webnovel

TIDAK ADA BEKAS KELUARGA

Hardiyata dan Herawati menatap cucu mereka dengan tatapan penuh rasa haru. Melihat Dominic yang saat ini tumbuh dewasa menjadi pemuda tampan dan gagah serta mapan membuat mereka merasa bangga. Usia mereka kini sudah tidak lagi muda. Mayang dan Marisa cucu mereka sudah menikah dan tinggal di luar kota. Di rumah ini hanya tinggal mereka bersama Denny dan Dyah.

Dan, mendengar berita dari Dominic tentang Elena hari ini membuat Hardiyata merasa emosi. Jika saja ia masih muda dan kuat ingin rasanya ia menghajar Damian.

"Kenapa kau tidak ceritakan sejak awal? Kebiasaan kau ini, Dom. Memangnya Oma dan Opa tidak berhak tau tentang cucu-cucu kami lagi?" kata Herawati.

"Kami hanya tidak mau Opa dan Oma panik lalu emosi yang terlalu berlebihan. Sementara, kalau Oma dan Opa tau sekarang kan masalahnya juga sudah dapat diatasi. Bahkan pelakunya pun menjalani hukuman di penjara."

"Bagaimana dengan Elena, Dom? Kondisi psikisnya? Oma kaget sekali saat Mami kalian mengatakan akan membawa Elena ke Singapura."

"Mami bilang Elena masih selalu mengurung diri, dua minggu sekali Mami membawanya ke seorangpun psikiater di sana. Mami juga tidak mengizinkan Elena memegang ponsel karena terakhir Mami melihat beberapa orang kawan Elena di kampus membicarakan hal yang buruk tentang Elena."

Herawati menghela napas panjang.

"Seharusnya dulu kalian tidak tinggal bersama Daddy kalian yang sakit jiwa itu. Dia dan almarhum ibunya sama saja," kata Herawati gusar.

"Tadinya aku pikir Daddy bisa berubah, Oma. Dan, waktu itu kan Mami Zalina juga baru saja menikah. Aku tidak mau menjadi beban untuknya. Mana kami tau bahwa Papi Arjuna dan keluarganya setulus itu. Bahkan Calista bercerita bahwa ia seperti tinggal bersama orangtua kandung. Kasih sayang Mami Zalina dan Papi Arjuna tidak pernah berkurang sedikitpun untuk kami. Bahkan, aku bisa bicara dan bertukar pikiran dengannya. Dia seorang ayah yang baik," kata Dominic.

"Zalina tidak salah memilih suami. Coba saja jika dulu ia memilih dokter Ardy seperti maumu, Mi. Pasti tidak akan seperti sekarang. Papi bangga padanya," ujar Hardiyata.

"Papi ini masih saja ingat hal itu," ujar Herawati sedikit merajuk.

"Ya jelas saja ingat Mami. Kita hampir saja memaksa Zalina waktu itu kan untuk menerima dokter Ardy. Untung saja Zalina itu anak yang teguh pada pendiriannya."

Dominic hanya tertawa kecil mendengar perdebatan kecil kakek dan neneknya itu.

"Lusa Tante Arasy dan juga Om Aruga akan berangkat ke sana, Oma. Oma Khanza juga ikut," kata Dominic.

"Kau tidak ikut?"

"Jatah cuti tahunanku habis Oma, gara-gara aku kecelakaan tempo hari."

"Kau bawa beberapa barang dari Oma ya, biar Calista bisa memberikan pada Elena," kata Herawati.

"Iya, Oma."

"Jaga Calista dengan baik, Dom. Jangan sampai apa yang terjadi pada Elena menimpanya."

Dominic terkekeh sambil memutar bola matanya.

"Calista itu seperti banteng betina, Oma. Siapa yang berani mengganggu guru taekwondo dengan sabuk hitam seperti dia. Ditambah sifat angkuh dan arogannya itu. Juga matanya yang sering mendelik, lelaki mana yang mau dan berani mengganggu Calista?"

"Zalina ketika masih seumur Calista seperti itu juga, tidak jauh beda."

"Serius, Oma?"

"Dulu, almarhum Mommy mu ada yang mengganggu, tiga orang pemuda,awalnya Mami kalian diam, setelah pemuda itu berani mencolek Mommy kalian, ketiganya habis dihajar oleh Mami kalian. Oma sampai kaget waktu itu," kata Herawati sedikit mengenang masa lalu.

"Ya, sekarang cucu Oma tersayang seperti itu tingkahnya. Di kampusnya ia dikenal sebagai gunung es."

"Tapi, dia pintar kan Dom?"

