webnovel

2

"Aku tahu kau tidak akan menerimaku kembali, tapi izinkan aku untuk menempatkan rasa yang aku beri ini dihatimu." Dimas berucap dengan nada penuh sedih ditengah detik sebelum perpisahan yang ia tahu akan terjadi. Sunyi dari suasana ruangan itu menyelimuti.

"Dan maafkan aku jika rasaku ini membebanimu."

Anne membaca paragraf terakhir di bab tersebut dan diakhiri dengan kerutan alisnya. Millie sudah menyiapkan telinganya untuk mendengar ocehan yang akan dilontarkan oleh bossnya itu. Mata Anne masih mengelilingi tulisan di layar tablet electronic yang dibawanya sepanjang waktu. Hening diantara mereka semakin membuat Millie gusar ia sudah tidak tahan untuk mengangkat kakinya keluar dari café ini.

"Millie sayang-" ucapan wanita di depannya terhenti. Anne menutup layar tabletnya lalu memandang Millie sambil menopang kepalanya dengan tangan dimeja.

"I-iya?" jawab Millie ragu.

"Aku tahu kau salah satu penulis hebat yang bisa membawa para pembacanya masuk kedalam kehidupan di dalam ceritamu. Tapi ini," tangannya menunjuk ke arah layar tabletnya yang membuat pandangan Millie turut mengikuti. "Ini tidak ada rasa dan kehidupan disana. Semuanya datar dan… membosankan. Aku bisa saja tertidur saat membaca satu halaman pertama."

Millie menghembuskan nafas panjang. Ia tidak tahu harus membalas komentar bossnya itu dengan cara apa karena yang dikatakan Anne benar semua dan ia pun merasakan hal yang sama. Selama dua hari terakhir ia mencoba menulis beberapa potongan cerita yang akan ia kirimkan kepada Anne untuk ditinjau, ia pun merasa banyak paksaan dan hampa saat menulis cerita itu.

"Apa karena terlalu klasik?" Millie menjawab dengan melemparkan pertanyaan kembali.

"Yup. It's too classic, complicated and-"

"Not fresh." Ujarnya memotong. Millie mengganti posisi duduknya yang semakin gusar. "Anne, kau sendiri yang memintaku untuk menuliskan kisah patah hati, dan semua jalan dari kisah itu berakhir sama."

Millie sudah berusaha untuk menahan sifat sarkastik nya untuk tidak keluar disaat seperti ini tapi ia sudah tidak tahan.

"Okay, tapi di salah satu novel series mu ada bagian dimana sang karakter utama kehilangan seluruh dunia magisnya dan harus kembali pada kenyataan, itu sama saja." Kata Anne.

"Anne- ayolah kau tahu itu berbeda. Cerita kali ini tentang romansa dan itu bukan gayaku sama sekali. Bisakah kita sudahi saja dan biarkan aku kembali dengan dunia penulisanku."

Millie merutuki dirinya sendiri, ia bukan tipe orang yang gampang memohon pada orang lain, tapi untuk kali ini dia bersusah payah menurunkan egonya untuk memohon kepada boss nyentriknya itu.

"Itu bukan gayamu karena kau tidak merasakan getaran itu di hatimu, Millie sayang. Jika kau kesulitan untuk mencurahkan cerita ini, mengapa kau tidak tulis ceritamu sendiri. Kau tahu banyak penulis diluar sana yang berhasil membawakan ceritanya dengan sedikit kata tapi bisa membangun sejuta rasa untuk para pembacanya karena mereka merasakan itu sendiri, mereka mengalaminya

.

Kau bukan anak remaja lagi Millie sayang, pasti kau memiliki pengalaman cerita cinta yang bahagia atau menyakitkan, tidak bisakah kau coba tuangkan itu untukku, untuk ceritamu dan untuk penggemarmu yang menunggu? Well, karena kau sudah bersusah payah memohon padaku, aku tidak akan menekanmu lebih jauh tapi aku juga balik memohon padamu. Hmm?" tuntas Anne.

