webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · 若者
レビュー数が足りません
155 Chs

Meminta Maaf 2

Setelah mandi sore dan berpakaian santai, satu-satunya laki-laki di rumah itu langsung menuruni tangga menuju meja makan, di mana mamanya sudah menunggu untuk makan sore bersamanya.

"Kak Aurel di mana, Ma?" tanya Ricky sambil mengambil nasi. "Dari aku pulang tadi, dia gak ada."

"Dia lagi sibuk sama butiknya," jawab Lily singkat.

"Dari tadi? Kapan pulang? Bukannya dia sudah ada karyawan, ya?" Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar begitu saja dengan tangan sibuk mencari bagian ayam goreng yang ia suka.

Ketidakhadiran Aurel membuat suasana makan itu menjadi sedikit berbeda. Selain berkurangnya satu orang, kehebohan yang dibuat Aurel selama makan nanti sepertinya akan hilang. Wanita berdarah Jepang itu mengangkat kepalanya dari layar ponsel dan memandang Ricky penuh tanya. "Tumben nanyain. Bukannya kamu bisa makan dengan tenang kalau gak ada Aurel?"

"Ya, aku cuman nanyain. Memang kenapa?" balas Ricky.

Lily mengedikkan bahu. "Tumben aja," jawabnya sambil mengambil nasi, lauk dan sayur yang tersedia secara berurut.

Sepi dan tenang, namun terasa canggung. Itulah yang dirasakan laki-laki dalam masa pubertasnya itu. Sudah 6 hari lebih, ia makan bersama mama dan kakaknya. Ia memang senang, walau agak sedikit terganggu dengan kehebohan Aurel yang bersemangat menceritakan hal-hal menarik yang terjadi padanya. Namun dengan begitu, ia tidak makan sendirian lagi selain hari Sabtu dan Minggu. Ada Bi Suli, tapi ia datang ke rumah itu untuk bekerja dan pulang lagi ke rumahnya untuk mengurus cucu-cucunya.

"Mama di rumah aja, kan?" Ricky mencoba membuat topik. Mengingat mamanya tidak bisa mengendarai mobil, ia penasaran apa yang dilakukannya selama di rumah.

"Iya," jawabnya singkat.

"Ngepain aja?"

"Banyak hal."

"Hmm..."

Lalu terdiam kembali. Tidak ada percakapan lagi sampai mereka selesai menyantap makanan. Ini pertama kalinya Ricky makan berdua bersama Lily setelah sekian lama. Ia tidak menyangka akan mendapat suasana secanggung itu dengan Mama kandungnya sendiri. Apa karena sifat Lily yang memang pendiam—tidak seperti Leo yang suka banyak bicara selama makan, atau Lily perlu waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan anak bungsunya yang sudah lama ditinggalnya itu? Ricky lebih memilih pernyataan pertama kalau harus memilih kemungkinan-kemungkinan itu.

Ya, mamanya itu memang cukup pendiam seperti dirinya. Tidak seperti Leo dan Aurel yang bisa mengguncangkan satu rumah kalau mereka saling dipertemukan dengan topik yang mereka sukai.

"KYAA!!"

Mendengar Lily berteriak histeris, cepat-cepat Ricky keluar dari dapur setelah menaruh piring kotornya, menuju ruang keluarga. Takut-takut ada hal buruk terjadi pada mamanya itu.

"Kenapa, Ma?" tanya Ricky. Ia tidak melihat hal yang membahayakan di sekitarnya. Semua tampak normal.

"Adek! Lihat dek! Lee Min Ho kissing!!" Lily berteriak histeris sambil menunjuk-nunjuk layar LCD TV yang menampilkan adegan ciuman itu.

Panggilan itu sudah lama tidak didengarnya. Hanya Lily yang memanggilnya dengan sebutan Adek.

"Kirain apa," kata Ricky sambil membuang napas cepat. Ia terheran-heran kenapa adegan kissing itu tidak disensor sama sekali, sampai ia melihat lebih teliti lagi kalau ternyata drama yang sedang ditonton Lily itu berasal dari disc yang diputar dalam DVD. "Aku ke kamar dulu ya, Ma."

