Matahari mulai menyingsing, menyinarkan cahaya yang menyilaukan. Nakula kembali diam, tak banyak bertanya, begitu pula dengan Yoris.
"Kita sampai, Turunlah!!" Yoris mengetuk pintu mobilnya beberapa kali sebagai isyarat agar Nakula mengikutinya.
Mereka sampai pada sebuah gereja tua, tampaknya sudah sangat lama gereja itu ditinggalkan, terbengkalai, dan tak berfungsi. Semua dindingnya menghitam, pada beberapa bagian dinding ditumbuhi oleh semak dan lumut hijau. Di depan gereja itu terdapat lebih dari 20 makam. Rata-rata juga telah hancur tak terawat, walaupun ada beberapa yang masih cukup bersih.
Kebanyakan batu-batu nisan di sana berbentuk salib, ada juga yang berupa persegi panjang sederhana. Nakula mengamati sekelilingnya. Nalurinya merasakan ketidak nyamanan.
"Di mana ini, Paman?"
"Bekas markas Silver Arrow."
"Gereja? Kalian percaya kalau werewolf takut pada holy water juga?" Nakula terkikih.
"Hanya anak kecil yang percaya hal itu." Yoris mendorong pintu besar dari kayu oak. Tampak sekilas cukup berat tapi ternyata sangat mudah bagi Yoris untuk membukanya.
"Kenapa kalian mendirikan markas di gereja."
"Yah, karena doktrin gereja cukup membekas bagi jemaatnya. Kami harus mengumpulkan pasukan untuk membasmi kalian, so kami pakai gereja untuk mendoktrin mereka sebagai bagian dari Silver Arrow."
"Ow, terdengar kejam tapi juga brilian." Nakula memasukan tangannya pada saku celana.
"Masuklah!!!" Perintah Yoris.
Nakula mengangguk dan mengukuti Yoris masuk ke dalam.
Nakula berjalan lurus ke arah mimbar gereja. Kursi-kursi kayu tua telah hancur, terbalik dan tak beraturan. Lantai-lantai keramiknya telah pecah, genteng-gentengnya berjatuhan. Nakula melihat ke atas, sinar matahari pagi mulai masuk melalui sela-sela atap yang terbuka.
"Ini makam Regina." Yoris berhenti tepat di depan mimbar. Ada sebuah makam disana.
Nakula tersentak, ia segera mendekat. Makam itu cukup sederhana, dihiasi dengan batu nisan sederhana bertuliskan namanya.
...Regina Wiharjo...
...lahir : —...
...wafat : —...
Sekeliling makamnya di tumbuhi oleh bunga wolfsbane ungu tua yang sangat beracun bagi bangsa werewolf.
"Halo, Mom." Nakula berjongkok di depan makam Regina.
Nakula merasakan bekas lukanya berdenyut, sangat sakit, sekilas ia kembali teringat pada sosok Regina. Wanita menyedihkan yang hidup dengan penuh penderitaan dan kekecewaan. Nakula memejamkan matanya, kilasan balik masa lalunya terlihat jelas.
.
.
.
"Aku tidak bersalah!!" teriak Nakula dalam ketakutannya.
"Salahmu, semua ini salahmu!!!" Regina mencambuk lagi punggung Nakula. Peluh menetes sederas air matanya. Tubuhnya bergetar, cambuk peraknya terlepas dan jatuh ke bawah.
"Andai saja kau tak terlahir di dunia ini!! Andai saja aku hanya punya satu orang anak!! Aku pasti masih berada di sisinya! Ya, aku masih punya alasan untuk berada di sisinya." Regina berlutut, menangis terisak-isak.
Regina selalu menyalahkan kelahiran Nakula. Karena Nakula dan Sadewa anak kembar. Gin mengusir Regina. Kalau saja hanya ada satu orang anak, mungkin Gin masih mengijinkan Regina tinggal di sampingnya untuk merawat anak itu.
"Nakula!! Naku!!!" Regina merangkak mendekati Nakula, ia memeluk tubuh kecil Naku yang terluka parah.
