webnovel

Grief

Tik.. tikk.. tikk.. rintik gerimis turun membasahi muka bumi. Tercium aroma petrikor yang merasuk hingga ke paru-paru. Mereka yang sedang berkumpul pun membuka payung masing-masing. Kumpulan orang berpayung yang seperti puluhan jamur jika dilihat dari langit. Kumpulan payung berwarna hitam dimana pakaian yang pemegangnya kenakan juga berwarna hitam. Hujan dan hitam sebagai simbol duka. Duka mendalam di sebuah negeri dimana mereka baru kehilangan pemimpin mereka. Seolah langit dan surga ikut menangisi kepergian sosok itu. Isak tangis juga terdengar dari orang-orang terdekat maupun struktural kerajaan.

Karangan bunga yang juga berwarna hitam berjajar mengelilingi sebuah bingkai foto dari seseorang yang telah gugur. Para penyanyi paduan suara melantunkan lagu duka diiringi musik yang mengalun pelan. Hangatnya air mata ikut mengalir di pipi para penyair. Air mata kerinduan karena telah kehilangan sosok yang teramat berarti. Upacara kedukaan dilaksanakan di sebuah taman terbuka bernuansa putih, dengan jajaran bangku kayu yang juga berwarna putih. Gazebo kayu yang melindungi altar duka dan paduan suara menjadi satu-satunya tempat berteduh dari gerimis kala itu.

Tertulis nama ’Joseph Owen’ dibawah bingkai foto dan karangan bunga yang berjajar. Lilin-lilin menyala di tiap sisi altar kedukaan. Mereka yang duduk di jajaran bangku-bangku adalah para menteri, pekerja istana, petinggi kerajaan Vouna serta keluarga besar. Pakaian klan Demigod yang biasanya berwarna putih kini serba hitam. Suasana hening tanpa percakapan sepanjang upacara duka melepaskan kepergian sang Father of Demigod selamanya.

Diantara jajaran Demigod yang hadir, 8 Raja lain Arc Chaestra yang baru menjalin persahabatan dengan pemimpin Vouna pun ikut dalam upacara duka. Mereka ikut mengenakan pakaian duka khas Vouna berupa jubah panjang serba hitam dengan sarung tangan putih. Sebagai saksi kepergian sang Father of Demigod dan sebagai sesama pemimpin Arc Chaestra, mereka ikut menyampaikan bela sungkawa.

“kita apakan 9 kunci Gate of South ini? Kembalikan ke tempat asal mereka?” Cyrus sang Pixy bertanya sambil memegang 9 batang kunci berhias batu alam khas 9 Kerajaan yang Ia cabut dari altar Gate of South. Sebelum pulang ke Nereida, Ia dan kawan-kawannya yang kehabisan Magia setelah penyegelan gerbang berbicara mengenai 9 kunci.

“untuk apa? Sihir pelindung sang Alicorn yang menjaga mereka juga pasti sudah hilang.. kunci dari Groilandia, mau dilemparkan lagi ke langit?” balas Adryan mengutarakan jawabannya yang beralas logika. Ia tak sabar ingin segera pulang ke Gran dortoir untuk mandi, membersihkan rambut dan bulu nya kembali.

“sebaiknya kita simpan sendiri kunci-kunci ini.. khawatir ke depannya gerbang ini akan mengancam Arc Chaestra lagi..” ujar Erick sang Dragon dengan bijaknya. Sayap putih-birunya mengepak tanpa lelah, menemani perjalanan pulang ketujuh kawannya.

6 Raja lainnya pun menurut. Batu berhias Garnet, Onyx, Aquamarine, Amethyst, Topaz dan Emerald diambil oleh sang pemimpin kerajaan masing-masing. Tersisa kunci berhias batu Sapphire dimana akan diambil pemiliknya setelah kembali ke wujud manusia serta batu berhias Berlian yang telah kehilangan pemegangnya.

Cyrus menyimpan kunci berhias Moonstone lalu memandangi kunci berhias Berlian dengan tatapan layu. Kawan-kawan nya pun menunduk berduka mengingat apa yang telah terjadi.

“tidak apa-apa Cyrus.. kita kembali ke Vouna dan kembalikan kunci ini pada para Demigod.. ya..” Nathanael menepuk bahu Cyrus, Ia pun sama berduka nya dengan Raja Pixy itu. Cyrus membalas dengan senyum datar.

Makin lama gerimis makin deras. Kerumunan mereka yang berduka mulai satu per satu menyingkap jubah panjangnya.

“.. lalarala~ tumbuhlah tumbuh~ benih dari bumi~ mekarkan bunga harumkan asa~” sang Raja Pixy bersenandung pelan merapal mantra musim semi dengan suaranya yang manis.

Perlahan dari sisi-sisi taman tumbuh tanaman rambat yang batangnya cukup kuat. Daun-daunnya lebar dan lebat dengan bunga kecil berwarna putih yang bermekaran. Tanaman-tanaman itu tumbuh dan melindungi mereka yang berkumpul disana dari tetesan air hujan. Untuk pertama kalinya setelah 2.000 tahun berlalu klan Demigod melihat sihir musim semi milik klan Pixy. Mereka yang membawa payung pun menutup kembali payung-payung hitam mereka dan lebih fokus dengan upacara duka.

Satu per satu diantara hadirin disana pun naik ke altar kedukaan membawa masing-masing setangkai mawar hitam sebagai salam perpisahan selamanya. Dimulai dari petinggi Vouna, kerabat dekat hingga jajaran pekerja Ann Meyra. Lalu dilanjutkan giliran 8 Raja Arc Chaestra sebagai saksi terakhir pengorbanan sang Father of Demigod.

