Setelah Liemey merawat lukanya, Elena pun langsung masuk ke kamarnya.
"Tidak pergi kuliah, El?" tanya Liemey.
"Aku malas, Mami. Dan, tolong jangan tanya kenapa. Tolong juga beritahu Daddy, aku tidak mau tinggal di rumah ini lagi."
"El, kau tega meninggalkan Mami?" tanya Liemey dengan kedua netra yang berkaca-kaca.
Elena menatap wanita yang sudah merawatnya selama 10 tahun ini tanpa kedip. Tuhan, kenapa harus aku yang melihat semua ini? Batin Elena terasa begitu perih. Ia tidak tega melihat Liemey meneteskan air mata. Ia tidak bisa bersikap egois, selama ini jika Liemey mau bersikap egois, sudah lama ia meninggalkan Damian. Tapi, Liemey masih memikirkannya dan Dominic.
"Mami..."
"Tapi, Mami tidak memaksa El. Jika itu bisa membuatmu bahagia, Mami ikhlas. Tinggallah bersama Mami Zalina," kata Liemey dengan suara bergetar. Argh, sungguh Elena merasa serba salah, ia memejamkan matanya sesaat. Kemudian ia kembali melangkah dan memeluk Liemey.
"Aku akan tetap di sini menemani Mami."
"Terima kasih, Nak. Mami janji kita akan saling menjaga, ya."
"Ya, Mami."
**
Setelah menjemput Krisna dan Arlina pulang sekolah, Zalina langsung menuju ke rumah Damian. Untung saja hari ini Laela kebetulan tidak kuliah sehingga Arlina mau ditinggal sebentar.
"Lin, masuklah," sambut Liemey. Mata Liemey yang sembab sudah cukup untuk membuat Zalina sadar bahwa dia habis menangis.
"Cik, mana Elena? Dia tidak apa-apa, kan?" tanya Zalina.
Liemey menghela napas panjang.
"Aku ayok, saat tadi pagi Mas Damian tiba-tiba memecahkan piring dan menghamburkan semua yang ada di atas meja makan. Dia tidak bicara apapun dan langsung pergi begitu saja. Ketika pulang dia sudah menyeret Elena pulang. Sebenarnya, apa yang sudah terjadi, Lin? Aku benar-benar tidak mengerti dengan Elena dan Mas Damian sekarang."
"Semalam, Elena aku yang menjemput dari kantor polisi, Cik..."
Zalina pun menceritakan kronologi cerita yang terjadi semalam kepada Liemey. Juga tentang perlakuan Damian pagi tadi pada Elena.
"Damian perlu seorang psikiater, Cik. Dia tidak bisa seperti ini terus, dia sedang hidup dalam bayangan yang tidak ada. Mau sampai kapan dia begini? Dia sedang pll l orang-orang yang mencintainya. Kau, Elena, Dominic dan Calista."
"Dia tidak akan pernah mau mengakui bahwa dirinya sakit, Lin. Aruga sendiri pernah bercerita kepadaku. Bahkan, di kantor terkadang dia tidak fokus. Beruntung selama ini ada Aruga yang membantu. Tanpa Aruga, sudah lama perusahaan itu kolaps. Bahkan Riris saja sudah tidak mau memperpanjang kerjasama. Hal itu juga karena Damian yang bersikap keterlaluan pada Riris. Riris marah dan, ya sudah kontrak kerjasama yang tadinya akan diperpanjang batal."
Zalina mengembuskan napasnya. Ia tau cerita ini dari Riris. Tentu saja, Riris marah karena Damian memeluknya di depan sang suami sambil menyebut nama Arista. Damian terobsesi, karena perasaan bersalah yang tidak kunjung hilang. Sejak Deswita meninggallah ia seperti menggila.
"Dendam sudah merusak segalanya, Cik. Dampaknya benar-benar panjang. Aku sendiri tidak menyangka akan seperti ini jadinya."
"Aku terkadang ingin meninggalkannya, Lin. Tapi, aku ingat saat dia merawatku pasca operasi. Dia memohon untuk tetap bersamanya. Ya, semua sedikit membaik, tapi saat Ibu Deswita meninggal semua bahkan jauh lebih buruk. Aku kasian melihat anak-anak, harusnya waktu itu mereka ikut denganmu saja. Tapi, Damian waktu itu benar-benar membujuk anak-anaknya. Hanya Calista yang dengan keras menolak. Hal itu juga yang mungkin melukai perasaannya."
