Setelah meninggalkan basemen, Adiwangsa bertemu dengan Mark yang ada di seberang jalan. Mark segera keluar dari mobil begitu melihat Adiwangsa.
"Dari mana saja? Aku melihat mobil Moissani Sekai dikendarai orang tidak dikenal. Aku sudah menempelkan alat pelacak ke mobil mereka. Kita bisa mengejarnya kapan saja." Mark terdengar bangga dengan inisiatif yang ia lakukan.
"Kita abaikan saja dulu orang itu. Haidee dalam bahaya." Adiwangsa berputar dan naik ke dalam mobil. Ia meletakkan ranselnya di kursi belakang.
"Haidee?!" Mark segera merogoh sakunya dan mengambil ponselnya.
Adiwangsa hanya mengangguk. Ia tidak mengatakan alasannya karena jika ia katakan, artinya ia harus menjelaskan, dan jika ia menjelaskan, artinya ia harus berbicara panjang-lebar. Ia paling malas mendongeng.
Mark terlihat masih menunggu penjelasan, Adiwangsa pun mengalihkan, "Kenapa kamu berada di sini? Bukannya aku bertugas menyelesaikan tugas sendiri?"
"Sial, tidak diangkat!" Mark mengumpat. Ia mengantongi lagi ponselnya dan mereka segera lepas landas ke tempat yang dijanjikan untuk berkumpul.
"Benarkah?" Kali ini Adiwangsa yang mencoba.
"Apa tadi? Kenapa aku bisa di sini?" Mark melanjutkan ke pertanyaan Adiwangsa yang belum ia jawab. "Itu karena aku memiliki firasat kalau tugasmu tidak akan berakhir dengan baik seperti apa yang kamu sombongkan."
"Benarkah?" Adiwangsa menanggapi. Ia mengantongi lagi ponselnya karena Haidee tidak juga mengangkat panggilannya. "Bukan karena Haidee menyuruhmu mengawasiku?"
"Bagian itu adalah alasan kedua."
Mobil melaju dengan aman di jalan yang tidak terlalu ramai. Sesekali Mark menyerobot lampu merah hingga nyaris terjadi kecelakaan dan membuat kacau para pengguna jalan yang lain. Adiwangsa tahu Mark memanfaatkan situasi mereka untuk kebut-kebutan, ekspresi antusias yang ditunjukkan wajahnya tidak bisa ditutupi.
Sebelum sampai, Adiwangsa meminta Mark berhenti di tempat yang sedikit jauh dari tempat pertemuan mereka. Mark akan segera melompat turun dari mobil, tapi Adiwangsa menahannya dan membagi tugas untuk mereka berdua.
Tugas Adiwangsa adalah masuk dan bergabung dengan yang lainnya. Jika bahaya yang menyerang memungkinkan Adiwangsa untuk membantu mereka melarikan diri, ia akan melakukannya dengan cepat. Jika ia tidak sanggup menyelesaikannya sendiri, ia akan memberi aba-aba pada Mark agar menerobos masuk.
Jadi, tugas Mark adalah menunggu aba-aba dari Adiwangsa.
Diberi tugas hanya diam dan menunggu, tentu saja Mark protes. Tugasnya sama sekali tidak seru dan membosankan. Mereka bahkan sempat-sempatnya membuang waktu dengan berdebat. Mark menuding Adiwangsa ingin terlihat keren seorang diri.
Adiwangsa menjelaskan dengan sabar. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Haidee, Hongli, dan Carl sehingga ia tidak boleh membuat perdebatan semakin berlarut-larut. Adiwangsa berbicara dengan tenang.
Tugas Mark tentu saja penting. Pertama, jika ada perangkap dari dalam mereka tidak akan tertangkap sekaligus. Kedua, jika ada penyergapan dari luar Mark bisa memberi peringatan. Terlebih Mark adalah seorang driver yang handal. Dibanding kemampuan mengemudi Adiwangsa, Mark bisa menerobos masuk ke dalam gudang kapan pun.
Mark akhirnya setuju.
Adiwangsa meninggalkan Mark dengan dongkol. Pada hal situasinya mendesak, tapi ia harus tetap menyempatkan diri menjelaskan pada Mark hal sederhana seperti itu. Adiwangsa ragu kalau orang-orang yang Haidee bawa pernah terlibat sebagai tentara bayaran. Mereka terlalu sembrono. Mereka sama sekali tidak mirip prajurit, hanya sekumpulan orang yang suka membuat masalah.
