Korban perceraian kedua orang tua membuatnya menjadi sosok yang tertutup dan dingin. Setelah kepergian orang tuanya ia juga mendapatkan cobaan yang bertubi-tubi. Bagaimana dia terus hidup sampai saat ini? Bagaimana caranya? Cobaan bertubi-tubi dalam kehidupan ia alami seorang diri dan membuatnya enggan untuk membuka hati untuk perempuan lain. Masih terukir di hatinya Adelia yang meninggalkannya. Bagaimana kehidupan seorang? Menyerah? Putus asa? Atau justru bunuh diri untuk mengikuti gadis yang ada di hatinya.
Lelaki bertubuh tinggi atletis sedang berdiri di balkon kedua sikunya bertumpu pada besi balkon dengan tatapan kosong. Laki-laki itu terlihat murung hari ini. Ralat, bukan hanya hari ini. Namun sudah hampir 3 tahun laki-laki itu murung, sehingga wajahnya terlihat menyeramkan namun masih terlihat tampan.
Lelaki berumur 17 tahun itu merogoh saku celananya, mengambil rokok yang tadi ia beli. Walaupun laki-laki itu sering merokok, namun bibir tipisnya masih terlihat pink cerah.
Ponselnya bergetar di saku celananya, ia langsung tersadar.
Papa is calling...
"Alan."
"Ya" singkat Alan, Arsalan Fidelyo.
"Papa mau kamu besok ke kantor papa nak" ucap Adam Fidelyo-papa dari Arsalan Fidelyo.
"Papa masih pikirin soal bisnis sialan itu? Soal mama? Papa bahkan nggak pernah peduli!" Ketus Alan, ia sudah berkali-kali menolak untuk melanjutkan perusahaan yang sedang di jalani Adam, namun Adam tetap saja memaksa.
"Kamu itu anak satu-satunya papa, dan hanya kamu yang bisa Lan, tolong papa nak." lelaki Paruh baya itu memohon agar putra satu-satunya itu bisa mengabulkan permintaannya.
"Alan nggak bisa! Kan ada Ayla" tolak Alan.
"Nak, Ayla itu maunya bukan jadi pengusaha kaya papa. Cuma kamu harapan papa satu-satunya." Jelas Adam.
"Papa selalu nurutin permintaan anak manja itu. Tapi buat nurutin permintaan Alan aja nggak bisa!" Ketus Alan.
"Tapi Lan-" belum selesai Adam bicara, Alan langsung menutup teleponnya. Ia sudah muak dengan permintaan Adam, biarkan saja jika perusahaan itu bangkrut. Alan tidak peduli.
Ia mematikan rokoknya, dan menaruhnya di asbak. Kemudian ia masuk kedalam kamar bernuansa hitam dan merebahkan tubuhnya.
Menatap langit-langit kamar dengan sendu, ia memijat keningnya. Banyak beban yang ia rasakan beberapa tahun terakhir. Ia tidak seperti remaja lainnya, ia seperti orang dewasa yang sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya.
Ia mulai memejamkan matanya agar ia bisa menenangkan pikirannya.
***
Alan masih asyik dalam tidur nyenyaknya, ia memiringkan tubuhnya menghadap jendela. Cahaya matahari pagi memasuki celah-celah jendela, gorden sudah di buka oleh bi sumi, asisten rumah tangga di rumah megah Alan.
"Den bangun, den Alan kan mau sekolah." bi sumi menggoncang tubuh Alan agar terbangun.
"Aduh bi nanti aja." mata Alan masih terpejam. Memang laki-laki itu susah di bangunkan.
"Sudah jam 7 den, teman den Alan sudah datang." kemudian Bu Sumi pergi, ia tau jika teman-temannya sudah datang pasti Alan akan bangun.
Alan mengucek matanya, menyesuaikan cahaya matahari.
Motor CBR 250R berwarna merah memasuki gerbang sekolah SMA Cendrawasih diikuti oleh 2 motor sport hitam dibelakangnya.
Mereka berjalan santai, Alan melirik jam ditangannya. 07.34.
"Kita bakal terlambat nih, geografi lagi ntar kena omel." gerutu Lio Adelio Adnan.
"Bacot biasanya aja kita telat terus" Ucap Rai sambil menoyor Lio.
"Anjing lo ngapa toyor gue sih!" Ucap Lio kesal.
"Udah jadi hobi gue." Rai tertawa jail.
"Hobi apaan nggak guna." sinis Lio.
"Kalian tuh ya nggak ada akur-akurnya. Ini masih pagi udah berisik!" Celetuk Gibran yang berjalan beriringan dengan Alan di depan.
Lio dan Rai hanya cengengesan, mereka tidak bisa berkutik jika Gibran sudah menegurnya.
Sedangkan Alan, hanya menggelengkan kepalanya, melihat kelakuan temanya itu.