Millie mendengus dengan sikapnya. Ia tidak percaya dengan perkataan yang dilontarkan kembali oleh bosnya. Merasa ia yang orang bodoh di situasi ini. Tapi ini bukan waktunya untuk angkuh. Ia menarik nafasnya dalam lalu berkata,

"Jika kau bersikeras untuk pekerjaanmu karena penurunan penjualan novelku akhir ini, aku harus benar-benar menolaknya. Ini pekerjaanku Anne, bagaimana aku bisa menjalaninya dengan baik jika aku terbebani. Tidak bisakah kau mengubah statistic penjualanmu menjadi lebih rendah dan membuatku bekerja untuk tetap membuat pembaca setiaku royal, itu akan lebih baik." Millie lega mengatakan semua unek-uneknya selama ini. Walaupun memang terdengar menyakitkan dan bisa berisiko kehilangan publishernya, setidaknya ia sudah berusaha mencari keadilan untuk dirinya sendiri, meski dengan saran yang separuh terdengar masuk akal dan separuh omong kosong.

Anne sontak berdiri dan merapikan blazer yang dipakainya, ia sudah siap melihat Anne untuk meledak lalu memutuskan kontrak kerja mereka, yang sekarang mulai Millie sesali atas perkataannya. Namun detik selanjutnya ia malah mendapatkan bossnya itu tertawa renyah. Millie hanya memandangnya aneh tidak berniat untuk menghentikan bosnya itu yang masih tertawa sambil merapikan barang bawaannya diatas meja.

Walaupun tatapannya terkesan kosong, isi kepalanya berisikan banyak skenario yang mungkin bisa saja terjadi setelah gemaan tawa dari bossnya yang masih terngiang jelas di kepala. Anne berhenti tertawa setelah menenggak habis kopi-sangat-manisnya itu. Lalu berkata.

"Well, Millie sayang, itu juga sudah menjadi tugasku untuk bisa membuat para penulis ku terus berkembang dengan karya mereka." Katanya yang hendak melangkah pergi. "Walaupun perkataanmu sedikit membuatku sakit hati, tapi aku tetap menyayangi penulisku satu ini. Aku akan memberimu waktu dua bulan untuk melanjutkan project mu kali ini. Dan jangan lupa terus hubungi aku di setiap perkembangannya, okay Millie sayang, see you" ucapnya yang kali ini benar melangkah pergi.

Ia menghembuskan nafas panjang, pundaknya turun beriringan dengan punggungnya yang menabrak sandaran kursi. Seharusnya ia yang melenggang pergi dari sini dengan puas, tapi malah boss nyentriknya itu yang berpakaian serba pink dan orange neon full motive yang berbeda di tengah hari siang bolong seperti ini. Juga tidak lupa melemparkan beban baru padanya. Millie tidak tahu harus berbuat apa kepalanya kembali terasa berat.

Isi hatinya kembali mendumal dengan wajah ditekuk. Ia tidak peduli jika orang lain takut saat melihatnya itu tidaklah terlalu penting saat ini. Ia lebih mementingkan cara keluar dari labirin yang belum menemui titik terang. Jika boleh jujur saran dari bossnya itu tidak banyak membantu dirinya. Laptop yang sudah ia buka tiga puluh menit setelah kepergian Anne hanya berisikan kalimat-kalimat random yang penuh omong kosong.

Menuliskan ceritanya sendiri akan lebih mudah untuk menuangkan rasa katanya, cih. Millie bukan pujangga atau seorang yang puitis dapat membuat ribuan rangkaian kata hanya berbekal melihat sebuah bunga dihalaman belakang rumah lalu bisa membuat orang lain yang membaca menangis. Semua ceritanya selalu ia tuliskan dalam buku fantasinya, bagaimana ia merindu, memuja dunia didalamnya, semangatnya untuk bertahan. Tidakkah itu cukup untuk mengekspos dirinya sendiri. Lihat, sifat sarkastiknya mulai berkobar.