Rumput-rumput tumbuh tinggi di sekitar gudang yang sudah lama tidak digunakan. Adiwangsa bergerak cepat dan semakin cepat saat mendengar suara tembakan. Karena pintu depan tertutup, Adiwangsa berputar untuk menemukan jalan masuk lain.
Gudang adalah sebuah ruangan dengan satu pintu depan yang tinggi. Bagian dalam gudang memiliki langit-langit yang tinggi. Ruangan dalam bertingkat dua. Lantai satu digunakan sebagai tempat penyimpanan, ada banyak kardus dan kotak kayu yang ditumpuk di mana-mana. Lantai dua yang luasnya hanya sepertiga dari luas ruangan keseluruhan terdiri dari beberapa ruangan yang digunakan sebagai tempat beristirahat.
Tidak ada jalan masuk lain. Jendela yang terpasang terlalu tinggi hingga mustahil dijangkau. Satu-satunya cara masuk adalah dari pintu depan. Sekarang Adiwangsa menyesal karena tidak ikut geladi resik untuk memeriksa tempat yang akan mereka gunakan untuk menyekap Moissani Sekai. Adiwangsa menyerahkan tugas itu sepenuhnya pada Haidee. Seandainya malam itu ia ikut pergi memeriksa, ia tidak perlu membuang-buang waktu memutari sekeliling gudang.
Adiwangsa mencoba mendorong pintu. Walau agak berat, tapi pintu bisa terbuka. Tepat saat Adiwangsa akan berlari masuk, sebuah tembakan dilepaskan.
"Sial! Nyaris saja."
Begitu Adiwangsa berhenti mendorong, pintu kembali tertutup dengan suara berdebum.
Adiwangsa mulai berhitung, mempertimbangkan. Setelah cukup yakin dengan hasilnya, ia menarik napas, mendorong pintu dari arah kanan, dan berlari zig-zag ke arah kiri, kemudian melompat dan bersembunyi di balik tumpukan boks kayu dan drum.
Penembak berada di arah kanan bagian atas ruangan, sehingga saat Adiwangsa mendorong pintu sebelah kanan, penembak tidak akan melihat keberadaannya. Ketika berlari zig-zag ke arah kiri, ia berhasil menghindari tembakan yang diarahkan padanya. Satu peluru bahkan melewati ke palanya dengan jarak yang sangat dekat.
Adiwangsa kembali menganalisa situasinya. Menurutnya penembak bukan seorang profesional, tapi jelas dengan persiapan yang matang. Jumlahnya ada dua orang karena sudut datangnya peluru tidak sama.
"Kalian baik-baik saja?" Adiwangsa melihat Haidee dan yang lainnya bersembunyi di balik tumpukan balok kayu di bagian lain yang masih bisa ia lihat.
"Hongli tidak baik!" seru Haidee.
Haidee dan Carl yang menutupi Hongli menyingkir sehingga Adiwangsa bisa melihat pria kurus itu duduk bersandar sembari menekan luka pada bagian pinggangnya. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi keningnya. Hongli berusaha tersenyum tapi Adiwangsa justru merasa kasihan.
Jarak mereka tidak terlalu jauh. Adiwangsa memutuskan untuk bergabung. Ia melompat dan berguling. Sekali lagi sebuah peluru nyaris saja merobek kulitnya. Adiwangsa beruntung karena lawan mereka bukan seorang profesional. Lawan hanya menembak ke segala arah berkali-kali. Tidak sayang membuang-buang peluru jelas menandakan persediaan mereka lebih dari cukup.
Adiwangsa memeriksa keadaan Hongli. Denyut nadinya lemah dan darah terus keluar dari lukanya. Mereka tidak bisa menunggu terlalu lama.
"Haidee, bukannya sudah kuperingatkan untuk mengganti anggota-anggotamu. Jika tidak bisa membantu diri sendiri bagaimana mungkin mereka bisa membantumu," celetuk Adiwangsa.
"Waktu itu kamu hanya mengusulkan mengganti Mark, bukan aku," balas Hongli.
"Kalau begitu aku ralat, ganti saja mereka semua sekaligus," kata Adiwangsa seenaknya.
"Lalu bagaimana dengan tugasmu?" Carl menimpali. "Kenapa datang sendiri? Di mana sanderanya? Jangan bilang kamu juga tidak bisa diandalkan hanya untuk masalah kecil seperti itu."
