webnovel

DAWN

GLEGAR!!!

Siluet kilat kembali terlihat dari balik jendela kaca pada penthouse Nakula. Guruhnya membuat kaca jendela ikut bergetar ringan. Nakula tak peduli, dia masih fokus pada latihannya.

"Seratus ... seratus satu ...." Nakula menghitung hand stand push upnya.

Sudah beberapa hari ini Nakula giat berlatih bertarung, terutama melatih otot-ototnya. Kekalahannya dari Aska dan Yoris membuatnya sadar bahwa masih banyak werewolf mau pun musuh kuat di luar sana.

Buliran peluh mengalir dari pelipis ke arah dagu, sampai akhirnya menetes membasahi matras latihan.

"Seratus lima puluh." Nakula bangkit pada hitungan ke 150.

Nakula mengelap peluhnya dengan handuk. Tubuhnya yang kekar masih terasa sangat panas, peluh masih terus menetes dari otot-otot tubuhnya yang terbentuk sempurna. Tubuh itu dihiasi beberapa bekas luka yang terlihat tak beraturan.

Nakula menatap hujan dari jendela, hujannya derasa sekali, mungkin akan ada badai.

Langkah Nakula berhenti di depan kulkas, ia memilah-milah isinya dan berakhir pada sebutir buah apel.

GLEGAR ...!

Insting Nakula kembali tergelitik.

"Shit!!" Nakula berhenti menggigit apelnya, ia mengumpat pada dirinya sendiri.

"Jam 1 pagi? Siapa yang melakukan pertarungan pada tengan malam begini?!" Nakula menyambar bajunya.

ooooOoooo

Dominic terkapar pada tepi bebatuan di hulu sungai. Dengan sekuat tenaga ia merangkak naik ke daratan. Batang runcing menancap di perutnya.

"ARRRGGHHH!!!!" Dominic berteriak saat mencabut batang itu keluar dari dalam perutnya.

"Hah ... hah ... hah!" Napas Dominic terengah-engah, kesadarannya sedikit kabur.

Setelah terjatuh dari tebing curam Dominic membentur bebatuan dan pingsan. Ia terbawa derasnya arus sungai sampai ke hulu.

"Kau masih hidup?"

"Yoris??!" Dom masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.

"Kau kalah?"

"Ya, aku kalah. Apa kau kemari untuk menghabisiku?"

"Yah, begitulah." Yoris bangkit, ia melepaskan belati dari sarung kulitnya.

"Hei, Yoris!!! Ada yang ingin ku beri tahu padamu."

"Hmm?"

"Anak Gin, ia punya mate sekarang. Kau tahu Yoris, matanya mengingatkanku padanya." Dom bangkit, mengumpulkan tenaga dan kekuatannya. Walaupun harus mati dia tak ingin mati sebagai pecundang.

Deg ...

Yoris langsung menghentikan langkah kakinya setelah mendengar ucapan Dominic.

"Apa kau bilang?"

"Ya, mereka sangat mirip. Matanya yang bulat dan hitam pekat, sampai rasanya ingin aku congkel bola mata itu keluar. Hahahaha!" Dominic tertawa.

"Tidak mungkin ...!!" Yoris terbelalak, masih mencoba membohongi dirinya kalau segala yang didengarnya adalah sebuah kebohongan.

"Apa kau tak mau mengakuinya?? Dosamu!!" Dominic bangkit.

"Dia bukanlah dosa. Dan karena kau telah mengetahui segalanya kau harus mati, Dom."

"Ayo, mati sekarang atau besok bagiku sama saja. Sudah tak ada lagi Shiera di sampingku." Dominic mengambil ancang-ancang untuk menyerang Yoris.

KRASAK

SRAK.

Suara derapan kaki yang menembus ranting dan semak-semak terdengar mendekat. Sebuah tubuh tegap sekonyong-konyong merangsek keluar dari rimbunan pepohonan hutan. Menembus kabut pagi hari yang masih pekat.

"Sepertinya ada seseorang yang ingin bergabung." Tiba-tiba Yoris kembali menarik kuda-kudanya.

"Ah, Hallo, Paman." Sapa Nakula, sepertinya dia sangat senang bertemu dengan kawan lama.

"Hallo, Kid, kau tampak sehat?" Yoris memandang Nakula lalu Dominic.

"Memang aku harus terlihat sakit setiap kali kita bertemu?" Nakula meloncat tinggi sampai ke samping Yoris, dan bertanya dengan heran.

"Siapa dia, Yoris?!" tanya Dominic, ia sedikit heran karena wajah anak ini mirip dengan Sadewa.

"Gin's Son. Dia yang membunuh Aska. Bukankah kalian bertarung semalam?" Yoris bingung.

"Tidak!! Aku bertarung dengan Sadewa. Jadi aku salah orang???!!! Shiera sampai harus mati karena aku salah memilih musuh??!" Dominic menyesali kesalahannya.

"Sadewa???" Yoris juga bingung.

"Sadewa?? Apa yang kau lakukan padanya?" Nakula terlihat penuh amarah, matanya berkilat coklat kemerahan.

"Mata itu??? Tak mungkin!!!" Lagi-lagi Dominic berseru, kenapa hal-hal tak masuk akal terus terjadi padanya dalam waktu semalam.

"Hei, Kid. Siapa namamu?" tanya Yoris.

"Nakula, aku kembaran Sadewa."

"Ah begitu. Kalian selesaikanlah. Aku akan duduk di sana." Yoris mengangguk paham, ia mundur dan duduk pada sebuah batu besar di bawah pohon teak.