Gelak tawa kembali terdengar dari handphonenya. "Kau menertawai ku juga, huh?" sindir Millie. "Kau samanya tidak membantu."

"Aku memang tidak bisa membantu banyak dalam hal ini, Mil. Kau dan boss mu sama-sama diposisi yang sulit." Kata suara diujung sana mencoba memperbaiki suasana.

"Posisiku yang lebih sulit!" geram Millie merasa tidak adil.

Ia melanjutkan memotong sayuran dengan penuh penekanan. Ia bahkan sudah tidak berselera makan setelah pulang dari café dan hanya menghabiskan dua gelas kopi dan dua piring kentang goreng tanpa membuahkan kemajuan dalam tulisannya. Dan memutuskan untuk menelepon temannya Davine saat sampai di apartemennya lalu memaksanya untuk mendengarnya mengoceh dengan perut perih akibat meninggalkan jam makannya dengan lambungnya yang berdemo untuk diberikan makan nyata bukan hanya kopi.

"Hey, hati-hati dengan pisaunya" ingat Davine yang mencegah hal ceroboh lainnya yang bisa saja temannya itu lakukan saat suasana hatinya buruk seperti ini.

"Seharusnya aku lebih hati-hati untuk tidak mengiyakan tantangan itu, bukan dengan pisau ini," kata Millie yang mulai kembali menyesal.

"Aku juga ingin memperingati itu tapi kau sudah lebih dulu mengatakannya." Olok Davine.

"Davine!" Millie kembali memencak sambil menjatuhkan pisau di tangannya. Ia melirik wajah temannya di layar handphonenya dengan malas.

"Okay, I'm sorry. Mungkin kau harus meminta bantuan Liam, berhubung dia seorang pelukis yang menggilai seni dia pasti bisa membantumu untuk mencurahkan kata dan rasa jika itu yang kau butuhkan."

"Liam?" Millie diam sejenak berfikir. Ia menggeleng di akhir gumamnya. "Nope. Aku yakin Liam tidak akan bisa membantuku sama sepertimu."

"Kau selalu gampang menyerah Mil, coba kau tanya dulu padanya. Hanya dia orang terdekat yang bisa bertemu denganmu. Aku masih di luar negeri sampai awal tahun depan dan tidak bisa membantumu banyak."

"Aku tahu." Singkat Millie.

"Sorry Mil, tapi aku harus pergi jam makan siangku sudah habis."

Ah, ya perbedaan waktu antara Millie dan Davine cukup jauh. Ditempatnya hari sudah menggelap sementara waktu di tempat Davine masih tengah hari. Tidak cukup banyak waktu untuk mereka berbincang.

"Okay, bye."

"Bye."

Millie menekan tombol dial dihandphonenya, dan kembali sibuk memasak makan malamnya dengan isi kepala menerawang jauh. Tempat tinggalnya kembali hening. Meski ia suka keheningan tapi berbeda kali ini. Berbicara tentang Liam, lelaki sahabat kecilnya itu memang seorang pelukis handal ia sudah membuat pameran berkali-kali dan sekarang karyanya sudah mulai melejit hingga keluar negeri.

Mungkin perkataan Davine benar, hanya Liam orang terdekatnya yang mungkin bisa membantu. Tapi Millie tidak tahu apakah lelaki itu sedang sibuk bermain dengan cat warna warni di palletnya atau malah sedang senggang dengan bermain video game di kamarnya. Millie banyak menghiraukan pesan-pesan dari lelaki itu karena sibuk mengetikan kata dengan jarinya. Ia bahkan tidak bercerita tentang beban barunya itu kepada Liam, padahal sejak kecil ia dan lelaki itu sudah berjanji untuk menceritakan apa pun itu yang terjadi pada satu sama lain.

Liam sudah menjadi sahabatnya-bisa dibilang begitu- semenjak mereka duduk disekolah menengah pertama berawal dari keluarga Millie yang pindah dari daerah lain lalu bertetangga dan bertemu satu sekolah bahkan satu kelas dengan Liam. Kedua ibu mereka sangat dekat itu juga yang menjadi faktor mereka terus menempel satu sama lain sampai saat ini usia Millie dan Liam yang hampir menginjak kepala tiga.

