Bryana berjalan mondar-mandir di depan meja kerjanya sembari bersendekap dan menggigit kuku jempolnya. Sesekali dia melirik ke arah pintu yang masih tetap tertutup. Janda muda itu gelisah menanti bodyguard nya yang sedang menyusul sekretaris barunya.
"Ke mana dia? Kenapa juga harus mengikuti si Kareen itu? Dia meninggalkan kewajibannya sebagai bodyguard!" Bryana mulai bersungut-sungut sembari melirik pintu.
Karena penasaran, Bryana pun berjalan menuju keluar dari ruang kerjanya. Namun saat membuka pintu, pintu itu malah didorong dari luar oleh seseorang hingga membuatnya terjengkang.
"Awhh!" pekik Bryana sembari menopang tubuhnya dengan kedua tangannya kebelakang.
"Astaga, Jill. Maaf, aku tidak sengaja." Dean terkejut saat melihat Bryana terjengkang di lantai. Dia segera membantu majikannya itu untuk kembali berdiri.
Bryana berdiri kembali dengan tangannya memegangi bokongnya yang terbentur lantai. Dia masih meringis kesakitan menekuk wajahnya, lalu membenarkan rambutnya yang agak berantakan.
Dean terdiam menatap iba pada Bryana. Sedangkan Bryana menatap Dean dengan ketus.
"Dari mana kamu?" tanya Bryana.
"Eh, menemui Kareen," jawab Dean agak gugup.
"Kamu sudah melanggar peraturan, Dean." Bryana berbalik berjalan kembali menuju meja kerjanya. Dia terlihat begitu kesal saat melihat bodyguard nya itu. Selain itu, dia juga malu karena terjengkang di lantai. 'Sialan, bokongku sakit,' batinnya dengan bersungut-sungut sembari mengusap bokongnya.
Dean yang dituduh pun merasa bingung dan melirik Bryana yang sedang berjalan menuju kembali ke meja kerja sembari mengusap bokong. Rasa bingung berubah jadi gemas karena janda muda itu sedang mengusap bokong nya yang sexy.
Bryana mendudukkan dirinya di kursi kebesarannya kemudian melirik Dean yang masih berdiri ditempat sambil menatapinya. "Kenapa berdiri di situ? Ke mari lah!"
"Eh." Dean segera berjalan mendekati Bryana yang tampak ketus padanya. 'Kenapa dia marah? Padahal aku hanya keluar dalam sepuluh menit,' batinnya bertanya-tanya.
"Aku melanggar peraturan apa, Jill?" tanya Dean dengan masih berdiri di seberang meja kerja Bryana.
"Kalau bisa, bertanyalah sambil duduk. Aku sangat lelah dan bosan melihatmu berdiri terus menerus!" Bryana kembali berdecak kesal.
Dean menghela napas, mencoba untuk sabar menghadapi bos cantiknya yang sedang marah. Dia segera mendudukkan dirinya di kursi, berhadapan dengan bosnya itu hingga saling menatap.
"Memangnya, apa karena aku keluar tanpa pamit menyebabkan aku melanggar peraturan?" tanya Dean.
"Tentu saja," jawab Bryana, kemudian menyandarkan bahunya ke kursi kebesarannya. "Seorang bodyguard tidak boleh meninggalkan majikan tanpa meminta izin."
"Maaf, Jill. Aku tidak bermaksud melanggar peraturan, tapi tadi itu aku ... aku sangat penasaran dengan Kareen," jelas Dean dengan gusar.
Bryana mengangguk paham sembari memegangi pulpen mahal yang selalu dibawanya ke mana-mana saat bekerja. "Memangnya kenapa dia?" tanyanya kemudian dengan tatapan menyelidik pada Dean.
"Tidak apa-apa. Aku kira kamu tidak menerima nya sebagai karyawan di sini," jawab Dean dengan menyandarkan bahunya pada punggung kursi.
Bryana menghela napas, merasa malas membahas tentang Kareen terus menerus. Dia masih kesal pada Dean dan merasa harus menghukum nya. Wait, dia kesal karena apa? Cemburu kah? Entahlah, yang pasti dia sangat tidak suka jika bodyguard itu berdekatan dengan sekretaris barunya.
"Aku menjadikan nya sebagai sekretaris," ucap Bryana sembari kembali mendekatkan tubuhnya pada meja dan mengambil ponselnya yang terletak di meja itu.
"Terima kasih sudah menerima nya," ucap Dean dengan tersenyum hangat.
Perkataan Dean malah semakin membuat Bryan kebakaran jenggot. 'Kenapa, kenapa berterimakasih untuknya? Memangnya dia siapa?'
Bryana mengabaikan Dean dengan memainkan ponselnya. Dan yang diabaikan pun akhirnya beranjak dari kursi, dia hendak kembali berdiri di depan pintu.
"Mau ke mana?" tanya Bryana dengan mengerutkan keningnya.
