Senior High School, 07.00 pagi
Desta melangkah menuju loker dengan tatapan kosong. Pandangannya secara tak sengaja bertemu dengan manik milik Ardhika yang terlihat semakin kacau tiap harinya. Rambut pria itu berantakan, kantung matanya terlihat jelas, dan wajahnya terlihat lelah seperti sedang ditimpa masalah berat.
Lalu pandangan Desta mengarah ke loker di sebelahnya. Loker yang terbuka dengan banyak bunga di dalamnya dan satu foto di sana. Itu adalah foto Kanaya Dhira, siswi yang merupakan teman dan kekasihnya itu yang telah menghilang dan dianggap meninggal dari satu bulan yang lalu.
Kanaya Dhira adalah seorang gadis pekerja part-time di toko yang sama dengannya. Desta mengenalnya sebagai gadis yang ceria, lugu, ramah, dan juga sedikit aneh. Desta seringkali mendapati Kanaya suka menyendiri di belakang sekolah dan selalu memakai sweater bahkan di saat musim panas.
Orang aneh mana yang mau memakai baju tebal di saat musim panas? Desta rasa hanya Kanaya orangnya.
Sekarang gadis itu sudah tidak ada. Tapi Desta masih bisa merasakan keberadaannya. Desta masih bisa merasakan Kanaya yang mengeluarkan buku telenovela romantis ke dalam lokernya dan berbalik hanya untuk tersenyum manis ke arahnya.
Saat membuka loker miliknya sendiri, kening Desta berkerut bingung. Ia ingat sekali jika ia tak pernah menyimpan sebuah tape recorder di lokernya. Ia bahkan tidak pernah memiliki benda itu. Tapi sekarang, di dalam loker miliknya, ada satu tape recorder berwarna hitam di sana.
"Punya siapa ini? Kurasa aku tak pernah membelinya," gumam Desta sambil mengerutkan dahinya. Tangannya terulur untuk menggapai tape recorder itu dan melihatnya dari dekat.
"Itu milikmu."
Desta menoleh, mendapati Olivia yang mendekatinya dengan tatapan tajam. Olivia itu juga merupakan teman sekelasnya dan juga sahabatnya Kanaya. Entah kenapa dengan tatapan gadis itu, Desta rasa ia tak pernah punya masalah dengannya.
"Tapi aku tidak pernah memiliki benda ini."
"Itu milikmu, Desta." Olivia berkata tegas. "Dengarkanlah saat dirimu sendiri. Jangan menjedanya dan jika sudah selesai, beritahu aku."
Olivia langsung pergi. Gadis itu tak mau repot-repot mendengar satu katapun sebagai respon dari Desta.
Desta mengerutkan keningnya. "Ini bukan milikku. Kenapa aku harus mendengarkannya?"
*
Rumah Desta, 12.41 siang
Pada akhirnya Desta ingin mendengarkan tape recorder anonymus yang ditemuinya itu.
Saat sepulang sekolah, Desta langsung masuk ke kamarnya. Remaja pria itu bahkan tidak menyapa ibunya yang berada di dapur. Entah kenapa, Desta sangat penasaran dengan isi dari tape recorder yang diberikan Olivia padanya.
Desta melempar tasnya dengan asal dan meraih earphone. Ia mengambil posisi duduk yang dikiranya nyaman dan mulai mendengarkan rekaman di tape recorder itu.
"Hai, kawan. Jika kau sudah mendengar rekaman ini sekarang, itu artinya aku sudah mati."
Mata Desta melebar. Ini adalah suara Kanaya. Suara Kanaya, kekasihnya. Tiba-tiba saja tangan Desta gemetar dan pandangannya memburam. Kanaya… Desta memang merindukannya, tapi di sisi lain, Desta juga sangat marah padanya hingga ia ingin mengabaikan gadis itu saja rasanya.
Tapi Desta tidak bisa. Maka dari itu Desta mencoba menekan lagi tombol play yang tadi sempat ia tunda dan mendengarkan lanjutan dari rekaman itu.
"Apa kalian gemetar? Atau mata kalian berkaca-kaca? Ah, bicara apa aku ini. Itu semua tidak mungkin kalian alami saat mendengar suaraku 'kan? Suaraku tidak sespesial itu omong-omong."
"Well, kecuali kalian sendiri merasa kalian memiliki sebuah kesalahan kepadaku. Itu pasti akan berbeda cerita."
"I'm already dead. Jangan mengasihaniku karena itu bukanlah alasan kenapa aku meninggalkan rekaman ini untuk kalian semua. Yah, kalian. Kalian yang sudah menjadi alasan mengapa aku membunuh diriku sendiri."
"Sebelumnya aku ingin mengingatkan kalian semua untuk tidak bertindak gegabah. Atau orang yang memegang copy dari semua rekaman ini tidak akan segan-segan untuk menyebarkannya di internet."
"Bagi aku yang sudah mati, hal itu tidak berdampak sama sekali. Tapi kalian yang masih hidup… aku tidak perlu menjelaskannya 'kan? Jadi duduklah dengan tenang, cari tempat yang nyaman dan pasanglah earphone kalian. Dengarkan tujuh alasan mengapa aku, Kanaya Dhira, membunuh dirinya sendiri."
"Atau lebih tepatnya… tujuh kesalahan kalian yang membuatku harus menghilangkan diri sendiri."
"Rekaman nomor satu ini… kutujukan padamu, Ardhika Juli. Laki-laki yang sudah mengambil ciuman pertamaku dan juga yang mengajarkanku tentang manis-pahitnya mencintai seseorang. Kau tau 'kan Dik? Kaulah awal dari semua penderitaanku."
*