Sehari sudah berlalu sejak Pak Smith memberitahu tentang ujian yang akan dijalani Minggu depan.
Kebanyakan teman sekelas ku merasa gelisah karena terancam dropout.
Karena itulah, banyak dari mereka yang memutuskan untuk membuat kelompok belajar agar bisa lulus dalam ujian.
Termasuk Fisa, dia mengajakku untuk bergabung dengan kelompok belajarnya.
Aku masih tidak tahu anggotanya, jadi aku memutuskan untuk ikut dengannya.
Itu kulakukan untuk berjaga-jaga kalau saja orang itu akan mengganggu Fisa, atau bahkan bisa jadi orang itu juga bergabung dalam kelompok belajarnya.
"Hei, Satomi. Kenapa kau melamun?"
"Umm?"
Tiba-tiba, pipiku ditarik oleh Fisa dan pada saat itulah kesadaran ku kembali.
Aku terlalu banyak berpikir hingga melamun dan akhirnya disadarkan kembali oleh Fisa.
Saat ini kami berencana untuk bertemu dengan yang lainnya di cafe dan berniat membicarakan tentang kelompok belajar disana.
"Ah, maaf. Aku sedang memikirkan tentang ujian."
"Ya, aku tahu. Memangnya siapa yang tidak gelisah jika terancam di dropout?"
"Begitulah."
Sebenarnya aku sedikit berbohong.
Aku tidak memikirkan tentang ujiannya, atau lebih tepatnya aku sedang memikirkan tentang Fisa itu sendiri.
Jika orang yang kucintai di dropout, maka aku tidak akan dapat bertemu dengannya lagi hingga tiga tahun kedepan.
Aku yakin kalau aku dapat menjalani ujiannya dengan baik.
Tapi bagaimana dengan Fisa?
Untuk ujian atletik, kurasa dia masih bisa mengatasinya, terlebih lagi dia memiliki tubuh yang lumayan atletis untuk seorang perempuan.
Yang jadi masalah adalah ujian akademis, karena bisa saja jika gagal dalam satu mata pelajaran, maka pengurangan 100 point akan terjadi.
"Fisa, berapa jumlah point mu sekarang?"
Aku bertanya padanya.
"Emm ... mungkin sekitar 800 point? Aku belum mengeceknya akhir-akhir ini."
"Cek sekarang!"
"Kenapa?"
"Cek saja!"
"Baiklah."
Bukannya aku memaksanya, tapi itu memang penting.
Kemudian Fisa membuka ponsel nya dan menunjukkan layarnya padaku.
"Apa kau puas?"
"Apanya yang sekitar 800 point? Point mu tersisa 689."
Aku penasaran hal apa saja yang dibeli olehnya hingga point nya tersisa 689, padahal sistem point baru diperkenalkan dua Minggu.
"Tidak masalah bukan? Point yang kumiliki itu masih banyak."
"Tapi bukan itu masalahnya."
"Eh?! Ponsel ku!"
Aku merebut ponsel nya secara paksa hingga membuatnya terkejut.
Aku tidak peduli dengan itu, yang terpenting adalah aku dapat mengetahui isi dari bagian riwayat point di ponsel Fisa.
Ah, jadi begitu.
Saat aku menekan bagian riwayat point, aku dapat melihat beberapa pengurangan point yang terjadi.
Rupanya Fisa telah banyak dihukum hingga point nya tersisa 689 point.
Bermain ponsel saat guru menjelaskan: -30 Point.
Terlambat datang ke sekolah: -30 Point.
Membuang sampah sembarangan: -5 Point.
Memasuki asrama lelaki tanpa izin: -20 Point.
Sebenarnya masih banyak hal lain, tapi aku tidak bisa membacanya satu persatu.
"Satomi, kembalikan ponsel ku!"
Saat Fisa berusaha untuk meraih ponsel nya yang sedang kupegang, aku langsung mengangkat tanganku lebih tinggi agar dia tidak bisa menggapainya.
"Tunggu sebentar, aku masih memiliki urusan dengan ponsel ini."
