"Kak, minum obat dulu ya. Biar mualnya agak reda, mungkin maag. Kemarin makan yang banyak santan kan, bisa jadi asam lambung kakak naik. Mami buatin sup aja ya, tapi minum dulu obatnya. Kalau masih sakit, kita ke dokter nanti," kata Zalina pada Elena yang masih berbaring lemah.
"Iya, Mami. Perut aku perih sekali," jawab Elena.
"Ya sudah minum dulu ya, obatnya."
Zalina pun memberikan obat pada Elena yang langsung diminum gadis itu tanpa curiga. Obat yang diberikan Zalina adalah obat penghilang mual yang biasa ia minum saat hamil Krisna dan Arlina. Zalina berharap obat itu bisa mengurangi rasa mual Elena.
"Demamnya sudah turun kok, Mami. Tapi, kok aku masih pusing ya."
"Kakak banyak pikiran, jadinya sakit deh. Pikirin apa sih, Kak?"
"Kejadian itu, Mami. Aku masih belum bisa move on. Ditambah lagi keinginan Mas Dody untuk menjadikan aku istrinya. Aku takut, Mami."
"Semua mendukungmu, kak."
"Terima kasih ya, Mami." Zalina memeluk Elena dengan erat. Ia ingin Elena tau dan mengerti bahwa dalam masalah ini Elena tidak sendiri.
Setelah memberi obat pada Elena, Zalina kembali ke dapur dan mulai memasak makanan untuk Elena. Ia mempersiapkan ayam kampung untuk ia buat sup.
"Saya bantu ya, Bu," ujar Laela.
"Tolong rebus ayam dan bumbu yang sudah saya ulek ini, La. Lalu, bantu potong sayurannya ya."
"Iya, Bu."
Calista yang baru saja pulang kuliah dan melihat Maminya sibuk di dapur langsung menghampiri Zalina.
"Mami masak apa?"
"Sup untuk Elena. Kau sudah pulang? Mau makan? Mami sudah masak kok, tu ada di meja makan."
"Ini khusus buat Elena? Aku nggak boleh?"
"Merajuk anak Mami. Ini buat Elena karena..."
Zalina pun membisikkan sesuatu ke telinga Calista, membuat anak gadisnya itu terperanjat.
"Serius, Mami?"
"Ya ini kan baru dugaan, Cal. Tapi, kalau benar bagaimana. Mami juga bingung mau cek nya bagaimana."
"Tunggu saja dulu, Mami."
"Kan Mami sudah bilang barusan, kita tunggu dulu sampai kondisi Elena benar-benar pulih. Mami nggak mau nanti dia kembali terpukul, lalu stres."
"Iya, aku mengerti. Aku bantu ya, Mami."
"Biar saya saja, Non. Non kan baru pulang, makan saja dulu," kaya Laela.
"Iya, sayang. Sana makan dulu, ada sambal mangga dan ikan goreng kesukaanmu."
"Wah, Makasih, Mami."
Calista pun segera melangkah ke meja makan dan langsung makan dengan nikmat. Meskipun Zalina memberinya uang bulanan yang cukup, sedapat mungkin Calista memang selalu makan siang di rumah. Ia selalu mengingat pesan Zalina bahwa hidup tidak selamanya ada di atas. Oleh karena itu, Calista sangat menghargai setiap rupiah yang diberikan oleh Zalina. Ia hanya memakainya untuk kebutuhan yang benar-benar perlu. Belajar untuk membedakan mana kebutuhan yang memang benar-benar perlu mana yang tidak.
"Mami, Kak Dom kemana?" tanya Calista.
"Di ruang belajar bersama adik-adikmu, kak."
"Aku kira dia keluyuran lagi, Mami."
"Menggunakan kursi roda? Ada-ada saja."
Pyar... Bruk...bruk
Tiba-tiba saja terdengar bunyi gaduh dari lantai atas. Calista dan Zalina pun bergegas berlari menuju ke kamar Calista. Dan, mereka kaget luar biasa saat melihat Elena sudah terbaring di lantai dalam kondisi pingsan.
"Astagfirullah, Cal bantu Mami pindahkan kakakmu ke atas tempat tidur."
Setelah memindahkan Elena ke atas tempat tidur, Zalina pun meminta Sutinah untuk membersihkan pecahan kaca gelas yang berserakan di lantai.
"Mungkin non Elena mau mengambil minum, tapi terjatuh, Bu," kata Sutinah.
"Sepertinya begitu, Mbak. Mau tidak mau kita panggil dokter ke saja," kata Zalina sambil memencet nomor pada dial ponselnya.