"Kecil?!" Adiwangsa tidak terima.
Sesuatu yang terjadi di luar prediksi tidak bisa disebut masalah kecil. Ia harus berpacu dengan waktu, berhadapan dengan keamanan lain, berhadapan dengan Hana, dan bertemu monster kecil yang bekerja sebagai asisten Arata Baswara. Adiwangsa tentu saja tidak berniat menceritakan situasi yang dihadapinya. Tidak ada gunanya.
"Mark sudah menempelkan pelacak di mobil Moissani Sekai. Aku ke sini karena nyawa Haidee jauh lebih penting," kata Adiwangsa akhirnya.
"Kalau begitu yang terjadi adalah prestasi Mark. Benar saja dia tidak mempercayaimu." Carl sangat pandai beradu omong kosong. Adiwangsa hanya bisa tutup mulut dan tidak lagi membalas. Ia mengaku kalah.
"Di mana Mark?" Kali ini Haidee yang bersuara.
"Di luar, berjaga-jaga," jawab Adiwangsa. "Kamu tahu siapa dan kenapa mereka menyerang kalian?" Giliran Adiwangsa bertanya.
Haidee menggeleng. "Mereka hanya bilang aku harus bertanggungjawab atas kematian Profesor. Aku sudah jelaskan mereka salah paham, tapi tidak ada gunanya."
"Aku tahu Kun salah satunya. Aku pernah melihatnya sebelum ini."
"Kalau begitu satu orang lagi pasti Lukas. Mereka dua orang yang paling dekat dengan Profesor Rekson." Semua orang yang dekat dengan Profesor Rekson, orang-orang kepercayaannya, dan para peneliti yang terlibat dalam proyek Rekayasa Emosi Manusia, Haidee menghafalnya sehingga bisa berkata dengan yakin.
Adiwangsa mengangguk sependapat. Dua orang kepercayaan Profesor Rekson datang untuk balas dendam pada target yang salah. Adiwangsa tidak tahu bagaimana ia harus menjelaskan. Jika ia berkata jujur adiknya akan berada dalam bahaya. Jika tetap diam, kesalahpahaman yang terjadi tidak akan pernah selesai.
Adiwangsa menghela napas, frustrasi. Ia harus memikirkan cara, Hongli tidak bisa menunggu terlalu lama.
"Kalian tidak seharusnya berada di sini!" Adiwangsa berteriak pada Kun dan Lukas. "Haidee bukan pelakunya."
Hening, tidak ada jawaban.
"Bukankah kalian pikir Profesor terbunuh karena Haidee? Haidee bukan pelakunya!"
"Tidak ada gunanya," Haidee berkata pada Adiwangsa. Suaranya berbisik.
"Kalian boleh tidak percaya padaku. Kalian bisa tanyakan sendiri pada..." Adiwangsa menahan kalimatnya, memutar bola matanya. Menyebutkan nama Arata berarti membongkar rahasia yang tidak ingin ia katakan. "Polisi," katanya melanjutkan.
Haidee mengerutkan kening. Hongli yang kesakitan bahkan sempat-sempatnya tertawa, Carl berdecih mengejek. Kalimat yang baru saja Adiwangsa katakan benar-benar membuat semua orang yang berada di tempat itu mencibir cara kerja otak yang biasanya genius.
Tidak peduli apa yang orang lain pikirkan, Adiwangsa tetap melanjutkan kalimatnya. "Bukannya polisi menyebutkan kejadian itu adalah murni bunuh diri. Jadi jelas tidak ada hubungannya dengan Haidee."
"Zen Adnan!" Kun meneriakkan nama Adiwangsa di masa lalu. "Lebih baik kamu tidak ikut campur. Aku akan membiarkanmu keluar dari sini hidup-hidup."
"Aku hanya tidak ingin kamu merasa bersalah karena membunuh orang yang tidak bersalah!" Adiwangsa menanggapi dengan kalimat yang terdengar seolah dirinya adalah pria baik hati.
Tidak ada tanggapan. Jalur negosiasi jelas tidak berhasil.
Adiwangsa meraba punggungnya. Masih ada satu bom asap bius yang tersisa. Ia sengaja menyiapkan lebih untuk berjaga-jaga. Adiwangsa melihat jam tangannya, menghitung, kemudian mengirim pesan pada Mark.
"Ada sisa berapa peluru di pistolmu?" Kali ini Adiwangsa berbicara pada Carl.
"Dua," jawab Carl "Apa rencanamu?"
