webnovel

DIPIKIR DULU

Zalina menatap sepasang suami istri yang sangat ia kenal dengan tatapan memicing. Ia melirik Dody dan memberi isyarat supaya Dody membawa Elena menjauh.

"Oh, jadi kau bawa Elena ke luar negeri hanya untuk menutupi kehamilannya? Duh, sayang kasian anakmu dirawat ibu adopsi taunya hamil nggak tau siapa bapaknya."

"Kau bisa jaga mulut? Jika tidak ingat ini di negeri orang sudah aku hajar mulutmu yang jahat itu," kata Zalina.

"Kasian, ngakunya pengacara tapi, mendidik anak saja bisa kebablasan."

"Kasian, cantik-cantik tapi hanya bisa menjadi wanita kedua. Sekalinya dapat duda,kaya sih tapi sayang nggak bisa kerja. Kita lihat saja beberapa bulan ke depan apa kau masih bisa jalan-jalan ke luar negeri. Ayo,Mas kita pulang. Tidak ada gunanya meladeni manusia seperti mereka."

"Tunggu, Zalina."

Zalina menoleh dan menatap Damian dingin.

"Ada apa lagi, Damian?"

"Aku masih punya hak untuk tau, siapa ayah dari anak yang dikandung Elena."

"Dia, Dominic dan Calista bukan anak-anakmu lagi sejak kau memutuskan hubungan dengan mereka. Tidak perlu mencari tau tentang mereka. Kelak, jika mereka akan menikah aku akan memberitahumu. Karena aku yakin, anak-anak pun tidak akan mau jika kau menjadi wali nikah mereka. Nikmati saja hidupmu, Dam. Tidak perlu kau pikirkan nasib anak-anakmu. Biaya kuliah atau apapun, aku dan suamiku masih sanggup untuk membiayai mereka berdua."

Miranda langsung meradang dan berniat untuk mendorong bahu Zalina. Namun, Zalina bergerak menghindar ke samping sehingga Miranda yang sudah mengerahkan tenaganya hanya mendorong udara hampa dan membuat keseimbangannya hilang dan ia pun jatuh tersungkur ke depan. Karena ia mengenakan dress yang cukup pendek, maka sebagian pakaian dalam yang ia kenakan pun nampak karena ia jatuh persis seperti seekor kodok yang melompat.

Hal itu tentu saja membuat Zalina, Arjuna dan Khanza tak kuasa untuk menahan tawa. Begitupun dengan orang-orang yang kebetulan sedang ada di lobby hotel itu. Sambil menahan malu, Damian bergegas membantu Miranda untuk berdiri.

"Kau ini kelewatan sekali, Zalina," kata Damian.

"Aku? Dam, matamu buta? Jelas- jelas istrimu yang akan mendorongku. Apa aku harus diam saja? Lagipula aku hanya menghindar, bukan memukulnya."

"Memang tidak ada akhlak!"seru Miranda sambil menghentakkan kaki nya ke lantai dan bergegas masuk ke dalam lift dengan wajah memerah menahan rasa malu yang luar biasa. Damian pun bergegas menyusul sangat istri tanpa menghiraukan Zalina lagi.

Zalina dan Arjuna pun langsung melangkah pergi meninggalkan lobby hotel sambil menahan rasa geli.

"Aku akan memindahkan Ibu ke hotel yang lain saja. Biar nanti aku meminta orang untuk membereskan barang- barang Ibu dan juga Mbak Arasy dan Mas Aruga. Aku yakin Mas Aruga tidak akan merasa nyaman jika melihat Damian ada di hotel yang sama," kata Arjuna.

"Apa tidak akan merepotkan, Nak?"

"Tidak, Bu. Ibu tenang saja."

**

"Luar biasa Damian dan Miranda itu. Padahal aku baru saja mengundurkan diri. Mereka bisa berlibur dengan enaknya, tidak akan lama lagi perusahaan itu akan kolaps."

"Biarkan sajalah, Mas. Kita tidak ada urusan lagi dengan mereka. Apalagi dengan wanita kurang ajar itu. Jika tadi bukan di tempat umum dan bukan di negeri orang sudah aku cabik-cabik mulutnya," kata Zalina.

"Padahal biarkan saja Mbak tetap di hotel tadi, Jun. Mbak mau juga menampar mulut Miranda itu sesekali. Menyebalkan sekali wanita itu," kata Arasy. Sementara Aruga hanya tersenyum miris mendengar ucapan sang istri."

