webnovel

MENYERAH

Aruga mengerutkan dahinya, sudah kesekian kalinya dalam 4 bulan terakhir ini ada dana perusahaan yang terpakai, entah untuk apa. Setiap kali ia menanyakan ke bagian Accounting jawabannya selalu sama. "Nyonya yang meminta atas persetujuan Bapak."

Nyonya yang dimaksud tentu saja Miranda.

Sejak bersama Miranda, Damian benar-benar lost kontrol. Semua pekerjaan diserahkan begitu saja dan menjadi tanggung jawab Aruga. Sementara Damian bisa bersenang-senang. Berlibur ke luar negeri, Macau, Hongkong dan terakhir ke Phuket. Belum lagi ia sudah menghabiskan dana yang besar untuk menikahi Miranda. Aruga hanya bisa menahan napas dan mencoba bersabar.

Terlebih lagi, bukan sekali dua kali Miranda juga mencoba untuk kembali merayunya. Tapi, bagi Aruga dia tidak mungkin lagi untuk jatuh ke lubang yang sama. Terlebih kedua anaknya sudah besar. Ia tidak mau menjadi contoh yang tidak baik bagi Raja dan Ratu. Cukup sudah sekali ia melakukan kesalahan di masa mudanya dulu. Kali ini ia memilih untuk hidup dengan benar.

"Ada apa, Mas?" tanya Arasy melihat dahi sang suami mengkerut sedemikian rupa.

"Sepertinya aku benar-benar akan mundur dari perusahaan,sayang. Jika aku hanya menghadapi kegilaan Damian, aku bisa memaklumi. Tapi, yang kuhadapi adalah wanita tidak berakhlak seperti Miranda. Dia benar-benar sudah mengendalikan Damian. Bayangkan saja, setiap bulan ada saja uang perusahaan yang dia ambil. Memang jumlahnya tidak sampai ratusan juta. Tapi, jika begini terus lama kelamaan perusahaan akan kolaps. Damian tidak pernah menggubris jika aku memberi nasihat kepadanya lagi. Semua ucapanku dia anggap angin lalu. Istrinya sajalah yang benar di matanya."

"Istrinya kan, mantan istrimu juga, Mas," goda Arasy. Aruga hanya mencebikkan bibirnya.

"Kau tau, dia itu pernah menyuruhku untuk membunuhmu saja, atau mencelakakan dirimu. Itu sebabnya aku memindahkannya ke Bandung waktu itu."

Arasy terbelalak, untuk masalah ini dia memang sama sekali tidak mengetahuinya.

"Kau serius?"

"Memangnya kau tidak tau?"

"Aku hanya tau semua isi chat dan percakapanmu saja. Jika kau bertatap muka langsung ya, mana aku tau."

"Aku kira kau menyuruh orang untuk membuntuti aku."

"Dari pada aku membayar orang, lebih baik uangnya aku pakai untuk kebutuhan anak-anak."

"Jadi, dari mana kau dulu tau semuanya?"

"Kau tidak perlu tau. Siapa tau kau kumat, aku bisa segera tau."

"Astagfirullah, sayang. Kita ini sudah bukan anak muda lagi, Cy. Anak-anak kita sudah besar, mungkin sebentar lagi kita akan memiliki menantu dan juga cucu. Aku sudah melewati masa itu."

"Jadi, kau mau bilang bahwa kau sekarang sudah bertaubat?"

Aruga merengkuh Arasy ke dalam pelukannya. Perlahan ia membelai rambut Arasy dengan lembut.

"Aku mencintaimu, Cy. Dan aku sangat bersyukur memiliki istri seperti dirimu. Kau istri yang begitu baik dan juga sempurna."

"Mas, Raja dan Ratu menginap di rumah Zalina lagi."

"Biarkan saja mereka menemani Calista."

"Dan, rumah ini sepi. Hanya kita dan Ibu."

"Kalau begitu, kita dan Ibu menginap juga di sana."

"Seperti anak kecil saja," kekeh Arasy.

"Kita pasti akan kembali seperti anak-anak nanti, sayang."

"Semoga kita tidak menyusahkan Raja dan Ratu jika tua nanti."

Aruga tersenyum dan kembali mengusap pundak Arasy.

"Ibu sudah makan?" tanya Aruga.

"Tadi sudah, Mas. Ada ikan bakar dan sayur asem kesukaanmu, kau mau makan?"

"Boleh, temani aku ya."

Arasy mengangguk dan mereka pun segera makan bersama.

Saat mereka sedang makan, tiba-tiba Khanza keluar dari kamarnya dan ikut bergabung bersama mereka.

"Raja dan Ratu kemana, Cy?" tanyanya. Di usianya yang sudah tua, Khanza kini sedikit ringkih dan lebih mudah lelah.

"Di rumah Zalina, Bu."

