webnovel

#Pembunuh #035

Arata Baswara duduk di kursi belakang dengan kaki keluar dari tepi mobil pribadinya. Hazima Emi duduk di samping kursi kemudi yang kosong. Si sopir tidak ada. Mungkin Arata Baswara telah mengutusnya untuk melakukan sesuatu, pikir Emi.

Adiwangsa berdiri di depan Arata dengan gaya istirahat di tempat tapi dengan posisi kaki yang asal-asalan. Berat tubuhnya ditumpu ke kaki kiri, sementara tangannya disembunyikan di belakang punggung.

"Apa kamu tidak tahu?"

"Apa?!" sengit Adiwangsa sama sekali tidak menunjukkan persahabatan.

Menyadari cara berdirinya yang sama sekali tidak keren, Adiwangsa mengubah posisi tubuhnya. Tangan yang sebelumnya ada di belakang dilipat di depan dada. Dagunya terangkat dengan angkuh. Hanya posisi kakinya yang masih sama, masih terlalu santai.

"Yang sebenarnya terjadi pada Profesor Rekson."

Adiwangsa menaikkan sebelah alisnya tapi sikap tubuhnya sama sekali tidak berubah. Tetap angkuh, seolah sedang menantang setiap orang yang berbicara dengannya.

"Saat Haidee di sana, seseorang yang lain telah berada di sana lebih dulu. Orang itu bersembunyi di antara rak buku. Profesor sengaja menemaramkan pencahayaan agar keberadaan orang itu tidak mencolok. Profesor bersedia bekerja sama artinya hanya dua kemungkinan; pertama Profesor mengenal orang itu, kedua ada pembahasan menarik yang belum selesai."

Arata Baswara mendengarkan. Ia tidak berencana memotong atau membuat Adiwangsa berhenti berbicara. Diam-diam ia menyayangkan keberadaan Adiwangsa yang berdiri di pihak yang berlawanan dengan dirinya.

"Setelah Haidee pergi," Adiwangsa masih berbicara "Mereka melanjutkan lagi pembahasan yang sempat terhenti. Mungkin orang itu tengah menceritakan kronologi kematian pria yang telah membuat keluarga Profesor terbunuh maka dari itu Profesor tertarik. Orang itu membuktikan ceritanya dengan foto. Profesor bukan orang yang mudah percaya pada orang lain, jadi ia pasti sudah memeriksa sendiri kebenaran berita itu."

Saat menjemput Haidee dari kantor polisi, Adiwangsa telah memeriksa sendiri berita mengenai kematian pria yang telah membuat keluarga Profesor terbunuh dalam kecelakaan. Pria itu masih berada di negaranya ketika dibunuh. Pembunuhan terjadi pada malam hari. Ditusuk berkali-kali dengan menggunakan pisau dapur. Polisi setempat telah menangkap pelaku dan menjelaskan di depan media bahwa pembunuhan dilakukan atas motif dendam.

"Orang itu juga yang memaksa Profesor bunuh diri. Karena pelaku yang membuat keluarganya terbunuh sudah tidak ada lagi di dunia ini, jadi seharusnya tidak ada hal yang membuat hatinya tidak rela."

Adiwangsa berbicara dengan cepat seolah telah menghafalkan teks sejak beberapa hari yang lalu. Ia hanya menarik napas sekali. Di kalimat lain yang cukup panjang, ia bahkan tidak menarik napas sama sekali. Sedang menyombong, memamerkan kegeniusan otaknya.

"Jadi pembunuhnya?"

"Pembunuh?" Adiwangsa mengulang.

Mengatakan analisanya panjang lebar, pada akhirnya Adiwangsa tidak bisa menemukan inti terpenting dari kasus. Pelaku. Tanpa bisa menemukan pelaku, kata-kata panjang lebarnya, kesombongannya, hanya akan dianggap omong kosong.

"Orang yang memaksa Profesor bunuh diri" Arata Baswara memperjelas maksudnya "Bukannya keluargamu sangat familier dengan cara membunuh menggunakan metode yang sama?"

