Dody memeluk Elena dan mengusap punggung gadis itu dengan lembut.
"Kau harus mencintai anak kita ini, Elena."
"Kita?" Elena melepaskan pelukan Dody dan menatapnya.
"Iya, anak kita. Aku akan menganggap anak ini anakku sendiri, sayang. Aku sudah bicara dengan Om Arjuna. Aku akan bekerja di perusahaan cabang milik Om Arjuna yang ada di Singapura. Dan aku akan tinggal di sini. Meskipun tidak satu kamar denganmu. Tapi, aku akan ada untukmu mendampingimu sebagai calon suamimu. Saat kau melahirkan nanti, aku akan menemani dan memberimu dukungan. Dan, setelah itu saat sudah melewati masanya aku akan menikahimu dengan resmi. Kita akan mengadakan resepsi di Indonesia nanti. Supaya tidak ada yang tau kalau anak ini bukan anakku. Mereka hanya tau kita menikah di luar negeri."
Tangis Elena benar-benar pecah. Calista yang sedari tadi dengan penasaran mengintip ikut meneteskan air mata. Ia merasa bahagia melihat Elena kembali mendapatkan kebahagiaannya kembali.
Tiba- tiba saja saat ia berbalik...
"Aduuuh!"
Elena dan Dody yang sedang menikmati kebersamaan mereka sontak terkejut dan langsung menghampiri sumber kegaduhan suara. Dan, Elena tak kuasa menahan tawa saat melihat Calista, Ratu, Zalina dan Arasy jatuh saling tumpang tindih. Rupanya saat Calista mengintip, Ratu, Arasy dan Zalina juga ikut menguping dan mengintip.
"Mami, apaan sih? Kenapa pada ikutan ngintip begini sih? Ketauan kan, kalau kita kepo!" gerutu Calista sambil mengerucutkan bibirnya dan bangkit berdiri.
"Ya kamu juga ngapain pake acara ngintip?" jawab Zalina sambil bangkit dan memegang pinggangnya.
"Aku kan mau tau apa gadis keras kepala yang satu itu sudah luluh apa belum. Mami sih, pake acara ikutan segala. Tante sama Ratu juga nih, ih gagal kan aku mau ganggu mereka," kata Calista lagi.
"Niatnya udah jelek sih," sahut Ratu.
"Ya sama aja, kau juga kan ikut-ikutan kepo."
"Yang mulai siapa?"
"Haiis, sudah! Ini kenapa jadinya ribut begini?" Khanza tergopoh-gopoh menghampiri sambil memggelengkan kepalanya.
"Ini, Oma, pada ngintip sih jadinya malah jatuh begini," kekeh Elena geli.Melihat Elena yang tertawa geli dan binar bahagia di matanya, Khanza langsung menghampiri Elena dan memeluknya.
"Alhamdulillah, Nak. Akhirnya kau bisa tersenyum seperti ini, Oma senang melihatnya."
"Terima kasih, Oma. Ini semua berkat Mas Dody."
Khanza tersenyum dan menghapus air mata haru yang menetes di pipinya. "Nak Dody, Oma titip Elena ya. Jika kalian nanti menikah tolong jaga cucu Oma ini."
"Iya, Oma saya akan selalu menjaga Elena dengan sepenuh hati."
"Jadi, kalian sudah puas mengintip?" tanya Calista sambil melenggang dan kembali ke ruang makan tanpa merasa bersalah sama sekali membuat yang lain hanya melongo sambil menggelengkan kepalanya.
**
Tak terasa hampir sepuluh hari Aruga dan keluarganya berada di Singapura. Hari ini mereka akan kembali ke Indonesia. Hanya Dody yang tinggal, karena seperti janjinya ia akan tinggal di Singapura menemani Elena dan bekerja di perusahaan Arjuna.
"Hati-hati jaga saudara kembarku dengan baik, Mas," kata Calista.
"Akan kujaga sebaik-baiknya."
"Kami pulang dulu, Jun. Kalau ada apa-apa kabari," kata Arasy.
"Iya, Mbak. Aku titip rumah dan Calista ya Mbak," jawab Arjuna.
"Ibu kan tinggal di rumah kalian," sahut Khanza.
"Maaf, jadi merepotkan Ibu."
"Tidak masalah, kasian juga Calista."
Setelah keluarga istrinya masuk ke dalam bandara, Arjuna dan Dody pun kembali.
"Om harap kau bisa bekerja dengan baik di perusahaan Om ini, nak Dody. Memang hanya cabang dari perusahaan milik Syailendra Corporation di Indonesia. Tapi, posisi yang kau pegang sekarang bukan posisi yang bisa dianggap enteng."
"Terima kasih atas kepercayaan Om pada saya."
"Om yang harusnya berterima kasih padamu karena sudah dengan begitu tulus mencintai dan menyayangi Elena."
"Tidak masalah Om. Saya memang sudah sejak lama mencintai Elena."
Sementara itu di ruang tunggu, Aruga terpaksa harus kembali meradang saat mengetahui bahwa ia dan Damian ternyata berada dalam ruang tunggu yang sama.