"Di sini aja, dek. Temenin mama nonton." Lily menepuk-nepuk sofa di sebelahnya dengan mata masih terfokus pada Drama Korea itu.

Itu ciumannya lama banget, batin Ricky saat merasa adegan ciuman yang masih ditampilkan itu sudah lebih dari 10 menit. "Mama serius mau ajak aku nonton itu?"

"Iya. Kenapa—ohh iya. Astaghfirullah. Kamu kan masih kecil ya," ucap Lily sambil menepuk kening.

"Nah, tuh tahu. Kalau sampai Papa lihat aku nonton begituan, bisa habis Mama."

"Ya sudah, pergi sana!" usir Lily. Ekspresinya berubah ketus saat mendengar sindiran itu. "Jangan bilang Papa loh," tambahnya.

"Iya, iya." Ricky pun segera menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya yang penuh dengan poster berbagai macam animasi berasal dari Jepang itu. "Orang tuanya aja lahir di Jepang tapi malah suka Drama Korea," gerutu Ricky sambil mengambil sebuah manga untuk dibaca. Ini salah satu cara untuk menghilangkan adegan ciuman yang cukup membuatnya mual itu.

***

Setelah menghabiskan tiga seri manga bergenre action itu, Ricky segera menyiapkan beberapa perlengkapan yang dibawa untuk hari pertamanya belajar besok. Mulai dari pakaian, buku, tas, dan peralatan tulis. Semua sudah beres saat waktu di jam dindingnya menunjukkan pukul 9 malam, dan sampai saat itu juga, Aurel masih belum pulang. Walau agak cemas, ia tetap berpikir positif jika Aurel mungkin akan pulang bersama papanya.

Ricky baru sadar kalau ada sebuah jam beker di atas nakasnya. Juga ada sebuah kertas kecil yang dilipat dua di bawah benda itu. Ricky pun mengambilnya untuk dibaca.

Dear Kiki,

Apa kamu suka jam beker yang baru aku beli itu? Kamu suka kartun ninja Naruto itu, kan? Beruntung sekali aku bisa menemukan jam beker gambar Naruto di sebuah toko di mal. Oh ya, karena ini jam beker yang ke-100, kamu berhasil mendapat piring cantik. Yeay!!

Kalau jam beker ini rusak juga karena kamu lempar, aku cium kamu. Serius, gak bohong.

From your lovely sister, Aurel.

Ricky sedikit bergidik ngeri saat membaca dua kalimat terakhir itu.

"Di mana piring cantiknya?" bingung Ricky sambil melihat permukaan atas nakas itu. Ia pun membuka laci nakasnya. Dan benar saja, ada sebuah piring kaca berwarna putih dengan motif-motif bunga di sekitarnya. "Memang cantik," komentarnya sambil melihat piring berbentuk persegi itu."Tapi kan ini lebih cocok buat perempuan. Ya sudah lah." Ricky mengedikkan bahu sambil meletakkan piring itu kembali ke dalam laci.

Sebuah jam beker digital pertamanya berbentuk kubus dengan gambar Naruto dkk di tiga sisinya. Ia bisa merasakan ada sebuah tombol tepat di atasnya. Ia berpikir mungkin tombol itu berguna untuk menghentikan suara kegaduhan alarm nanti. Setidaknya lebih mudah mematikannya daripada jam beker yang biasa ia lempar.

Ricky mengambil napas dalam dan dihembuskan perlahan. Sudah banyak sekali kebaikan yang Aurel berikan padanya. Begitu juga perhatian dan kasih sayangnya seperti seorang ibu—meski berlebihan dan memalukan. Namun, kenapa Ricky malah kesal padanya tadi siang? Padahal Aurel tidak salah apapun dan ia sudah tahu apa yang harus diceritakan dan apa yang tidak tentang Ricky.

Ayolah, Ricky! Dia sudah dewasa. Kenapa lu masih nganggep kakak lu itu masih sama kayak yang dulu! batinnya berteriak sambil mengacak rambutnya gusar. Ia menghempaskan diri ke tempat tidurnya.

Ia ingin minta maaf. Hanya saja, ada sebuah perasaan yang menghalanginya.

Gengsi.