Adiwangsa mengubah posisi tubuh, cara berdiri, posisi tangan, dan tatapannya. Ia tidak suka mendengar kalimat yang baru saja Arata ucapkan. Ia bersumpah, kalau pria itu menyebutkan hal buruk mengenai ibunya, ia akan menerjang pria itu dan menghajarnya.

"Bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Meski tahu Adiwangsa marah dan tidak suka, Arata tetap melanjutkan kalimatnya. Sengaja memprovokasi.

Adiwangsa akan maju untuk menarik kerah baju Arata, memberinya peringatan, tapi tahu-tahu Emi sudah berada di sampingnya. Menahan langkahnya. Adiwangsa bahkan tidak bisa melihat saat Emi turun dari mobil. Gerakannya sama sekali tidak bersuara. Jangan-jangan Emi memiliki kemampuan tersembunyi untuk berteleportasi.

Adiwangsa melirik Emi penuh tanya dari sudut matanya.

"Bicara omong kosong seperti itu seperti bukan khas Arata Baswara yang santun. Kenapa? Sedang terdesak? Tidak bisa menemukan cara lain?" ejek Adiwangsa.

"Kamu tidak tahu? Benar-benar tidak tahu?" Arata tersenyum licik. Semakin dilihat, semakin Adiwangsa tidak menyukai pria itu. "Orang itu bahkan berhasil memprovokasi orang lain untuk membunuh orang yang paling Profesor benci. Membunuh tanpa mengotori tangan sendiri, bukannya benar-benar sesuatu?"

Kening Adiwangsa berkerut semakin dalam. Ia tidak sanggup lagi mendengar omong kosong Arata lebih dari ini. Untuk bisa menghajar Arata, pertama-tama Adiwangsa harus mengalahkan Emi. Mengalahkan memang tidak mungkin, tapi ia bukan seorang pecundang yang akan mengaku kalah sebelum mencoba.

Memukul wanita berarti menyakiti ibu sendiri adalah prinsip yang Adiwangsa pegang teguh. Karena Hazima Emi sama sekali tidak ia anggap sebagai wanita, jadi menyerang wanita itu tidak akan melanggar prinsip hidupnya.

Dengan berpikir seperti itu, Adiwangsa mengambil inisiatif untuk menyerang Emi lebih dulu. Ia akan membuat Emi menjauh dari Arata, kemudian menerjang pria itu dan menghajarnya.

Sayangnya rencananya tidak berjalan sesuai keinginannya. Emi bisa menangkis semua serangan Adiwangsa dan melakukan serangan balasan dengan memukul telak dadanya. Adiwangsa terdorong ke belakang hingga lima langkah.

Meski Emi adalah wanita yang tidak ingin ia akui kewanitaannya, mereka benar-benar berada di tingkat yang berbeda. Bahkan saat pertama kali melawan Mark saja, Adiwangsa berhasil menghindar 3 kali serangan, tapi dengan Emi sama sekali tidak bisa.

Di kubu Haidee ada Mark, tapi Adiwangsa bahkan ragu Mark dapat mengalahkan Emi. Jika mereka berlima menggabungkan kekuatan dan mengeroyok seorang wanita yang jauh lebih muda –mendengarnya saja membuat malu, menjatuhkan harga diri seluruh pria di dunia, tapi bahkan dengan seperti itu Adiwangsa tetap tidak tahu apa mereka bisa menang.

Pengalaman hidup yang mengerikan ternyata dapat membuat manusia tumbuh menjadi mengerikan.

"Kamu masih tidak percaya?" Arata masih membual. "Coba pikirkan baik-baik alasan orang itu membunuh Profesor dan target selanjutnya setelah Profesor. Bisa saja aku. Bisa juga Objek 011."

Alasan membunuh Profesor, tentu saja berhubungan dengan proyek Rekayasa Emosi Manusia.

Tunggu!

Mendadak Adiwangsa teringat kata-kata adiknya saat mereka berada dekat dengan rel kereta. Adiwangsa tidak bisa mendengar suaranya, tapi gerakan bibirnya mengatakan kalau ia akan membantu Adiwangsa menyelesaikan sesuatu.

Menyelesaikan apa?