"Itu melanggar hak privasi, cepat kembalikan!"
Aku mengabaikannya yang terlihat kesal.
Lalu aku membuka bagian kontak.
5 Kontak Tersedia.
Oh, ternyata kontaknya lebih sedikit dari yang aku kira.
Kukira dia memiliki lebih dari 20 kontak, tapi ternyata hanya 5 kontak.
"Biar kulihat."
"Apa yang kau lihat?!"
Cika, Danna, Lina, aku sendiri, dan yang terakhir Wijaya.
Aku tidak mengenal orang yang terakhir, tapi aku tahu kalau dia sekelas denganku.
"Kurasa sudah cukup, terima kasih."
Saat aku sudah puas dengan ponselnya, aku pun mengembalikannya.
"Lihat saja nanti, aku pasti akan membalasnya!"
"Aku menantikannya. Tapi untuk sekarang, bukankah kita sudah sampai?"
Kami berhenti tepat di sebuah cafe yang bernama H's Cafetaria.
"Ayo kita masuk, Satomi! Yang lainnya pasti sudah menunggu!"
"Ya."
Kemudian kami pun masuk ke dalam dan mencari mereka.
Aku tidak tahu siapa orang yang dicari, tapi lebih baik aku diam dan mengikuti Fisa saja.
"Lina! Maaf jika kami menunggu lama!"
Ternyata Lina juga termasuk dalam kelompok belajarnya.
Hal itu membuat ku sedikit lega.
Dari yang aku amati, Lina adalah tipe orang yang serius saat belajar.
Apalagi dia sangat aktif dalam pembelajaran, seperti bertanya saat tidak mengerti, menjawab pertanyaan dari Pak Smith dan jawabannya hampir selalu benar.
Bahkan aku tidak mengerti kenapa orang sepertinya bisa berada di kelas E.
Disini aku juga melihat Cika, Danna, lalu satu lelaki yang tidak kukenal.
Aku yakin kalau dia memang sekelas denganku, tapi aku tidak mengenalnya dengan baik.
Aku jadi semakin lega karena orang itu tidak ikut bergabung dalam kelompok belajar ini.
Itu berarti Fisa tidak akan terancam jika berada disini.
"Oh, Fisa! Tidak masalah, kami juga baru datang."
"Apa boleh kami ikut bergabung?"
"Kau memang boleh, Fisa ... tapi kenapa kau mengajaknya juga?"
"Maksud mu Satomi?"
Yah, sepertinya aku tidak diharapkan oleh Lina.
Dia memang menyelamatkan ku saat sedang dihukum oleh Pak Smith beberapa hari yang lalu, tapi kurasa dia hanya ingin menjawabnya saja dan tidak berniat untuk menyelamatkan ku.
"Ya, memang dia. Aku akan sangat kesulitan jika harus mengajari orang bodoh seperti dirinya."
"Kau tid-..."
"Maaf jika aku mengganggu kalian! Tugasku hanya mengantar Fisa kesini, jadi aku akan pergi karena tugasku sudah selesai."
Aku dapat melihat ekspresi kesal dari wajah Fisa, jadi aku menyela perkataannya sebelum dia berbicara lebih jauh.
"Tidak ... jangan pergi, Satomi!
"Perkataan Lina memang benar. Aku hanya akan mengganggu kalian jika berada disini."
Saat aku hendak beranjak pergi meninggalkan mereka, tiba-tiba badanku dipeluk dari belakang.
Tentu saja aku tahu kalau orang itu adalah Fisa.
"Kumohon jangan pergi!"
Aku dapat mendengar suaranya yang hampir tenggelam itu.
Lagi-lagi, aku dapat merasakan perasaan yang sama seperti sebelumnya.
Sudah kuduga, aku memang menyukai gadis ini.
Tanpa pikir panjang, aku pun berbalik dan membelai rambut peraknya yang indah ini.
"Baiklah, aku akan ikut bersamamu."
"Terima kasih, Satomi!"
"Kau tidak perlu berterimakasih."
