webnovel

BUKAN KELUARGA

Dominic hanya tertawa mendengar perdebatan Calista dan Dody. Sudah lama sebenarnya ia tau bahwa Dody memendam rasa kepada salah satu adiknya. Tapi, dia sendiri tidak yakin karena Dody tidak mau jujur terbuka padanya.

"Elena mana, Cal? Aku udah lama nggak ketemu," kata Dody.

"Kalau suka, bilang nanti langsung sama orangnya. Jangan hanya di belakang, ngomong juga sama temennya, boleh nggak ngelamar adiknya jadi ipar gitu," seloroh Calista.

"Heh, kalian ini ngomong apa sih, berdua," sahut Dominic.

"Temenmu ini, Kak. Lagi pula masa sih, kalian ini udah lama bersahabat sampai nggak peka kalau sahabatnya suka sama adiknya sendiri."

Dominic menatap Dody sambil menautkan kedua alis matanya.

"Bener, Dod?" tanya Dominic. Dody hanya tertawa kecil, salah tingkah.

"Emang lu ngasih?" tantang Dody.

"Lu mau yang mana juga boleh asal lu serius, jangan coba-coba kalau hanya buat mainan," kata Dominic tegas dengan wajah serius.

Calista hanya terkikik geli dan melihat Dody yang makin salah tingkah.

"Duh, tanggung jawab nih Cal. Ngamuk ntar tuan muda," kata Dody.

"Aku tu baik, Mas. Hanya menyampaikan apa yang mas mau sampaikan sejak lama ke Kak Dom," jawab Calista.

"Habis ini kakakmu akan mewawancarai aku," kata Dody.

"Ya asal kau serius saja," kata Dominic.

"Nanti saja, aku langsung melamar Elena secara resmi," kata Dody sambil cepat berlalu.

Dominic hanya melongo melihat kepergian sahabatnya itu.

"Kau serius?" tanya Dominic.

"Apa?"

"Dodi?"

Calista menghela napas panjang, Zalina memang melarang untuk bercerita pada Dominic. Tapi, Calista merasa perlu untuk memberitahu Dominic. Toh, penyakit Dominic bukan penyakit yang berat. Perlahan, Calista pun menceritakan tentang Elena pada Dominic.

"Astagfirullah, pantas semalam perasaanku tidak enak. Jadi, kondisi Elena bagaimana sekarang?"

"Mami sejak semalam ada bersamanya. Kau pura-pura saja tidak tau, Kak. Oya, kapan kau boleh pulang? Tidak terlalu parah juga kan, kondisimu? Yang paling penting kan kau berhati-hati."

"Mungkin lusa aku sudah boleh pulang."

"Kau pulang ke rumah Mami, kan?"

"Iya. Entahlah, aku merasa Daddy itu seperti orang asing buat kita. Sementara Mami Zalina dan Papi Arjuna yang tidak memiliki hubungan darah dengan kita adalah orangtua yang sesungguhnya buat kita."

"Rasanya, jika Mami tidak mengingatkan, aku ingin sekali memaki Daddy. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Bukannya memperbaiki kesalahan, tapi dia malah menambah kesalahan," kata Calista.

Dominic menghela napas panjang.

"Lebih baik, kita jangan terlalu dekat pada Daddy sekarang. Menghindari keributan akan jauh lebih baik. Bukannya kita tidak menghormati orang tua. Tapi, rasanya kepercayaanku pada Daddy kini makin memudar. Terlebih dengan apa yang terjadi pada Elena."

"Hanya satu yang aku takutkan sekarang ini," kata Calista.

"Apa? Katamu lelaki itu sudah mendekam dalam tahanan? Mami tidak mungkin mau berdamai, kau tau bagaimana watak Mami."

"Bukan itu, aku percaya Mami akan membela keadilan bagi kita. Tapi,yang aku takutkan adalah bagaimana jika Elena sampai hamil akibat kejadian ini? Kita tidak tau apakah dia mengeluarkannya di dalam atau di luar."

"Kau berpikir terlalu jauh, Cal."

"Aku berpikir realistis, Kak. Itu bisa terjadi, Elena masih muda dan sehat. Dia pasti bisa hamil, kan?"

Dominic tampak mengepalkan tangannya, ia merasa apa yang dikatakan oleh adiknya itu ada benarnya.

"Jika itu sampai terjadi, aku tidak akan pernah memaafkan Daddy," kata Dominic.

"Lalu, kita akan melakukan apa jika sampai itu terjadi?"

"Entahlah, aku sama sekali tidak bisa memikirkan hal itu sekarang."

Tanpa mereka sadari, Dody yang sebenarnya belum pergi menguping pembicaraan mereka sejak tadi. Dan, kedua netranya telah basah oleh air mata.

"Jika sampai Elena hamil, aku yang akan bertanggung jawab. Aku yang akan tetap mencintai dan menyayanginya sepenuh hatiku," gumam Dody.

Setelah merasa tidak ada lagi yang perlu ia dengar Dody pun segera berlalu.