Calista menghela napas panjang. Ia merasa prihatin dengan kondisi Elena yang begitu rapuh. Perlahan ia membelai rambut saudara kembarnya itu.
"Sabar ya,kak. Kau pasti kuat melewati ini semua. Kita akan selalu bersama, aku akan mendampingimu."
"Dokter akan datang sebentar lagi,Cal. Kau teruskan saja dulu makanmu. Biar Mami yang menjaga Elena." Calista pun mengangguk dan segera turun kembali ke bawah dan meneruskan makannya.
**
Zalina menatap dokter Elvira.
"Dok,apa dugaan saya benar? Putri saya hamil?" tanya Zalina.
"Ya,bu. Tapi, saya harap kita periksa USG supaya lebih akurat. Terlebih usia Elena masih sangat muda. Masih rentan sekali.
"Baik, dokter. Saya akan membawanya saat dia sudah lebih kuat."
"Berikan vitamin yang sudah saya resepkan ya, bu."
"Saya beri pereda mual tidak apa-apa kan, dokter? Dokter sudah tau kan masalahnya bagaimana."
"Boleh, bu. Tapi,berita kehamilannya tentu harus dikatakan padanya. Pelan-pelan saja, Bu. Saya percaya Ibu dan keluarga bisa kuat melewati semua ini."
"Terimakasih, dokter."
"Sama-sama, bu."
Calista mengusap punggung Zalina dengan lembut.
"Kita harus apa setelah ini, Mami?" tanya Calista.
"Mami juga bingung, Cal. Bagaimana cara menyampaikan semua ini pada kakakmu."
"Mami sudah bicara pada Tante Arasy?"
"Sudah, Tantemu masih sedikit sibuk, mungkin besok atau lusa dia baru bisa kemari."
"Lebih cepat lebih baik, Mami. Hanya saja, aku binggung bagaimana dengan Mas Dody. Apakah kita harus menyampaikan juga berita ini kepadanya?"
"Dody biar menjadi urusanku,Mami. Aku yang akan bicara kepadanya," sahut Dominic.
Zalina menoleh pada Dominic, "Iya, kau harus mengatakannya. Kita tidak boleh menutupi apapun dari Dody. Dia anak yang baik, lagi pula sebuah hubungan akan jauh lebih baik jika didasari dengan adanya kejujuran dan keterbukaan."
"Aku setuju, Mami."
"Ya sudah, biar Mami yang menemani Elena dulu. Cal, tolong adik-adikmu dulu, ya."
"Ya, Mami."
Zalina pun kembali ke atas menuju kamar Elena. Tampak Elena sedang makan di suapi oleh Laela.
"Mami, sup nya enak sekali. Terima kasih, ya," kata Elena.
"Iya, sayang. Tidak mual, kan?"
"Tadi, setelah minum obat dari Mami aku merasa jauh lebih enak. Tapi, saat aku hendak ke kamar mandi kepalaku tiba-tiba berputar dan aku tidak sadarkan diri. Maaf sudah membuat Mami cemas."
"Pasti kau lemas karena sejak pagi belum makan. Jadi, habiskan makananmu, ya."
"Iya Mami."
Perlahan Zalina pun duduk di tepi ranjang Elena.
"Biar saya yang menyuapi Elena makan, La," katanya pada Laela.
"Baik, Bu. Ini, silahkan," jawab Laela sambil menyerahkan piring yang ia pegang pada Zalina, dan ia sendiri pun pamit keluar kamar. Membiarkan Ibu dan anak itu bicara berdua.
"Kata dokter aku sakit apa, Mami?"
"Asam lambungmu naik, Kak. Pasti ini akibat stres yang berkepanjangan. Sudahlah kak, jangan terlalu banyak pikiran. Jalani saja hari-harimu seperti biasanya. Kuliah, berkumpul bersama teman-temanmu. Anggap saja tidak ada apa-apa."
"Berita tentang Mike pasti sudah menyebar ke seluruh kampus, Mami."
"Pindah saja kalau begitu. Kau mau kuliah di Singapore saja? Biar berdua dengan Calista."
Elena menghela napas panjang, ia menatap Zalina dengan penuh keharuan. Betapa baiknya hati Ibu angkatnya ini.
"Merepotkan Mami saja," katanya.
"Mami tidak merasa repot, tapi kita fokus saja pada kesehatanmu, ya. Baru nanti kita bahas masalah studimu," kata Zalina.
"Mami, apakah aku hamil?"
**