"Ah, mantan istrimu, Mas," bisik Arasy menggoda saat melihat Miranda dan Damian dari kejauhan.
"Kenapa juga kita harus satu penerbangan dengan mereka," gerutu Aruga.
"Kau yang membeli tiket pesawat kemarin, Mas," ujar Arasy.
"Tidak mungkin kan kalau aku bertanya dulu kepadanya jam berapa dan hari apa dia pulang."
Miranda yang melihat kehadiran Arasy dan Aruga dengan sengaja memeluk Damian mesra sambil membelai-belai rambut Damian. Gaya dan kelakuan mereka benar-benar seperti anak kemarin sore yang baru di mabuk cinta.
"Kampungan!" gerutu Calista. Ia merasa Damian benar-benar kehilangan harga diri di matanya. Arasy yang mendengar ucapan Calista hanya menepuk bahu keponakannya itu dengan lembut.
"Biarkan saja, Cal. Kau maklumi saja, mereka pengantin baru."
"Mereka sudah tua, Tante. Bukan anak muda yang tidak punya etika dan sopan santun. Kadang yang masih muda saja masih berpikir untuk terlalu mengumbar kemesraan di depan umum. Mereka malah bertingkah seperti itu, menyebalkan sekali. Bukankah mereka bisa melakukan hal itu di hotel atau di rumah mereka nanti. Ini bandara," kata Calista dengan geram.
Secara kebetulan, Ratu ingin ke toilet. Ia pun meminta Calista untuk menemaninya. Siapa sangka, Miranda dengan sengaja menyusul kedua gadis muda itu.
"Kita bertemu lagi, nona muda," kata Miranda pada Calista.
"Mantan babu yang menjadi nyonya rupanya," jawab Calista dengan sinis sambil menatap Miranda tajam.
"Asal kau tau, aku dan Daddymu itu menikah resmi, anak baik. Jadi, aku ini adalah Mommy kalian."
"Mommy? Tidak ada yang bisa menggantikan mommy-ku. Dan, apa kau belum tau kalau suamimu itu sudah memutuskan hubungan dengan kami? Jadi, Damian itu bukan Daddy kami lagi. Yang artinya, kau bukan siapa-siapa. Jadi, tidak usah mengaku-aku mommy-ku," jawab Calista dengan santai sambil menatap bayangannya lewat cermin.
Miranda merasa geram bukan main. Ingin rasanya ia menjambak Calista. Tapi, dia ingat kalau Calista memiliki ilmu beladiri. Jika melawannya, bisa-bisa ia kembali di permalukan seperti saat di hotel.
"Tentu saja Daddy kalian itu memutuskan hubungan dengan kalian. Siapa juga yang mau memiliki anak-anakmu yang barbar seperti kalian ini?"
"Barbar mana dengan wanita penggoda perebut suami orang sepertimu?!" hardik Calista dengan suara tertahan.
"Daddymu duda, ya!"
"Jangan kau pikir aku tidak tau hubunganmu dulu dengan Om Aruga. Bahkan jauh sebelum itu kau mencoba menggoda Daddy juga kan. Aku ingat ketika aku kecil kau pernah mencubitku. Memakai baju Mommy-ku mencoba semua make up nya. Dasar pembantu nggak tau diri."
"Kau...!"
"Apa? Mau memukul?coba saja kalau kau berani, ku patahkan tanganmu di sini."
Miranda merasa gemas sendiri, ia pun bergegas pergi. Tak lama Ratu pun keluar ia menatap Calista penuh tanda tanya.
"Kau bertengkar dengan siapa?"
"Mantan babu," jawab Calista.
Mereka pun tertawa bersama. Calista dan Ratu memang kompak meski terkadang bertengkar kecil. Dulu, Calista pernah berharap Ratu dan Dominic berjodoh sehingga mereka bisa menjadi ipar. Tapi, Ratu rupanya tidak memiliki perasaan cinta pada Dominic kecuali menganggapnya kakak. Jadi, Calista pun berhenti berharap.
Saat mereka kembali tepat saat pesawat di umumkan akan segera take off, mereka pun langsung naik. Calista merasa bebannya sedikit ringan saat ia pulang. Ia tau Elena sudah membaik dan itu membuatnya bahagia.
Setelah kurang lebih dua jam berada di pesawat, mereka pun tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Supaya tidak repot, Aruga memakai jasa porter untuk menunggu dan membawa barang-barang mereka.
"Aku mau ke toilet dulu sebentar," kata Calista. Ia pun segera berlari kecil, saling terburu-buru tanpa sengaja ia menabrak seorang pemuda di depan pintu toilet. Melihat orang yang ia tabrak sampai terjatuh ia pun langsung meminta maaf.
"Maaf, aku terburu-buru," katanya. Tapi, bukannya menjawab pemuda malah menatapnya sambil tersenyum manis. Calista hanya mengejutkan dahinya dan mengendikkan bahu kemudian bergegas masuk ke toilet.
Tepat saat ia kembali, barang-barang milik mereka pun sudah diambil semua dan mereka siap untuk pulang.
"Welcome home," kata Ratu.
"Ya, dan sebentar lagi kembali ke kampus tercinta," jawab Calista geli.