Banyak orang mengira bahwa mereka menjalin hubungan, tapi hal itu selalu Millie tepis dan berkata bahwa mereka hanyalah seorang teman atau sahabat dan tidak lebih dari itu. Gadis-gadis yang menggilai Liam saat sekolah dulu selalu menganggap Millie adalah sebuah tantangan akhir yang sangat sulit untuk mereka lewati, disamping karakter Liam yang pendiam, misterius, dan penyendiri, ada seorang gadis bawel yang menjadi bodyguard bocah lelaki itu dan mengintili kemanapun Liam pergi.

Bukan mau Millie di cap sebagai algojo Liam, saat ibu Liam mengetahui bahwa Millie sering berangkat dan pulang sekolah bersama anaknya, kemudian menganggap bahwa mereka berteman baik, beliau meminta untuk terus bersama Liam karena ia tidak pernah memiliki teman. Dan Liam sendiri pun tidak pernah mempermasalahkan kehadiran Millie.

*****

Millie melangkahkan kakinya masuk kedalam sebuah toko perlengkapan lukis yang didalamnya juga terpajang banyak lukisan authentic yang dibuat oleh empunya sekaligus menjadikannya galeri pribadi. Millie menyapa Adam yang sedang berdiri didepan mesin kasir. Sebelum Millie mengatakan tujuannya, lelaki yang lebih muda darinya sembilan tahun itu sudah memberitahu dimana orang dari tujuan Millie berada. Adam menggambarkan sesuatu dengan ekspresi wajahnya, Millie langsung tahu bahwa ini sesuatu yang kurang baik. Millie berbisik 'thanks' lalu melenggang masuk ke lantai dua.

Pandangannya mendapati seorang lelaki sedang duduk membelakanginya berkutat dengan frame kanvas dan sketsa yang sedang dibuatnya. Ia tampak sangat hidup dengan gayanya, sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela besar disisi ruangan membuatnya semakin bersinar gemilang bersama karya yang di goresnya.

"Tut,tut, Liam sedang tidak dapat berbicara dengan anda saat ini silahkan tinggalkan pesan setelah bunyi dering," katanya menirukan suara operator voice mail tanpa menoleh sedikitpun.

"Kau marah padaku, hmm?" balas Millie.

"Tut,tut, voice mail ditolak silahkan coba lagi setelah bunyi dering," lelaki itu masih sama dengan sikapnya. Mencoba tidak memperdulikan dirinya sedikitpun, namun Millie tahu Liam ini hanya bentuk dari ambeknya.

"Ayolah, Liam jangan kekanakan, kau tahu aku sangatlah sibuk akhir-akhir ini." Liam tidak bergeming dari tempatnya masih sibuk menggoreskan pensil hitam pekat di kanvas yang Millie sendiri pun tidak paham konsep dari lukisan yang hendak lelaki itu buat. "Baiklah, aku salah karena mengacuhkanmu. Aku minta maaf, okay."

"Tut, tut, voice mail telah di blokir." Kata Liam.

Mille menghela nafas, "I'm sorry." Katanya lemah, ia tulus kali ini mengatakannya. Ia tahu sekarang sangatlah tidak enak diacuhkan seperti ini. Liam didepan sana hanya mengangkat bahunya acuh.

Millie melihat bahu lebar itu dengan mata memicing merasa kesal. Ia melangkah dengan menghentak lantai menggunakan sepatu bootsnya hingga suara hentakan heelsnya menggema di ruangan itu. Tangannya menjatuhkan bungkusan makanan yang dibawanya kepada Liam. Lelaki itu sedikit tersentak lalu menoleh kearah Millie dengan pandangan tidak percaya yang dibuat-buat.