"Ada banyak hal yang membuat ia terluka dan kecewa. Tapi, tidak seperti ini caranya untuk meluapkan kesedihan itu. Aku bisa mengerti bagaimana rasanya jika dikhianati. Mengetahui bahwa Ibunya sendiri yang menjebaknya untuk tidur dengan wanita lain, Ibunya yang juga sudah membunuh ayah kandung dan istrinya. Itu adalah pukulan- pukulan terberat dalam hidupnya. Penyesalan dan rasa bersalahnya pada almarhum Mbak Arista membuatnya seperti ini. Aku kasihan melihatnya, tapi sekaligus juga geram melihat cara Damian memperlakukan Elena pagi tadi."
Hening sejenak, Zalina menepuk punggung tangan Liemey.
"Cik, apa kau akan bertahan?" tanyanya.
"Aku mencintai Mas Damian setulus hatiku, Lin. Sejak pertama aku merawatnya di rumah sakit, aku ingin selalu menjaganya. Aku ingin menemaninya melewati hari-hari yang terberat dalam hidupnya. Aku akui, aku memang sempat meminta perpisahan. Bahkan, aku sudah mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Tapi, aku melakukan itu sejujurnya hanya untuk mencari perhatiannya. Aku ingin ia menganggapku ada, bahwa aku adalah Liemey, bukan Arista. Aku tidak melarangnya untuk terus mencintai Arista. Aku tau bahwa Arista tidak akan tergantikan. Tapi, aku ingin dia terbangun dari khayalan dan obsesinya. Apakah itu salah, Lin?" tanya Liemey. Zalina menggelengkan kepalanya.
"Nggak ada yang salah, Cik. Itu adalah keinginan yang wajar dari seorang istri. Cicik berhak untuk memiliki keinginan seperti itu."
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun Liemey akhirnya bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada seseorang.
"Damian harus berkonsultasi dengan psikiater, Cik. Jika dia begini terus,dia bisa masuk rumah sakit jiwa seperti almarhum ibunya. Dan, kita tidak mau semua itu terjadi, bukan?"
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Aku akan mencari cara, Cik. Kita ini bukan orang asing, hubungan kita sudah seperti saudara meski tidak sedarah. Jadi, disaat seperti ini, kita harus saling mendukung dan saling membantu."
"Terima kasih, Lin. Sejak dulu kau sudah banyak sekali membantuku."
"Di mana Elena, cik? Bisa aku bertemu dengannya? Dia tidak di kurung kan?"
"Aku panggilkan, ya."
Elena yang sebenarnya sejak tadi menguping buru-buru masuk ke kamarnya. Dia tidak ingin Liemey memergokinya menguping sambil menangis.
"El, ada Mami Zalina. Ayo, temui dulu, kasian Mamimu itu khawatir padamu," kata Liemey saat memasuki kamar Elena. Elena mengangguk dan segera beranjak keluar. Ia merasa berat sekali bertemu dengan Zalina. Tapi, ia harus tegar. Di hampirinya Zalina yang duduk di sofa dengan perasaan luar biasa hancur.
"Mami," sapanya dengan suara bergetar. Zalina langsung bangkit dan memeluk Elena penuh kasih sayang.
"Kakak nggak apa-apa. Ya ampun, Daddy mu benar-benar keterlaluan," katanya sambil melihat pergelangan tangan Elena yang masih memerah. Air matanya menetes seketika.
"Maafkan Mami yang tidak bisa mencegah Daddy-mu. Tapi, ayo kak, kalau kakak mau bereskan baju-baju kakak dan tinggal bersama Mami," kata Zalina. Ia pun beralih menatap Liemey.
"Boleh kan , Mey? Biar aku yang datang pada Damian dan mengatakan bahwa Elena akan tinggal bersamaku," kata Zalina. Liemey menghela napas panjang, ia pasrah jika Elena kini berubah pikiran.
Namun...
"Mami, maafkan aku. Aku ingin sekali tinggal bersama Mami dan Papi juga kembali bersama Calista. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan Mami Mey begitu saja. Mami Mey juga sudah merawat dan menjagaku selama sepuluh tahun ini. Dan, aku juga harus menerima segala resiko dari pilihanku. Dulu aku sudah memilih Daddy, jadi kali ini pun aku memilih untuk tetap di sini, Mami. Maafkan aku..."
Elena pun langsung berlari ke kamarnya. Ia tidak kuat melihat air mata Zalina, ia tidak bisa melihat wanita yang sangat ia cintai itu terluka. 'Maafkan aku, Mami. Maafkan anakmu ini. Untuk kedua kalinya aku melukai hati Mami dengan pilihanku,' bisik Elena dalam hati.
**