan Verrel tetapi Verrel tetap tak bergeming. Ia tetap menatap tajam Caren tanpa melepaskan cekikannya. Wajah Caren sudah membiru karena sesak nafas. Hingga Jack datang dengan beberapa kepolisian, Jack menarik Verrel untuk menjauh membuat tubuh Caren terkulai ke lantai dengan terbatuk-batuk.
"Lebih baik kamu bawa Leonna ke rumah sakit," ucap Jack.
Para polis siap membekuk Caren, tetapi Caren melawan dan meloncat menabrak jendela hingga jatuh ke bawah, semuanya menatap ke arah jendela. Tubuh Caren tergeletak di bawah sana, matanya melotot, darah keluar dari kepalanya dan juga kakinya dalam keadaan melipat. Caren terjatuh dari ketinggian 15 meter, karena ini merupakan lantai 5 fakultas kedokteran. Beberapa siswa di bawah sana menjerit ketakutan.
Semua keluarga menunggu di luar ruangan, Leonna tengah di tangani Chacha, Dhika dan Thalita di dalam sana. Verrel terduduk di lantai dekat pintu dengan kemeja putihnya yang penuh dengan darah Leonna, bahkan kedua tangannya juga. Ia terlihat sangat kalut dan sangat terpukul. Dia menangis dalam diam. Jack, Angga dan Daniel pergi mengurusi jenazah Caren.
Ia mengingat kejadian tadi pagi, pantas saja dia begitu tak ingin melepaskan Leonna dan berjauhan dengannya. Ia menyesal tak mengikuti Leonna ke dalam kampus. Dia tak menyangka kalau Caren akan nekat mengikuti Leonna hingga ke kampus. Ia tak habis pikir bagaimana bisa di kampus elit seperti itu keamanannya tak ketat.
Verrel terus menangis dalam diam mengingat darah mengalir dan menggenang dimana-mana. Ia dapat membayangkan bagaimana tersiksanya Leonna di dalam ruangan itu. Sekarang hanya keajaiban tuhan yang bisa menolong istri dan calon bayinya yang baru masuk bulan ke 4.
Verrel kembali melirik ke arah pintu ruang Emergency. Ini bahkan sudah 4 jam berlalu, para dokter masih belum juga keluar. "Tenanglah," Verrel menengadahkan kepalanya saat merasakan sentuhan hangat di pundaknya. Sang bunda tengah tersenyum di sampingnya.
"Aku belum pernah setakut ini Bun, aku sangat takut." Verrel menjatuhkan kepalanya ke dada Serli yang masih mengusap lembut lengan putranya.
Leonna di tempatkan di ruang ICU, keadaannya masih sangat kritis. Verrel duduk di sisi brangkar dan menggenggam tangan Leonna yang terasa dingin. Ia mengecupinya berkali-kali dengan air matanya yang kembali luruh. Kabar yang dia dapat dari Chacha dan Dhika sangat menyakiti hatinya. Tetapi Verrel masih bersyukur karena Leonna masih dalam keadaan baik-baik saja. Walau kondisinya masih kritis.
"Hai," sapa Verrel berusaha menampilkan senyumannya walau air matanya terus luruh membasahi pipi. Ia tidak sanggup lagi membuka suaranya. Ini bukanlah Delianya, ini bukanlah princes yang biasanya aktif dan tidak pernah bisa terdiam kaku. "Hikzzz," Verrel menangis terisak seraya menciumi tangan Leonna.
Beberapa hari yang lalu mereka melakukan hal konyol untuk memenuhi ngidam Leonna, Ngidam terakhir yang bisa Verrel lakukan untuk istri dan calon anaknya.
Kakak.....
Kakak,, aku mencintai kakak sangat mencintai kakak....
Kakak Jelek, gak mau nurutin kemauan istri dan anak...
Cinta kakak hanya manis di bibir tapi pahit di dalam...
Verrel semakin menangis terisak mengingat ucapan Leonna yang begitu menggemaskan dan membuat Verrel tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Leonna yang bahkan tak bisa diam walau hanya sedetik saja. Apapun yang dia lakukan, entah hanya berguling guling di atas ranjang sambil memainkan handphonenya. Tetapi melihatnya seperti ini malah membuat Verrel kehilangan dan sangat terpukul. Pandangannya selalu terhibur dengan melihat tingkah laku Leonna. Tetapi sekarang matanya terasa memanas dan berkabut melihat Leonna terkujur kaku di atas brangkar. Tak bergerak sama sekali, bahkan untuk sekedar mengedipkan matanya. Kebiasaan Leonna yang selalu dia tunjukkan untuk menggoda Verrel, yaitu mengedipkan kedua kelopak matanya. Dan itu membuat Verrel sangat gemas padanya. Tetapi sekarang ia tidak mampu melihat semua itu,
"Hikzz... aku mohon bangunlah." ucap Verrel terdengar sangat lirih dan menyesakkan, ia benar-benar tak sanggup melihat Leonna yang seperti ini. Ia merasa separuh dirinya hilang. Dan hanya kehampaan yang ia rasakan. "Aku punya cerita lucu untukmu, De. Apa kamu mau dengar seperti biasanya?" gumam Verrel menatap wajah Leonna yang tak merespon apapun. "Ada seorang Bu Guru minta para muridnya membuat sebuah karangan pendek. Dengan Judul: 'Sesudah dewasa nanti aku akan bekerja apa dan menjadi apa?' Sebut saja Ateng menulis 'Aku sesudah dewasa akan menjadi seorang polisi, membantu warga menangkap orang jahat.' Lalu Bu Guru itu menilai 'Angan-anganmu ini sangat baik, namun kamu besok harus lebih memperhatikan Gareng, teman sebangkumu, ia mengatakan sesudah dewasa ia akan merampok bank." Ucap Verrel terkekeh kecil. "Apa masih kurang lucu?"
"Aku memang tak berbakat menceritakan kisah yang lucu, berbeda denganmu yang selalu saja menceritakan kisah lucu padaku." Verrel kembali terdiam menatap Leonna yang tak merespon apapun. Ia kembali menangis terisak dengan menundukkan kepalanya. Ia sungguh merindukan Delianya, istrinya yang selalu aktif.
"Baru beberapa menit melihatmu hanya diam kaku, aku benar-benar merindukan kamu yang aktif seperti Marsya, aku sangat merindukanmu. Sangat Delia, bangunlah aku mohon." Verrel semakin menangis menggenggam tangan Leonna.
"Kalau aku bisa memberikan jantung ini dan nafas ini untukmu bisa kembali sadar maka akan aku lakukan. Aku ingin melihatmu kembali menjadi sosok Princes Leonna yang selalu aktif dan banyak tingkah." Gumam Verrel. "Bukalah matamu, Delia sayang. Aku mohon," bisiknya membelai pipi Leonna.