Memaksa orang bunuh diri, memprovoksi orang lain untuk membunuh, kepribadian yang seperti itu sama sekali bukan seperti Adiraja yang ia kenal. Selama beberapa tahun tidak bertemu apa mungkin kepribadian adiknya telah berubah sebanyak itu? Ataukah ia yang sejak awal tidak mengenal kepribadian adiknya dengan baik.

Sudah dua hari sejak mereka berpisah di Game Center, anak itu tidak pernah muncul lagi. Pun menelepon untuk menanyakan kabar.

Game Center – penguntit – memprovokasi orang lain untuk membunuh.

Penguntit saat itu tidak sedang menargetkan dirinya atau Adiraja. Adiwangsa hanya seorang perantara untuk menemukan seseorang yang mereka cari. Sadar sebuah firasat buruk menjalari punggungnya, Adiwangsa mengumpat, dan berlari pergi.

Suara tap-tap sepatu Adiwangsa semakin lama semakin menjauh, semakin menghilang.

"Kenapa Anda mengatakan hal itu?" Emi bertanya setelah Adiwangsa tidak terlihat lagi.

"Meminjam tangannya untuk melindungi Objek. Dengan begitu kita tidak perlu turun tangan sendiri." Arata memeriksa ponselnya. "Objek 011 adalah penelitian yang paling penting. Kita akan mengambilnya kembali jika sudah saatnya."

"Untuk melindungi Objek 011, saya lebih mampu." Emi berkata tanpa ekspresi.

Arata tersenyum. Ia tentu saja tahu dengan pasti kalau yang Emi katakan benar. Ia bahkan percaya meski Emi tidak mengatakannya. "Untuk menghadapi orang itu, Adiwangsa adalah target yang tepat. Bukankah mereka bersaudara?"

"Bukankah karena bersaudara peluang berhasil dan gagalnya menjadi 50:50."

Arata mengangguk. Ia tahu tapi tetap merasa antusias untuk melihat hasilnya. Jika Profesor masih hidup, ia pasti tidak akan menyetujui caranya. Seperti katanya tadi, Objek 011 adalah penelitian paling berharga, sehingga mempertaruhkan 50 persen kegagalan benar-benar berisiko.

Perhitungan yang dilakukan Arata berbeda dengan Profesor. Membuat Adiwangsa dan adiknya berhadapan di depan Objek akan membuat Objek 011 merasakan lebih banyak emosi, belajar lebih banyak hal. Hasil yang diperoleh sebanding dengan risiko yang diambil.

"Apa yang dikatakan Adiwangsa saat memintanya menemuiku? Apa dia menawarkan kerja sama?" Arata berbicara tanpa mengangkat wajahnya dari ponsel.

"Iya."

"Apa jawabanmu? Kamu tidak tertarik?"

Emi menggeleng. "Bahkan tanpa dia, aku bisa melakukannya."

Arata tahu itu benar. Beberapa tahun lalu Emi pernah menghajarnya sampai babak belur, bahunya digigit tapi Emi mendadak berhenti menyerang. Mungkin karena melihat tatapannya yang menyedihkan. Istri dan anak yang melihat keadaannya menjadi panik. Ia bahkan dirawat sampai berhari-hari dan harus mengarang kebohongan kepada orang-orang yang menanyakan keadaannya.

"Kamu masih sering diam-diam mengunjungi ibumu?" Arata membuka topik pembicaraan baru. Emi tidak menjawab. Ia tahu Arata telah mencari tahu dan tahu pasti jawabannya. "Kenapa diam-diam?

Emi terdiam sesaat sebelum menjawab. "Karena aku tidak menderita seperti keinginannya. Karena dia tetap saja menderita meski telah menjualku. Karena aku tidak membunuh orang yang paling dia benci seperti apa yang diharapkannya."

"Kenapa kamu pikir ibumu ingin kamu menderita?" tanya Arata lagi.

Emi tidak menjawab.

"Kenapa kamu pikir semua orang ingin kamu menderita?"

"Karena," Emi akhirnya bersuara "Aku berpikir seperti itu."

###

次の章へ