"WELCOME TO CLASS ELEVEN IPS TWO" Itulah papan yang tertempel pada pintu kelas IPS 2.
Tanpa basa-basi Gibran langsung membuka pintu, menampakkan guru sedang mengajar dan murid-muridnya sedang fokus belajar.
"Kalian ini kenapa setiap hari terlambat terus!" Ujar Bu lita geram.
"Maaf Bu kami kesiangan." balas Gibran memelas.
"Kalian saya hukum lari 50 putaran. SEKARANG!"
"Bu jangan dong, kan kesini buat belajar bukan buat lari-lari. Kalo lari sih di rumah juga bisa kali, Bu" ucap Lio santai.
"Sekarang atau nambah 100 kali!" Tegas Bu Lita, ia memang sudah biasa menghukum mereka.
Tidak bisa berkutik lagi, mereka langsung menuju lapangan. Beruntung lapangan sepi, jika ada kelas yang sedang berolahraga. Bisa-bisa mereka jadi
tontonan.
Mereka meletakkan tasnya di kursi samping lapangan.
"Bener nih kita mau lari, gue tadi sarapan banyak." keluh Rai.
"Justru lo udah sarapan jadi nggak pingsan bego!" Balas Lio.
"Bukan gitu lo tuh yang bego, kalo udah makan banyak terus lari jadi sakit perut gue tolol" jelas Rai.
"Lari tinggal lari bacot mulu lo berdua!" Celetuk Alan, kemudian ia lari mendahului mereka.
"Tukan kita jadi ditinggalin!" Gerutu Gibran.
"Lo sih!" Lio menyalahkan Rai.
"Apaan lo juga bego" Rai tidak mau kalah dengan Lio.
"Kalo kalian debat Mulu, hukumannya ngga akan selesai-selesai!" Lerai Gibran. Kemudian mereka memutuskan untuk menjalani tugasnya.
***
Kring...
Kring...
Kringgggg...
Semua murid berhamburan keluar, karena bel istirahat sudah berbunyi.
Sedangkan Alan, Gibran, Lio dan Rai duduk di pinggir lapangan. Mereka baru menyelesaikan tugasnya.
Semua murid menatap ke arah lapangan, melihat 4 lelaki tampan sedang duduk di sana. Rata-rata siswi SMA Cendrawasih mengagumi lelaki itu, bagaimana tidak mereka adalah most wanted sekaligus deretan orang-orang tajir.
Siswi-siswi itu kemudian berbondong-bondong ke pinggir lapangan basket sambil membawa minuman ditangan mereka. Ada juga yang
sudah menyiapkan handuk kecil, dan Snack ringan untuk mengambil hati cowok-cowok itu.
Lio, Rai dan Gibran menerimanya dengan senang hati. Sedangkan Alan membawa minum agar bisa menolak pemberian mereka. Jadi banyak yang kapok karena di tolak oleh Alan.
Setelah memberi minuman siswi-siswi itu langsung meninggalkan mereka.
"Beruntung jadi orang ganteng, nggak usah repot-repot lagi buat jalan beli minum." Lio
meminumnya dengan cepat, ia benar-benar
haus.
"Lo nya aja yang pengen gratisan mulu. Ngga ada akhlak!" Celetuk Gibran.
"Ngga peduli yang penting haus gue ilang, ya ngga Lan." Lio menyikut Alan.
"Dasar tolol. Si Alan kan bawa minum sendiri bego!" Lagi-lagi Rai menoyor Lio.
"Lo kok hobi banget toyor gue sih!" Gerutu Lio, ia tidak terima dengan perlakuan sahabatnya itu.
"Udah diem kalian itu bisanya cuma ribut mulu!" Gibran tak habis pikir dengan kedua sahabatnya itu, setiap hari selalu adu mulut.
Alan tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan ketiga sahabatnya.
"Lan mau kemana?" Teriak Gibran, ia langsung bangkit dan mengejar Alan.
"Yah gara-gara lo sih jadi ditinggal!" Lio menyalahkan Rai.
"Apaan orang gara-gara lo!" Setelah mengucap itu, Rai langsung pergi menyusul kedua sahabatnya.
"Yah kok jadi gue yang ditinggal!" Gerutu Lio, ia langsung menyusul sahabatnya.
***
Alan membuka knop pintu ruang rawat Ayu-ibunya.
Bau obat-obatan menyeruak ke dalam Indra penciuman Alan.
Alan berjalan pelan menuju ranjang Ayu. Terlihat perempuan paruh baya terbaring lemah, infus dan alat bantu pernafasan terpasang di tubuhnya.
Alan duduk di kursi dekat ranjang Ayu, ia memegang erat tangan ayu.
"Mah, kapan pulih? Alan kangen." laki-laki kekar itu tak bisa menahan air matanya.