webnovel

8

***

Tanpa sadar, setelah kemarin malam Jiyong menelepon Lisa dan sekedar berkenalan dengannya, malam ini Jiyong menelepon Lisa lagi. Mungkin Jiyong khawatir, karena sekarang ia mengenal gadis yang sempat ingin bunuh diri itu. Ia juga khawatir, karena ia mengenal keluarga– setidaknya ia kenal Jessica– si gadis yang tertekan itu. Satu hal yang Jiyong yakini, kalau Lisa memang hanya main-main dengan keinginannya, ia tidak akan menulis surat mantel itu. Kalau Lisa hanya main-main dengan keinginannya, ia akan mengunggah surat itu di akun pribadinya kemudian mendapatkan banyak bantuan dari jutaan orang yang membacanya. Atau justru ejekan karena kekhawatiran Lisa sama sekali tidak berdasar dan sulit dimengerti orang lain.

"Baru saja aku melihat akun Instagrammu," ucap Jiyong setelah Lisa menjawab panggilannya. "Ternyata aku sering melihat fotomu di beberapa restoran daerah Itaewon. Kau juga punya banyak pengikut,"

"Tidak sebanyak milikmu. Mereka mengikuti akunku karena ingin melihat harmonisnya keluarga Jung," jawab Lisa tidak begitu tertarik dengan topik yang Jiyong bicarakan.

"Tapi tidak ada foto keluarga Jung lainnya disana, hanya fotomu dan apa yang kau lakukan," jawab Jiyong. "Aku mengikuti akunmu, bisakah kau mengikuti akunku juga?"

"Peaceminusone?" tanya Lisa dan Jiyong segera mengiyakannya. "Ku pikir akunmu xxxibgdrn,"

"Itu akun untuk publik, tidak ada privasi disana," jawab Jiyong seadanya. "Aku tidak bisa menulis komentar dengan akun itu. Tapi jangan menyuruhku menyukai semua fotomu. Aku hanya menyukai apa yang kusukai,"

"Aku bahkan belum mengatakan apapun," komentar Lisa yang lantas terkekeh karena melihat komentar dari akun peaceminusone di notifikasinya.

Jiyong menulis– Kau punya selera yang bagus dalam memilih sepatu– dalam kolom komentar foto Lisa dengan sepatu Para Noisenya.

"Sebenarnya aku lebih suka sepatu Nike dengan ceklis kuning, tapi Sica eonni bilang aku tidak bisa mendapatkannya. Dia bilang itu hanya untuk teman-teman dekat G Dragon dan dia bukan salah satu diantara mereka," ucap Lisa setelah ia membaca komentar Jiyong itu. Kali ini Jiyong yang tertawa. Pria itu lantas menanyakan ukuran kaki Lisa– seolah ia ingin memberikan apa yang Lisa inginkan itu.

"Wah... Kecil sekali kakimu, sayang sekali sepatuku akan kebesaran untukmu," ucap Jiyong kemudian.

Jiyong bilang sepatu dengan ceklis kuning itu hanya ada satu sekarang, hanya miliknya karena sepatu lainnya sudah ia berikan pada keluarga dan teman-teman dekatnya. Lisa mengiyakannya, ia terkekeh seolah tidak tahu kalau Jiyong mengatakan itu hanya untuk sopan santun belaka. Mereka tidak cukup dekat untuk bisa disebut keluarga atau teman dekat, jadi Lisa tidak akan pernah menerima sepatu ber-ceklis kuning itu.

Lisa tidak tersinggung, ia justru bersyukur karena Jiyong tidak menanggapi ucapannya dengan serius. Karena Jiyong tidak terdengar gagap dan bingung saat bicara padanya. Kesan santai yang Jiyong gambarkan melalui suaranya, dapat membuat Lisa percaya kalau Jiyong benar-benar sudah melupakan suratnya– walau itu sebenarnya tidak mungkin.

"Sebagai gantinya, bagaimana kalau aku membelikanmu suvenir dari Paris?"

"Ya?"

"Terlalu canggung ya? Karena kita baru mulai berkenalan kemarin?"

Lisa terkekeh, bukan karena ucapan Jiyong terdengar lucu di telinganya. Tapi karena ia ingin mengiyakan pertanyaan pria itu, namun merasa sedikit sungkan, khawatir akan melukai perasaan Jiyong.

"Kalau begitu lupakan saja," ucap Jiyong diselingi dengan beberapa tawa. "Minta saja gantungan kunci menara Eiffel dari kakakmu," susul Jiyong yang baru kali ini terdengar lucu di telinga Lisa. Gadis itu tertawa.

Keduanya kembali berbincang, menghabiskan beberapa menit dari waktu istirahat Jiyong untuk berbicara di telepon. Setelah malam itu, Jiyong mulai sering mengirim pesan atau menelepon Lisa. Jiyong menghubungi Lisa secara berkala, seolah ingin terus memastikan kalau gadis itu tidak diam-diam hancur sendirian.

***

次の章へ