**

Sementara itu, Liemey sedang merasa keresahan yang luar biasa. Ia belum menghubungi Zalina karena ponselnya rusak. Dan, ia pun belum berani untuk pergi karena Damian tidak berkerja hari ini.

"Kau tidak berniat untuk mencari anakmu, Mas?" tanya Liemey lirih.

"Buat apa? Aku yang sudah mengusirnya. Anggap saja aku tidak punya anak."

"Mas! Kau ini kenapa?"

"Aku lelah, Mey! Aku lelah ditolak oleh anakku sendiri. Aku tidak tau harus bagaimana menghadapi keras kepala mereka. Buat apa aku memikirkan mereka? Calista dulu saja tidak mau ikut denganku. Bahkan menjadi anak yang membangkang sejak kecil. Dominic menyusul, bahkan dia aku jenguk di rumah sakit pun tidak mau. Merasa sudah punya uang sekarang. Itu semua karena harta warisan Arista yang entah berasal dari mana. Aku curiga dulu dia sudah selingkuh. Itu sebabnya dulu Ibuku membencinya!"

Liemey terbelalak, ia tidak menyangka sama sekali bahwa suaminya akan mengatakan hal seperti itu.

"Kau ini keterlaluan, Mas. Bahkan dulu bukti kejahatan Ibumu sudah nyata di depan mata. Kau dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu pada almarhum istrimu. Kau juga tega berkata seperti itu pada anak-anakmu sendiri. Kau ini benar-benar."

"Lalu, kau mau aku bagaimana?! Mencari anak kurang ajar itu? Paling dia sedang bersenang-senang dengan pria tua, perempuan murahan. Biar saja dia pergi, jika dia hamil paling tidak tau siapa bapaknya!"

"Mas, jangan kelewatan! Ucapan itu doa! Tega sekali kau menyumpahi anakmu sendiri!

"Dia...Mereka bukan anak-anakmu lagi!" teriak Damian.

Tepat saat mengatakan hal itu, Calista sudah berdiri di pintu. Gadis itu langsung bertepuk tangan mendengar ucapan Damian.

"Wah...wah...wah, baik sekali anda! Baguslah kalau begitu Pak Damian. Jika anda sudah tidak menganggap kami, aku, Kak Dom dan kak Elena anak lagi, kami sudah tidak memiliki beban dan juga kewajiban untuk menghormati anda lagi!" seru Calista.

Damian terpaku, ia tidak menyangka bahwa Calista akan datang dan mendengar ucapannya. Melihat kedatangan anak sambungnya itu, Liemey langsung mendekat dan memeluk Calista.

"Nggak usah di dengar perkataan Daddymu," kata Liemey.

"Terlambat, Mami. Aku sudah mendengar ucapan Daddy yang menusuk itu. Sejak dulu dia memang tidak pernah menganggap kami anak. Pernahkah dia membiayai hidup kami ketika kami bersama Mami Zalina? Ya, aku akui sesekali dia mengajak kami ke Mall, tapi biaya hidup kami? Siapa yang menanggung, Mami Zalina!"

"Buat apa? Asal kau tau, waktu itu Zalina menguasai semua aset almarhum Mommy kalian! Buat apa lagi aku beri dia uang?!"

"Dan, asal anda tau, Pak Damian. Sepeserpun Mami tidak pernah memakai uang itu! Bahkan untuk biaya balik nama rumah menjadi atas nama Kak Dominic Mami memakai uang pribadinya. Semua tabungan almarhum diberikan utuh. Bahkan deposito pun semua diurus dan diberikan utuh pada kak Dom. Yang itu dibagikan kepada kami, aku dan Elena oleh kak Dom setahun lalu. Kami bertiga yang pergi ke Bank untuk mengurus semuanya! Semua uang itu kini sudah kami depositokan kembali atas nama kami masing-masing!" seru Calista geram.

Damian meradang, wajahnya memerah. Ada perasaan malu dan gengsi bercampur jadi satu saat ini. Dia benar-benar tidak tau, selama ini Damian pikir Zalina membiayai anak-anaknya dulu dari uang Arista. Tapi, dia salah ternyata.

"Bela saja terus Mami angkatmu itu!"

"Oh, tentu saja. Baiklah, aku ke sini hanya untuk memberi kabar bahwa Elena mendapatkan musibah, dan dia berada di rumah sakit Pondok Indah. Tidak perlu anda menengoknya, Pak Damian. Toh, dia bukan putri anda lagi, kan? Mami, aku pamit." Calista memeluk Liemey sebelum ia melangkah keluar dan masuk ke mobilnya.

Setelah kepegian Calista, Liemey pun segera meraih kunci mobil dan tas.

"Kau mau ke mana?" tanya Damian.

"Melihat putriku, Elena."

"Kau masih istriku, kan? Kalau masih, tidak perlu pergi!"

"Aku tetap akan pergi!"

"Selangkah saja kau pergi menjenguk anak kurang ajar itu, aku akan MENALAKMU!!"