"Kau apakan Sadewa?" Nakula mencekik naik tubuh Dominic.

"Aku rasa aku membunuhnya," ledek Dominic.

Amarah Nakula tersulut. Kekuatannya mendadak berlimpah ruah, padahal bulan baru saja terbuka sempurna.

"Tidak mungkin!! Aku tak merasakan putusnya hubungan dengan dirinya ...!" Nakula lebih mempercayai insting dan nalurinya sebagai kembaran Sadewa.

"Mungkin instingmu mulai tumpul." Dominic menghina Nakula, membuat Nakula semakin marah. Dengan sekuat tenaga Nakula meremat leher Dominic, ia mencengram kuat dan menumbuhkan kuku-kukunya yang tajam. Bunyi koyakan daging terdengar menyayat saat kuku-kuku tajam itu menancap pada krongkongan Dominic.

Dominic meronta, rasanya sangat sakit dan menyiksa. Tanpa ekspresi Nakula masih menancapkan kukunya. Memotong perlahan urat-urat nadi pada leher Dominic, darah bercucuran membasahi lengan Nakula. Nakula sangat senang melihat wajah Dominic yang tersiksa karena rasa sakit.

KRAK...

Nakula memisahkan tubuh dan kepala Dominic. Darah kembali muncrat berhamburan, ada sedikit yang menciprat ke wajah Yoris.

"Damn you, kid!!" umpat Yoris.

"Ups! Sory, Paman." Nakula tersenyum. Ia melemparkan tubuh dan kepala Dominic ke sungai.

Darahnya merubah air jernih menjadi merah.

"Dasar Syco. Sifatmu sangat mirip dengan Regina!!" Yoris bangkit.

"Kau juga Syco," tuduh Nakula.

"Aku tak pernah menyiksa buruanku sebelum membunuhnya." Yoris berteriak.

"Kau menyiksaku dengan racun."

"Aku memberikanmu penawarnya bukan?"

"Hei, Paman." Nakula mengikuti Yoris menuju ke mobil pick up.

"Apa lagi?"

"Apa kau tahu di mana makam Ibu-ku?" Nakula menutup pintu mobil saat Yoris hendak membukanya.

Yoris terdiam sebentar, seperti berpikir sesuatu.

"Haaa ... Masuklah!!" Yoris menyuruh Nakula masuk ke dalam mobil Pick up str*da tr**on hitam miliknya. Mobil offroad ini melaju menyelusuri jalanan becek keluar ke arah jalan raya. Cipratan lumpur mengotori body mobilnya.

Nakula memandang ke arah jendela luar, fajar hampir menyingsing. Angin dingin mengacaukan rambutnya . Yoris masih mengemudi dengan santai. Mereka berdua menikmati keheningan dalam perjalanan ini.

"Kau tak takut aku membunuhmu?" Yoris memecah keheningan.

"Tidak, dulukan aku dalam keadaan tak siap. Sekarang pikiranku lagi sehat." Nakula menatap Pria tua di sampingnya dengan santai.

"Hahaha ... aku suka rasa percaya dirimu, kid." Yoris tersenyum.

"Hehe ... Tunggulah sampai aku bercinta dengan mate-ku. Kau pasti terkesima dengan kekuatanku, Paman."

"Kau sudah punya mate?"

"Belum, segera." Senyum Nakula senang, ia terbayang wajah cantik Liffi dalam benaknya.

"Ternyata kau punya kembaran? Siapa namanya? Sadewa? Dia sudah memiliki mate?" Yoris mencoba mengorek informasi tentang Sadewa.

Dominic berkata mate Sadewa sangat mirip dengan seseorang yang dia kenal. Rasa penasaran Yoris tergelitik, dia harus menemukan kebenaran tentang mate Sadewa. Yoris hanya bisa berharap kalau bukan dia orangnya.

"Yah kami kembar, dia anak Ayah, aku anak Ibu." senyum Nakula getir.

"Mate? Dia punya mate?" desak Yoris.

"Setahuku sih belum."

"O ...." Yoris merasa lega, tapi masih menyisakan pertanyaan.

"Apa ada seorang wanita di sampingnya?"

"Pet? Kelihatannya tidak, Sadewa bukan tipe yang suka bermain-main dengan wanita, sepertiku." Senyum Nakula bangga.

"Itu bukan sesuatu hal yang bisa dibanggakan, Kid." Yoris tersenyum juga.

"Sejak kapan kita jadi begitu dekat, Paman?"

"Jangan merasa aku mendukungmu, karena aku bisa saja membunuhmu kapan pun."

"Kau tak mau menceritakan tentang orang-orang itu? Apa tujuan mereka, Paman? Dan apa tujuanmu?"

"Tujuanku hanyalah sebuah hal yang tak berarti." Yoris kembali memandang pada jalanan di depannya.

"Dari pack mana mereka, Paman."

"Kau tak akan mengerti, Kid. Mereka sudah ada sejak sebelum Ayahmu menjadi seorang Alpha."

"Bukankah pack Ayah yang tertua."

"Di atas langit masih ada langit bukan?"

"..." Nakula terdiam mendengar jawaban Yoris. Ia akhirnya memilih diam, Yoris juga tak akan sebodoh itu membocorkan siapa aliansinya saat ini.

Matahari mulai menyingsing, menyinarkan cahaya yang menyilaukan. Nakula kembali diam, tak banyak bertanya, begitu pula dengan Yoris.

ooooOoooo

Hallo Belleciouse

Terima kasih sudah membaca

Tolong Vote dan dukung author ya

💋💋💋💋

Follow IG author @dee.Meliana

次の章へ