"Kau menyuapku? Seingatku ibu mu tidak pernah mengajarimu berperilaku seburuk ini Evie,"

"Jangan panggil nama tengahku, kau tahu itu terlarang." Tukasnya saat mendengar nama itu disebut.

Mata Liam membelak girang saat melihat bungkusan suapan yang berisi kue favoritnya. "Kau tahu betul cara menyuap orang dengan baik. Permintaan maaf diterima."

Millie berdengus melihat sikap lelaki itu meski Liam sendiri yang bilang secara tidak langsung menyuap adalah perbuat buruk tapi ia tetap memakan kue macaroon itu dengan lahap. Walaupun membujuk lelaki itu untuk memaafkannya sangatlah mudah, tapi Millie tetap merasa bersalah atas sikapnya yang mengacuhkan semua pesan Liam akhir ini.

"Jadi ada apa kau sulit-sulit mendatangiku? Aku pikir kau sudah lupa dengan keberadaanku."

"Aku butuh bantuanmu." Ujar Millie yang dihadiahi kekehan di akhir kalimatnya.

"Oh-nope-" Liam mengurungkan niatnya untuk mengambil bungkus macaroon keduanya malah menodongkan kotak makanan itu kembali ke tangan Millie. "Aku tidak mau jadi bahan percobaan projek fantasi untuk novelmu lagi."

"Apa? Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya butuh teman bicara untuk bertukar pikiran." Bela Millie.

"Mengapa harus aku? Temanmu banyak, atau kau bisa membicarakan ini dengan managermu atau boss keren mu itu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan ini." tolak Liam mentah.

Millie paham lelaki itu masih trauma dijadikan bahan percobaan untuk projek novel fantasinya, tapi ia sangatlah membutuhkan lelaki ini. Setidaknya begitu saran yang diberikan Davine untuknya semalam.

"Karena mungkin hanya kau satu-satunya orang yang bisa membantuku disaat seperti ini, berhubung kau juga seorang pelukis yang mempunyai cita rasa tinggi dengan seni. Jadi mohon bantu aku."

Liam menatap wanita berambut panjang yang berdiri di sampingnya dengan pandangan datar. Tapi Millie sangat tahu kelemahannya. "Baiklah akan aku coba." Jawabnya lirih namun terdengar sangat dipaksakan.

"Jadi begini-" belum sempat Millie mengutarakan ucapannya sudah terpotong terlebih dahulu.

"Tapi aku tidak berjanji akan membantumu jika itu melibatkan hal aneh. Kau janji?" tanyanya yang dijawab anggukan antusias dari Millie. "Baiklah, tapi ceritakan terlebih dulu dari mana saja kau selama ini?"

Millie menarik salah satu kursi dan menempatkannya di samping Liam dan mulai menceritakan semua bebannya berasal. Dimulai dari perilisan buku terakhir dari series ketiganya yang memang sudah mengalami penurunan penjualan dari series itu diluncurkan. Lalu agensi publisher bukunya mengadakan fan meeting yang juga dimaksudkan untuk mendongkrak popularitasnya seperti dulu yang malah berakhir ia ditantang untuk membuat buku dengan genre yang sangatlah bertolak belakang dengan gayanya.

Jujur sebenarnya Millie tidak ingin menceritakan bagian ini karena sangat malu wajahnya bahkan memerah. Namun Liam berkata itu bukan sesuatu yang harus Millie permalukan karena memang salahnya yang mengiyakan walau hanya gurauan. Meski Millie memencak mendengar komentar yang dilontarkan untuknya, ia tetap mengakui tindakan bodohnya. Millie selesai dengan cerita panjang lebarnya termasuk alasan tubuhnya terlihat lebih kurus sekarang, dan berakhir memaksa Liam untuk membaca tulisan yang dibuatnya kemarin.

"Menurutku ceritamu ini sudah bagus. Hanya terlihat seperti kau sangat tidak menaruh minat didalamnya." Simpul Liam diakhir.

"Aku tidak menaruh minat karena bingung dengan apa yang aku tulis."