"Kalau itu jangan tanya, Oma. Hanya Mami yang bisa menang jika berdebat dengannya. Kalau aku yang di suruh berdebat dengannya, aku lebih baik mundur teratur. Dia terlalu tangguh untuk dilawan."

Hardiyata dan Herawati tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Dominic.

"Calista itu memang putrinya Zalina, bukan putri Arista," kata Hardiyata.

"Arista hanya mengandung dan melahirkan saja. Tapi, sifatnya persis seperti Zalina," kata Herawati.

"Jangan temui Daddy kalian lagi, jika dia masih seperti itu. Memang tidak ada yang namanya bekas anak atau bekas orangtua. Tapi, sepertinya Damian memang tipe orangtua yang bisa membuang anaknya, jadi biarkan saja."

"Iya Oma."

"Kelak, Damian akan menyesali apa yang sudah ia perbuat."

**

Sementara itu, Zalina sedang mondar mandir di kamarnya membuat Arjuna yang sedang bekerja mengerutkan dahi.

"Sayang,anak-anak sudah tidur?"tanya Arjuna.

"Sudah, Miss Jane sudah menemani mereka tidur," jawab Zalina. Jane adalah baby sitter yang menemani kedua anak mereka Krisna dan Arlina.

"Lalu, kenapa kau mondar mandir seperti itu?" tanya Arjuna.

"Aku sedang memikirkan Elena. Ini sudah bulan keempat, Mas. Dan kondisi psikisnya belum juga membaik. Kau lihat matanya itu, selalu sembab. Setiap hari wajahnya itu selalu basah oleh air mata. Aku tidak bisa tinggal diam melihatnya seperti ini, Mas."

Arjuna menutup laptopnya kemudian menghampiri istrinya dan perlahan membimbing Zalina untuk duduk di sampingnya.

"Kapan mereka akan datang?" tanya Arjuna.

"Dua hari lagi, Mas. Aku ingin mempertemukan Elena dengan Dody, sepertinya saat ini hanya Dody yang bisa mengembalikan kepercayaan diri Elena. Elena hanya tenang saat ia bertemu dengan psikiaternya. Saat ia kembali di rumah ia kembali menangis. Padahal kita sudah mengikuti apa yang psikiaternya sarankan. Aku mulai was-was, Mas. Aku takut anak itu nekad dan melakukan hal-hal yang membahayakan bagi dirinya sendiri.

"Elena gadis yang cerdas, sayang."

"Iya, cerdas Mas. Tapi, dia bukan Calista. Calista akan menghadapi masalah dengan logikanya terlebih dahulu, baru emosi dan perasaan. Tapi, kita bicara tentang Elena. Dia gadis pintar, tapi kita tau emosi dan perasaannya lebih dominan dalam menghadapi masalah."

"Kuncinya ada pada dirinya sendiri sebenarnya, Lin. Dia yang harus mau bangkit dan berani."

"Masalahnya keberaniannya itu menguap entah kemana."

"Kedatangan Dody akan membantu, percayalah kepadaku."

"Kau punya rencana, Mas?"

"Tentu saja. Jangan panggil namaku Arjuna jika aku tidak bisa membuat semua ini beres."

"Kau yakin?"

"Gunung es seperti dirimu saja bisa meleleh dengan pesonaku, aku pasti bisa membuat Elena meleleh dengan apa yang Dody lakukan atas saran dan rencanaku."

Zalina menatap Arjuna dengan tatapan penuh ungkapan terima kasih.

"Aku mungkin akan memberikan saran yang sedikit ekstrim pada Dody. Tapi, aku percaya dia bisa mengontrol dirinya sendiri."

"Memang apa yang kau rencanakan?"

"Menghilangkan sedikit trauma Elena. Kau tenang saja, aku sudah bicara juga dengan Dody lewat telepon kemarin."

"Kau ini selalu bisa selangkah di depanku."

"Tentu saja, karena aku ini suamimu."

"Ah, jadi mentang-mentang suami kau tidak mau kalah dariku?"

"Siapa yang bilang? Kau lupa kau pernah menang satu kali dariku?"

"Kapan?"

"Saat kau menahan peluru untukku dengan tubuhmu, bahkan saat kau sedang mengandung Krisna. Apa kau tau saat itu bagaimana perasaanku?"

"Bagaimana?"

"Cemas, panik dan takut. Aku takut kehilangan dirimu dan anak kita. Aku terlalu mencintaimu, Zalina sayang."

Baru saja Zalina ingin bermanja pada Arjuna, tiba-tiba terdengar suara teriakan.

"Pak Arjuna...Ibu Zalina, tolong!!"

**