"Tapi, tadi harusnya kau melihat adegan terjatuhnya nyonya boss. Aduh, rok yang ia pakai tadi sampai tersingkap bebas, Mbak. Dan gayanya jatuh itu persis seperti kodok yang melompat menangkap cicak," kekeh Zalina membuat semua yang duduk tertawa geli.

"Coba aku tadi ada di sana, Mami. Aku pasti akan merekam adegan itu. Pasti seru jika aku posting ke media sosial," kata Calista.

"Kau ini, memang hobby sekali ya," kata Ratu.

"Oya,ngomong-ngomong mana Elena, suster?" tanya Zalina pada Grace yang ikut makan bersama mereka.

"Di teras samping bersama calonnya, Bu."

Arasy tersenyum, "Rencanamu berhasil sepertinya, Jun."

"Semoga saja, Mbak. Tadi aku lihat mereka sudah mesra. Dan, senyum mulai menghiasi wajah Elena. Itu yang paling penting, mengembalikan semangat Elena kembali. Termasuk mengembalikan senyum Elena kembali."

Sementara itu, di teras balkon samping, Elena tampak sedang makan dengan lahap bersama Dody. Sesekali Dody menyuapkan potongan daging ke mulut Elena.

"Enak, sayang?" tanya Dody sambil membersihkan sudut bibir Elena yang terkena saus steak.

"Enak, Mas."

"Pasti, kalau nggak enak kelewatan, El. Aku jauh-jauh datang dari Jakarta ke Singapura khusus untukmu. Kalau sampai kau bilang tidak enak, aku putus asa, Ele," kata Dody sengaja memasang wajah yang memelas membuat Elena geli.

"Lebay, Mas."

"Kalau nggak lebay, memang kau mau menerima cintaku?"

"Nggak lebaypun aku mau, Mas. Asalkan kau tidak mempermainkan perasaanku."

"Sayang, aku ini sudah kau siksa selama empat bulan. Apa kau masih mau menyiksaku lagi dengan meragukan diriku?"

Elena menatap Dody penuh rasa haru.

"Terima kasih, Mas."

"Untuk?"

"Untuk menerima dan mencintai diriku."

"Karena kau adalah segalanya untukku, El."

Perlahan Dody mendekat dan duduk di samping Elena.

"El, boleh aku memegang perutmu?" tanya Dody hati-hati. Elena menatap Dody dan ia pun mengangguk. Perlahan, Dody mengusap perut Elena dengan lembut.

"Hai, anak manis. Nanti, kamu bisa panggil aku Papa ya.Sekarang baik-baik di perut Mama, ya. Nanti, kalau sudah lahir, kita bisa bermain bersama-sama, ya," kata Dody sambil mengecup perut Elena dengan lembut. Dan untuk pertama kalinya Elena merasakan tendangan kecil dari dalam perutnya.

Seketika air mata Elena pun luruh. Ia menangis terisak-isak, membuat Dody terkejut.

"Kenapa, El?" tanya Dody.

"Dia...se-selama ini aku tidak pernah mengajak nya bicara. Aku tidak pernah membelainya dan rasanya aku tidak pernah merasakan gerakannya. Tapi, barusan aku merasakan tendangannya, Mas. Dan, entah mengapa aku merasakan kehangatan dan sentuhan di hatiku," jawab Elena di sela isak tangisnya.

Dody memeluk Elena dan mengusap punggung gadis itu dengan lembut.

"Kau harus mencintai anak kita ini, Elena."

"Kita?" Elena melepaskan pelukan Dody dan menatapnya.

"Iya, anak kita. Aku akan menganggap anak ini anakku sendiri, sayang. Aku sudah bicara dengan Om Arjuna. Aku akan bekerja di perusahaan cabang milik Om Arjuna yang ada di Singapura. Dan aku akan tinggal di sini. Meskipun tidak satu kamar denganmu. Tapi, aku akan ada untukmu mendampingimu sebagai calon suamimu. Saat kau melahirkan nanti, aku akan menemani dan memberimu dukungan. Dan, setelah itu saat sudah melewati masanya aku akan menikahimu dengan resmi. Kita akan mengadakan resepsi di Indonesia nanti. Supaya tidak ada yang tau kalau anak ini bukan anakku. Mereka hanya tau kita menikah di luar negeri."

Tangis Elena benar-benar pecah. Calista yang sedari tadi dengan penasaran mengintip ikut meneteskan air mata. Ia merasa bahagia melihat Elena kembali mendapatkan kebahagiaannya kembali.

Tiba- tiba saja saat ia berbalik...

"Aduuuh!"

**