"Kasian Calista dan Dominic. Apa tidak sebaiknya Ibu di sana saja untuk menjaga mereka, Cy?"

"Maksud Ibu? Ibu akan tinggal di rumah Zalina?" tanya Aruga.

"Ibu merasa kasihan pada Calista dan Dom. Mereka memang bersama Sutinah dan juga ada Laela. Tapi, mereka juga memerlukan orang tua untuk mendengarkan mereka."

"Apa Ibu tidak akan lelah di sana? Siapa yang akan menjaga Ibu?" tanya Arasy.

"Calista dan Dominic bukan lagi anak kecil yang harus Ibu jaga. Mereka hanya memerlukan teman untuk bicara. Bukan untuk mengasuh mereka," jawab Khanza.

"Aku akan menemani Ibu di sana," kata Arasy membuat Aruga terkikik geli.

Arasy langsung menoleh pada sang suami dan melotot kesal.

"Aku kan sudah menawarimu tadi untuk sementara tinggal di sana. Kau bilang seperti anak kecil, lalu sekarang kau sendiri yang ingin ke sana. Plin plan sekali kau ini," kata Aruga.

"Tadi kan aku pikir Ibu tidak mau ikut. Jika sekarang Ibu mau di sana ya kita ke sana."

"Jadi, bagaimana kalau kita berangkat sekarang? Biar Mbok Darmi yang di rumah. Toh juga ada Pak Cahyo yang tiga hari sekali datang untuk merawat kebun," kata Khanza.

"Baiklah, Bu. Kita berangkat, sebentar aku ambil kunci mobil dulu," kata Aruga. Khanza pun mengangguk sambil tersenyum bahagia.

Kedatangan Khanza, Aruga dan Arasy tentu saja membuat Anak-anak kebingungan. Mereka tidak menyangka bahwa Khanza akan datang.

"Mama ngapain ke sini?" tanya Ratu.

"Ya nggak apa-apa. Mama kesepian di rumah hanya sama Papa dan Oma. Memang nggak boleh?" Arasy balik bertanya pada putrinya itu.

"Mama ini ada-ada saja, sih. Ya udah, aku sama Calista sedang menonton televisi. Kak Dom dan Raja lagi asyik main PS."

Sutinah yang sedikit terkejut dengan kedatangan Khanza juga segera menyiapkan kamar tamu untuk Ibu dari majikannya itu.

"Kok nggak bilang Ibu Sepuh mau menginap?"

"Nggak ada rencana tadinya, Mbak. Yo wes, saya mau istirahat ya, Mbak."

"Monggo, bu."

**

Pagi harinya Aruga pun berangkat ke kantor dari rumah Zalina. Ia sengaja berangkat agak sedikit siang dengan membawa surat pengunduran dirinya. Tekadnya sudah benar-benar mantap untuk meninggalkan perusahaan.

Saat ia datang, ternyata Damian sudah berada di ruangan kerjanya. Aruga pun langsung masuk dan meletakkan beberapa map berisi berkas- berkas penting yang sudah ia siapkan sebelumnya.

"Kau siang sekali, dari mana?" sapa Damian.

"Aku menginap di rumah Zalina, jadi perjalanan agak sedikit jauh. Dam, ini semua berkas yang harus kau pelajari juga laporan keuangan. Sekaligus juga jadwal acaramu yang cukup padat minggu ini. Ingat, kau harus menghadiri semua meeting yang ada. Dan, aku juga mau menyampaikan ini," kata Aruga sambil menyerahkan amplop panjang berwarna putih pada Damian.

Damian langsung mengerutkan dahinya dan menatap Aruga keheranan.

"Apa ini?" tanyanya.

"Surat pengunduran diriku."

"Jangan main-main, Ga!"

"Kau tatap aku sekarang. Apa aku keliatan sedang main-main?" tanya Aruga.

"Kau tidak bisa mengundurkan diri dari sini begitu saja! Aku tidak bisa membiarkanmu untuk pergi dari sini!"

"Kau ingin aku tetap di sini tapi kau sama sekali tidak peduli dengan apa yang aku kerjakan. Kau sama sekali tidak mendengarkan apa yang aku katakan. Lalu bagaimana aku bisa bertahan?!"

"Puluhan tahun kita bersahabat, Ga. Aku pikir kau bisa mengerti bagaimana aku!"

"Justru karena aku mengerti makanya aku bisa sampai selama ini bertahan. Jika mengikuti emosi sudah lama aku pergi!"

"Tidak, aku tidak mau kau pergi!"

"Kalau begitu, didik istrimu supaya dia tidak seenaknya memakai uang perusahaan!"

"Itu sudah melewati batasmu, Ga!"

"Karena kau sudah mencampur aduk perusahaan dan pribadi, Dam!"

"Kalau dia sudah tidak mau, buat apa ditahan? Aku juga bisa bekerja menggantikan tugasnya, Mas."