King of Dragons, Erick Silverstream. Dengan balutan pakaian hitam yang jubah panjangnya menutupi sebagian ekornya perlahan melangkahkan kaki naik ke altar. Mata biru dengan pupil hitam yang melebar, rintik hujan terlanjur membasahi sepasang tanduk serta rambut putihnya yang disisir rapi.

“.. kami akan merindukanmu.. Arc Chaestra akan merindukanmu..” ujarnya sambil meletakkan mawar hitam yang Ia bawa. Usai menyampaikan bela sungkawa Raja Dragons itu langsung turun dari altar kembali ke tempatnya semula.

Selanjutnya Command of Beast, Adryan Dawson. Ia membawa celana hitamnya sendiri dimana sudah tersedia lubang untuk ekor Feline nya. Telinga nya Ia tekuk agar tak kemasukan tetesan air hujan. Sepatu boots ber sol tebalnya yang berwarna coklat menjadi pembeda antara penampilannya yang serba hitam. Ia meletakkan mawar hitamnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hanya menatap foto Joseph sebentar lalu melangkah turun dari altar.

Prince of Pixy, Cyrus Xaviersky naik ke altar bersama dengan Priest of Foxes, Ryota Takahiko. Lipatan sayap biru Cyrus tersembunyi dibalik kain hitam tipis, membuat kilauannya tetap terlihat. Beret dan boots yang Ia kenakan pun mengikuti warna pakaiannya, hitam pekat. Ryota mengenakan pakaian duka khas Vouna ditambah Haori hitam bermotif rubah putih miliknya. Lonceng-lonceng yang biasa Ia pakai dilepas sementara agar tak mengganggu keheningan suasana berkabung.

Keduanya pun memegang masing-masing setangkai mawar hitam. Dengan wajah sedih dan mata berkaca-kaca bunga itu diletakkan di depan bingkai. Senyum itu masih terbayang, hangat Magia emas itu masih terasa. Keduanya lalu turun altar sambil bergandengan tangan saling menguatkan.

Selanjutnya sang Earl of Sirens, Andrew Cerise. Penampilan rambut merah berhias mahkota Amethyst juga wajahnya yang manis mencuri perhatian para hadirin. Klan Demigod pun baru kali ini melihat penampakan nyata seorang Siren yang naik ke darat dengan kaki jenjangnya. Anting Dreamcatcher yang Ia kenakan di telinga kirinya masih sama, ciri khas dari seorang Andrew.

“.. duka kami setelah kehilanganmu sedalam palung Mariana, kuucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya..” mata ungunya berkaca-kaca dan perlahan meneteskan cairan hangat. Air mata yang tumpah sebagai wujud kesedihan.

Spirit of Darkness, Damian Lawrence naik ke altar bersama dengan Guardian of Chaldene, Peter Ainsley. Damian hanya mengenakan satu lapis jubah hitam karena penampilannya sudah serba warna gelap. Ia masih sedikit canggung dengan para Demigod di Vouna namun karena datang bersama 7 Raja lain Ia tepis rasa canggung itu jauh-jauh.

Peter hanya berbeda satu langkah di belakang Damian. Karena datang ke upacara duka Ia tak mengenakan set armor lengkapnya. Hanya setelan kemeja hitam yang kemudian dilapis jubah hitam Vouna. Anting salib berbahan perak Ia kenakan di kedua telinganya.

Pemimpin Mavr Lykos dan Chaldene itu diam sejenak di depan altar dan menaruh mawar hitam mereka bersamaan. Sisa-sisa air hujan menetes dari rambut mereka yang basah.

“kami sudah menitipkan kunci berliannya pada para Demigod.. khusus hari ini saja aku berkunjung ke kerajaanmu ya..” bisik Damian pelan.

Peter menoleh padanya, tak bicara sepatah kata pun. Hanya berdoa dalam hati agar jiwa sang Father of Demigod tenang dalam damai sambil menahan kesedihan.

Terakhir sang Ruler of Asteria, Nathanael Sam. Tinggi badannya yang diatas rata-rata, sayap putihnya yang terlipat serta rambut panjang yang menyentuh pangkal lehernya membuat semua yang ada disana terpana melihat penampilannya yang mempesona. Sengaja Ia kenakan cadar hitam tipis untuk menutupi sebagian wajah agar dirinya tidak terlalu menarik perhatian. Mahkota Skystar pun tak Ia kenakan, hanya tiara emas berhias Aquamarine yang menggantung di dahinya.

Bulu sayapnya yang terkena tetesan air hujan sedikit rontok dan membuat jejak dari tempat duduknya ke gazebo dimana altar duka berada. Sepatu boots hitam dengan hak tinggi yang Ia kenakan mengantar langkahnya yang penuh duka.

“.. selamat tinggal..” itulah kata terakhir yang sang Raja Celestial ucapkan begitu meletakkan mawar hitam dan melangkah turun dari altar. Ia merasa tak perlu menyampaikan banyak karena ucapan duka cita telah diwakili para Demigod maupun ketujuh teman-temannya.

Kini tetesan hujan mulai berhenti. Alunan syair yang dilantunkan grup paduan suara makin syahdu. Cyrus memudarkan mantra pada tanaman sihir yang Ia munculkan hingga akhirnya tanaman itu menyusut dan hilang sepenuhnya. Kini yang menemani selesainya upacara itu ialah langit mendung yang gelap dan aroma petrikor yang masih memenuhi dada.

Upacara ditutup dengan pembakaran bunga mawar hitam yang dikumpulkan oleh para hadirin. Asap kelabu mengepul naik ke langit, ikut menerbangkan perasaan berkabung mereka yang ada disana menyertai doá-doá yang dipanjatkan pada para Dewa di Surga.

“kau tak mungkin tersenyum jika melihat kami menangis ‘kan..”