Selesai bermain-main dengan rambut peraknya, aku mendekat menghadapi Lina.
"Lina, aku memang bodoh. Dilihat dari segi manapun, aku memang terlihat bodoh. Tapi,"
Aku tidak ingin apa yang kukatakan terdengar oleh mereka, jadi aku mendekat ke telinganya dan mulai berbisik pelan.
"Kau salah besar. Tanyakan saja ke Danna!"
Selesai dengan itu, aku kembali ke posisi ku semula.
Tentu saja apa yang sudah kulakukan ini mengundang beberapa reaksi dari mereka, termasuk Fisa.
"Hoi, Satomi! Untuk apa orang bodoh sepertimu berada cukup dekat dengan Lina?!"
Danna terlihat kesal dan mulai marah padaku.
"Tenanglah, Danna! Kita sudah dilihat oleh banyak orang."
Lina mulai menenangkannya dan untungnya dia langsung diam.
"Satomi, kenapa? Apa yang kau bisikkan?"
Disisi lain, Fisa juga terlihat kesal.
Eh, kenapa?
Apa dia kesal karena aku terlalu dekat dengan Lina?
Fisa cemburu padaku?
Aku masih tidak tahu untuk saat ini.
"Aku membisikkan suatu hal agar kita bisa bersama disini."
"Oh, jadi begitu?"
"Ya, percayalah. Lina akan memperbolehkan ku bergabung setelah ini."
Karena rasa kesalnya perlahan menghilang, aku pun kembali menghadapi mereka.
"Danna, apa Satomi itu bodoh?"
"Eh? Kenapa bertanya padaku?"
"Jawab saja!"
Lina bertanya pada Danna.
"Entahlah, tapi dia memang agak aneh."
"Agak aneh?"
Jadi aku adalah orang yang agak aneh di dalam pandangan Danna.
Itu bukanlah sebuah masalah, karena aku juga tidak peduli.
"Saat Pak Smith menyuruhnya untuk mengerjakan soal di papan tulis tentang peluang, dia malah salah menjawab, padahal dia mengatakan jawaban yang benar saat aku bertanya padanya."
"Eh, Satomi. Kenapa kau melakukannya?"
Lina yang mendengar cerita Danna mulai bertanya padaku.
"Aku hanya asal jawab, dan secara kebetulan jawaban yang kuberikan pada Danna malah benar."
Aku pun hanya bisa menjawabnya seperti itu.
"Tidak mungkin itu sebuah kebetulan, lagipula 1/26 sangat jauh dengan 100. Jadi kenapa kau menjawabnya dengan salah, Satomi?"
Lina mulai berbicara lagi setelah mendengar jawabanku.
"Aku tidak yakin dengan jawaban itu."
"Baiklah, terserah apa katamu. Kau boleh bergabung asalkan tidak mengganggu kami."
"Benarkah?! Terima kasih, Lina!"
Saat Lina memperbolehkan ku untuk bergabung, Fisa lah yang merasa sangat senang karenanya, sedangkan aku hanya diam.
"Mohon kerjasamanya, kalian berdua!"
"Ya, tolong kerjasamanya juga!"
"Ya."
Kemudian kami pun memulai pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok ini.
Aku telah bergabung dalam kelompok belajar yang berisikan total 6 orang ini.
Lelaki yang tidak kukenal tadi bernama Wijaya, dan dia adalah tipe orang yang pekerja keras dan pantang menyerah.
Dia juga adalah orang yang ada di dalam kontak Fisa tadi.
Sekarang aku sudah mengenal semua orang yang ada di dalam kelompok belajar ini.
Lina, Danna, Cika, Wijaya, Fisa, dan yang terakhir adalah aku sendiri.
Selama beberapa hari, kami terus banyak belajar untuk mempersiapkan ujian akademis yang akan dijalani Minggu depan.
Tempat kami berkumpul untuk belajar tetap sama, yaitu di H's Cafetaria.
Bahkan saat hari libur pun, kami masih belajar selama beberapa jam agar tidak mengalami kegagalan saat ujian nanti.