"Ke sana," jawab Dean sembari menunjuk ke arah pintu.
"Huh, apa kamu tidak lelah jika berdiri di sana terus menerus?" tanya Bryana dengan bersungut-sungut. "Lebih baik buatkan aku dua gelas cokelat panas."
"Kenapa tidak minta buatkan OB?' tanya Dean, karena tugas nya adalah menjaga Bryana.
"Karena aku ingin kamu yang membuatnya," jawab Bryana kemudian kembali mendekatkan posisi duduknya ke meja dan dia fokus menatap laptop nya yang masih menyala menampilkan sebuah dokumen. "Sana buatkan. Aku beri waktu lima menit," lanjutnya tanpa menatap Dean.
"Baiklah, aku akan membuatnya," ucap Dean kemudian berjalan keluar ruangan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ih, kenapa dia? Berkutu kah?
'Kenapa dia marah padaku? Apa karena Kareen, apa dia cemburu? Tidak mungkin, tidak mungkin dia cemburu hanya karena bodyguard seperti ku!' Dean berkata dalam hati, sesekali dia kembali menoleh menatap Bryana dari kejauhan sedang fokus menatap laptop.
Bryana terkekeh geli menyembunyikan wajahnya dengan monitor laptop. Dia melirik Dean yang berjalan menuju pintu dengan ekspresi bingung. 'Salahmu berani mengejar gadis lain, karena mulai hari ini kamu harus memperioritas dirimu hanya untukku,' batinnya.
Bryana sudah memutuskan dan akan nekat membuat Dean bertekuk lutut kepadanya, karena dia merasa telah jatuh cinta pada bodyguard nya Itu. Andai dia mengetahui bahwa Dean juga menyukainya, pastilah hatinya bersorak bahagia.
___
Louis dan juga Lauren sedang memakan camilan sembari menikmati caffee latte buatan Lauren. Mereka berbincang bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing sambil mengawasi Calvin yang sedang bermain. Mereka bertiga berada di ruangan khusus bermain yang memang tersedia di rumah mewah milik Bryana. Ruangan yang didominasi dengan warna biru dongker itu dilengkapi oleh berbagai jenis mainan sedari ukuran kecil hingga besar.
"Sudah berapa lama kamu mengasuh Calvin?" tanya Louis.
"Sekitar empat tahun," jawab Lauren dengan santai sembari memakan snack yang telah disediakan oleh Bryana di ruangan bermain itu. Hem, berarti Calvin tidak perlu beli jajan ke warung.
"Memangnya, berapa usiamu?" tanya Louis bermaksud mencari kebenaran dari apa yang sudah menjadi pertanyaan nya selama ini.
"24 tahun," singkat Lauren.
Louis yang sedang meminum caffee latte pun segera menghentikan aktifitas minimnya dan menoleh menatap Lauren dengan ekspresi terkejut.
"24 tahun?" Louis memastikan.
"Hahaha ...!" Lauren malah tertawa sembari menunjuk ke arah bibir Louis yang putih pada bagian atas karena sisa creamer masih menempel.
"Eh, kenapa malah tertawa? Apa ada yang salah denganku?" Louis menatap heran pada Lauren yang sedang terkekeh.
Ekspresi Louis malah semakin membuat Lauren tertawa terbahak-bahak hingga merasa sesak pada bagian perutnya.
Louis menghela napas. "Lauren, kamu kenapa mentertawakan aku?"
Lauren pun mencoba untuk berhenti tertawa kemudian mengambil tisu yang ada di meja dan segera mengusap bibir Louis yang masih terdapat creamer tebal. "Kamu lucu sekali."
"Hem, aku kira apa." Louis tersenyum malu-malu pada Lauren yang juga tersenyum padanya. Mata mereka saling menatap untuk beberapa saat hingga teralihkan oleh tangisan Calvin.
"Calvin!" Lauren segera beranjak dari sofa dan bergegas menghampiri Calvin yang terjatuh dari kuda-kudaan. Begitu pula Louis yang juga menghampiri putra majikannya itu.
"Sakit!" rengek Calvin dalam isak tangisnya.
Louis langsung menggendong Calvin dan mengajarinya menuju sofa sambil diikuti oleh Lauren yang tampak khawatir. Tentu saja dia khawatir, karena jika putra majikannya itu lecet, dia pasti kena semprot.
"Apa ada yang terluka?" tanya Lauren sembari memeriksa lengan dan kaki Calvin yang sedang dipangku Louis.
"Tidak, tidak apa-apa, dia hanya terbentur lantai saja, tidak sampai lecet," jelas Louis sembari melirik Lauren yang tampak ketakutan.
'Dia seperti seorang ibu yang khawatir pada anaknya sendiri. Itu berarti dia memang gadis yang baik dan pantas dilamar jadi istri. Apalagi usianya masih muda' batin Louis dengan tersenyum hangat. Ah, sepertinya dia juga akan jatuh cinta seperti Dean dan Bryana.