"Aku tidak tahu kemampuan menembakmu karena aku tidak pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." Adiwangsa tidak menjawab secara langsung pertanyaan Carl. "Tapi karena Haidee memilihmu, setidaknya kamu pasti memiliki sedikit kemampuan."
Garis vertikal muncul di antara alis Carl. Kata, 'memiliki sedikit kemampuan' jelas melukai harga dirinya sebagai seorang penembak. Selama ia hidup sampai detik ini, ia belum pernah bertemu dengan seseorang yang kemampuan menembaknya lebih baik darinya.
Carl berencana protes, bahkan menantang Adiwangsa untuk duel, untungnya ia cukup tahu diri dengan situasinya. Harga diri adalah segalanya tapi nyawa yang hanya ada satu juga penting. Carl memilih menahan ocehan di ujung bibirnya dan mendengarkan rencana Adiwangsa.
Adiwangsa menjelaskan rencananya dengan singkat dan jelas. Begitu sudah tidak ada lagi yang dipertanyakan dan setiap orang telah mengerti dengan tugasnya, mereka bersiap di tempat masing-masing.
Adiwangsa mengeluarkan asap bius yang ia sembunyikan di belakang punggungnya, Haidee memapah Hongli dan bersiap untuk pergi setelah mendengar aba-aba. Carl menggenggam erat revolvernya.
"Aku akan membuatmu bersujud dan memohon maaf karena mengatai kemampuanku dengan sebutan sedikit." Carl jelas sedang menyindir Adiwangsa, tapi cara bicaranya lebih seperti menyemangati diri sendiri.
Adiwangsa membuka menutup bom asap dan melemparnya dengan sekuat tenaga ke arah lawannya berada. "Sekarang!" Adiwangsa memberi aba-aba pada Carl.
Jarak tempat Adiwangsa berada dan lawannya terpaut terlalu jauh, sekuat apa pun Adiwangsa melempar, tenaganya tidak akan sampai. Bom asap hanya ada satu, jadi tidak boleh terjadi kesalahan. Karena itulah Adiwangsa membutuhkan tembakan Carl untuk memberi tenaga tambahan agar bom asap terdorong ke tempat yang tepat.
Melihat Adiwangsa keluar dari persembunyiannya, membuat kedua lawan berfokus pada Adiwangsa dan menghujaninya dengan tembakan.
Carl keluar dari sisi yang berlawanan dengan Adiwangsa. Sepersekian detik setelah melihat sasarannya, Carl melepaskan tembakan. Posisi tangannya sedikit menyentak agar peluru yang keluar tidak hanya menembus wadah bom asap tapi fungsi tembakan sebagai pemberi dorongan terpenuhi dengan baik.
Setelah menembak ke arah bom asap yang Adiwangsa lempar, Carl membidik musuh yang telah melihatnya dan membidik ke arahnya. Karena sejak awal musuh di sisi kiri tidak mengubah tempatnya, Carl bisa yakin posisi targetnya.
Pada titik ini kemampuan sebagai seorang profesional dan awam terlihat sangat jelas bedanya. Tembakan Carl berhasil mengenai sasaran meski bukan di titik vital karena terhalang dinding tempatnya bersembunyi. Ia mendengar suara orang memekik kesakitan.
"Asap bius, tahan napas!" Suara Kun terdengar memperingatkan rekannya. Ia bisa langsung menebak asap bius apa yang dilempar ke arah mereka begitu melihat warna asap yang sedikit kecokelatan dibanding asap bius lainnya. "Jangan mengecap! Segera meludah!" katanya memberi instruksi tambahan.
Peluru dalam pistol Carl telah habis. Sendainya rencana Adiwangsa gagal, maka tidak akan ada senjata untuk melindungi diri di saat terdesak. Untungnya rencana Adiwangsa berjalan sukses. Bom asap terdorong oleh peluru Carl dan jatuh pada tempat yang seharusnya. Tembakan terakhir Carl pun berhasil melukai salah satu lawannya.
Saat kedua musuh sibuk memikirkan cara bertahan menghadapi asap bius yang masih aktif, Haidee memapah Hongli dan meninggalkan tempat persembunyian mereka. Carl ikut membantu memapah di sisi lainnya.
Di arah pintu keluar, Mark menjemput dengan mobilnya. Ia menginjak pedal gas dan rem bersamaan agar pintu tetap terbuka dan tertahan sampai teman-temannya berhasil keluar.
###