***
Hari ini tanggal dua puluh maret. Jiyong baru saja selesai menghadiri acara fashion show di Paris. Di acara itu, ia bertemu Jessica Jung, salah satu tamu undangan, sama sepertinya. "Ku dengar kau punya dua adik," ucap Jiyong, di tengah-tengah obrolan mereka selepas acara. Sebenarnya mereka berdiri bergerombol, menunggu satu persatu mobil mereka datang, namun malam itu kebetulan saja Jessica berdiri di sebelah Jiyong.
"Ya. Krystal dan Lalisa, kenapa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya tidak pernah bertemu Lalisa, siapa yang paling muda?" tanya Jiyong, sangat santai seolah mereka adalah teman lama yang sebelumnya tidak saling kenal.
"Lalisa, tapi orang-orang selalu menganggapku si bungsu,"
"Wah... Itu sedikit sulit di percaya," komentar Jiyong. "Adik bungsumu juga idol? Atau akan jadi idol seperti dua kakaknya?"
"Tidak, sekarang dia kuliah. Dia hanya akan melalukan apapun yang dia inginkan. Aku senang karena dia tidak punya beban dan bisa menikmati masa mudanya dengan bahagia. Dia tidak perlu tersiksa di agensi sebagai anak pelatihan,"
"Wahh... Dia pasti sangat beruntung karena bisa hidup senyaman itu," balas Jiyong yang kemudian berpamitan karena mobil dan managernya sudah datang terlebih dahulu.
Di mobil, Jiyong bertanya-tanya ada berapa banyak orang yang punya nama Lalisa Jung. Ia masih memikirkan si pengirim surat kaleng walaupun beberapa hari sudah berlalu. "Hyung, pasti ada banyak gadis bernama Lalisa Jung kan di dunia ini?" tanya Jiyong, sekedar mengungkapkan rasa yang mengganggu pikirannya.
Dua puluh hari lalu adalah kali pertama Jiyong membaca pesan bunuh diri. Membaca surat itu menjadi pengalaman yang menarik baginya walaupun isi suratnya tidak benar-benar menyedihkan seperti kasus perpeloncoan atau kasus pelecehan yang kadang muncul di TV. Menurut Jiyong, itu menarik, karena ia pikir hanya orang-orang yang dirundung, atau orang-orang yang dilecehkan yang ingin bunuh diri.
Pada akhirnya, begitu ia sampai di hotel, Jiyong menelepon nomor yang ada di suratnya. Pria itu menunggu sampai dering kelima sampai akhirnya panggilan itu di jawab.
"Halo? Jiyong oppa?" tanya gadis yang baru saja menjawab panggilannya.
"Kau mengenalku?" tanya Jiyong, yang kembali melihat layar handphonenya– memastikan kalau ia tidak salah menekan nomor telepon.
"Ya, disini tertulis namamu– Kwon Jiyong. Mungkin Sica eonni menyimpannya saat dia meminjam handphoneku untuk menghubungimu. Kenapa oppa meneleponku? Mencari Sica eonni? Dia sedang pergi ke Paris, telepon saja," jawab Lisa. Suaranya tidak terdengar seperti seorang gadis yang sedang merasa sangat tertekan seperti dalam suratnya.
"Sebenarnya aku berfikir kalau kau adalah Lalisa Jung yang lain," ucap Jiyong kemudian– yang lantas mengatakan kalau ia menemukan nomor telepon Lisa di dalam sebuah mantel dari pasar loak. "Syukurlah, kau terdengar baik-baik saja,"
"Mantel? Ah... Ku pikir tidak seorang pun menemukannya," ucap Lisa, kini suaranya terdengar sedikit berbeda. Seperti seorang yang baru saja tertangkap basah setelah melakukan sebuah kesalahan. "Tidak perlu di pikirkan, itu hanya tulisanku saat aku sedang datang bulan. Saat aku sedang merasa sedikit lebih sensitif dari biasanya," jawab Lisa, mencoba terlihat baik-baik saja seperti yang selalu ia lakukan.
"Syukurlah kalau begitu," jawab Jiyong. "Tapi aku jadi merasa lucu menemukan nomor teleponmu disana. Biasanya aku tidak sembarangan menelepon seseorang. Boleh aku menyimpannya? Nomor teleponmu,"
"Boleh saja," balas Lisa. "Aku juga menyimpan nomor teleponmu, walaupun tidak di sengaja," ucapnya sembari terkekeh.
Jiyong ikut terkekeh, lalu ia memberitahu Lisa kalau ia juga ada di Paris sekarang. Jiyong mengatakan pada Lisa kalau ia baru saja berpisah dengan Jessica beberapa menit yang lalu.
"Lisa, boleh aku memanggilmu begitu?"
"Tentu, tapi kenapa bertanya? Apa yang salah dengan memanggil namaku?"
"Tidak, bukan begitu. Jessica memanggilmu Lalisa..."
"Kalian membicarakanku?" tanya Lisa dan Jiyong mengiyakannya. "Dia bilang dia punya dua adik, Krystal dan Lalisa tapi orang-orang selalu menganggapnya si bungsu," cerita Jiyong, tanpa mengatakan apapun mengenai pendapat Jessica tentang hidup Lisa. Tidak semua orang memiliki pendapat yang sama mengenai kehidupan. Sebagian iri dan sebagian lainnya kasihan. Sebagian peduli dan sebagian lainnya sama sekali tidak mau tahu.
"Ah... Sica eonni memang selalu mengatakan itu," balas Lisa, tidak terlalu terkejut dengan apa yang Jiyong katakan barusan. "Tapi oppa, karena kau meneleponku setelah membaca tulisanku di mantel, bisakah kau benar-benar membantuku?"
"Tentu, apa yang bisa ku bantu?"
"Tolong lupakan surat itu, seolah-olah kau tidak pernah membacanya," pinta Lisa. "Aku malu, karena kau mengenalku, juga keluargaku."
***