Liam terkekeh kecil mendengarnya ia tidak banyak menggubris komentar Millie.

Tangannya merogoh salah satu kantong celananya lalu memberikan sebungkus permen karamel. "Kau gampang putus asa jika mood mu tidak bagus."

Millie memakan permen karamel itu sambil tersenyum tipis. Liam selalu memberikan coklat atau permen manis untuk Millie, sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Lelaki itu lebih memilih menyumpal mulut Millie ketimbang harus mendengar ocehannya sepanjang waktu.

"Tapi aku tidak suka dengan salah satu kalimat di tulisanmu." Katanya sambil membalikan badan kembali pada kegiatan melukisnya.

"Yang mana?"

"Bagian dimana seseorang harus meminta maaf atas rasa yang dia punya."

"Memangnya kenapa?"

"Seseorang tidak harus meminta maaf atas rasa yang mereka punya, begitupun orang lain yang menerima. Karena rasa hadir dengan sendirinya tidak dapat diminta, bukan mau dari orang tersebut untuk mendamba melainkan naluri hati mereka yang meminta." Jelas Liam panjang. Tidak ada penekanan atau emosi disana tapi kalimat yang ia ucap memiliki rasa hidup pada tiap katanya. Inilah yang Millie cari.

Millie hanya tersenyum tidak berniat untuk mengeluarkan olokan dari bibirnya. Tapi ia sadar mendatangi sahabatnya itu memanglah keputusan yang tepat.

"Kau punya pengalaman patah hati? Atau ditolak seseorang?" akhirnya Millie bersuara setelah diam beberapa saat. Ia bertanya karena memang penasaran, pasalnya yang ia tahu selama ini Liam tidak pernah punya hubungan khusus dengan seseorang.

"Patah hati tidak, lebih tepatnya tidak bisa mengungkapkan. Ia hanya memendamnya sendiri selama ini." itu bukan Liam yang menjawab melainkan sebuah suara yang muncul dari arah pintu ujung sana.

"Itu kanvas terakhirmu." Ujar Adam setelah meletakan frame kanvas. "Mengapa kau melototiku? Memang aku salah?" ujarnya lagi melihat Liam yang memberikan tatapan garang untuk membungkam mulut adiknya. Adam pergi setelahnya tanpa beban sedikitpun.

Mata Millie bergerak perlahan melihat Liam dengan pikiran penuh tanda tanya. Ia tidak pernah tahu soal ini Liam tidak bercerita apapun bahkan tentang dirinya yang bisa mengungkapkan kata dengan begitu puitis.

"Konspirasi apa yang kau sembunyikan dengan Adam?"

"Itu tidak penting." Tukas Liam singkat. Lelaki itu tidak memberikan pandangannya sedikitpun pada Millie membuat wanita disebelahnya semakin penasaran.

"Itu penting bagiku sekarang. Jika aku tidak bisa menuangkan kisahku pada bukuku kali ini, aku rasa tidak ada salahnya aku mengangkat ceritamu."

"Tidak." Ketus Liam.

"Ayolah, kau bisa berkomentar dengan sangat puitis bak pujangga tadi. Kau harus membantuku." Pinta Millie.

"Aku sudah berjanji tidak akan membantumu jika melibatkan hal konyol." Tolaknya mentah.

Millie bersesis mendengar tolakan Liam. Ia memutar otaknya untuk bisa meluluhkan hati lelaki pelit disebelahnya ini. Ia tidak bisa merelakan satu-satunya harta karun yang juga sekaligus menjadi kesempatannya untuk keluar dari labirin penuh beban yang dideritanya. Baiklah, jika Liam tidak mau tawaran dengan tangan kosong Millie akan mengeluarkan jurus terbaiknya untuk menyuap lelaki satu ini.

Menit setelah otaknya berpikir keras ia menemukan satu ide konyol yang terlintas di pikirannya. Tawaran yang sangat menarik juga menguntungkan untuk dirinya dan Liam.

"Kau mau tinggal di apartemen ku selama satu bulan?"