"Maaf ... Maaf ... maafkan aku." Regina mengelus wajah Nakula, air matanya mengalir deras.
.
.
.
"Ugh!" Nakula terjatuh karena hatinya sangat sakit.
"Hei!!! Kau tidak apa-apa, Kid?"
"Tidak apa-apa, Paman. Hanya teringat kenangan indah bersama Ibuku yang gila." Naku bangkit dan tertawa. Ada kesedihan dalam suara tawanya yang nyaring.
"Kau sudah menemuinya. Sekarang pulanglah, Naku!" Yoris mengepak beberapa bunga wolfsbane dan memasukkannya ke dalam tas.
"Wolfsbane?"
"Iya, susah mendapatkannya di sini. Tapi entah kenapa bisa tumbuh subur di samping makam Regina." Yoris tersenyum simpul.
"Kau meracuniku dengan bunga yang tumbuh di samping makam Ibuku? Dan kau bilang dirimu bukan seorang syco, Paman?" Ledek Nakula.
"Hahahaha ... kau benar-benar lucu, Naku." Tawa Yoris.
"Hei Apa kau tak ingin bertarung denganku, Paman?" Tawar Nakula.
"Kau akan menyesal kalau mengajakku bertarung sekarang, Naku," jawab Yoris.
"Kau benar, aku berada di wilayah Silver Arrow." Nakula merasakan adanya hawa membunuh dari 3 orang lain yang bersembunyi di sekitar gereja.
"Pergilah, kami tak akan memburumu." Yoris kembali sibuk dengan bunga wolfsbane.
"Boleh aku minta cambuk Ibuku sebagai kenang-kenangan?"
Yoris menghentikan aktifitasnya dan memandang pada sebuah cambuk yang terletak di atas makam Regina. Sudah lama cambuk itu menemani istirahat Regina, sudah tampak usang dan menghitam.
"Tentu saja, ini!" Akhirnya Yoris bangkit dan melemparkan cambuk itu pada Nakula.
"Thanks, Paman. Akan kuingat kebaikanmu."
"Pergilah ... jangan temui aku lagi! Dan jangan sebut namaku di depan Ayahmu. Aku tak mau berurusan dengan si brengsek itu lagi."
"Oke, Paman!!"
Nakula meninggalkan area gereja, kembali menyelusuri jalan raya. Langkahnya disambut oleh fajar yang mulai menghilang, berganti matahari yang menyingsingkan pagi.
ooooOoooo
Hujan rintik-rintik masih mengguyur area pabrik tua. Sudah semalaman hujan turun, sampai pagi inipun masih belum ada tanda-tanda hujan akan mereda.
"Dominic kalah?"
"Iya, Lord. Half wolf itu ternyata sangat kuat." jawab Lou dengan ketakutan.
"HAHAHAHA!!!! Aku terlalu meremehkan-nya."
"Di mana Yoris?"
"Pergi untuk menghilangkan jejak Dominic."
"Laila."
"Yes my Lord." Seorang wanita cantik keluar dari balik tirai, ia terlihat sangat anggun dengan balutan gaun malam.
"Kumpulkan semua Warrior kita. Sebentar lagi pasti Gin akan mencari tahu kebenarannya dan menyatakan perang."
"Baik, Lord."
"Kita bunuh mereka satu per satu, untuk tumbal bangunnya seorang True Alpha."
"Tentu saja, Tuanku. Kami berlima akan mendukung semua keinginan Anda," jawab Laila.
"Kita mulai dulu dari Sadewa. Bagaimana kalau kita cincang anak kebanggannya itu di depan Ayahnya?"
"Tentu akan menjadi tontonan yang menarik, Tuan." Laila terkikih senang, tanpa menunggu lagi ia kembali menghilang di balik tirai.
"Tuanku, apakah anda tidak sedikit pun Anda menaruh curiga pada, Yoris?" Lou gemetaran, namun tetap maju untuk bertanya.
"Aku tak pernah mempercayai manusia, Lou!! Tapi aku masih membutuhkannya, dan akulah satu-satunya harapannya. Tak ada alasan baginya untuk mengkhianatiku saat ini."
"Baik, Tuan. Saya mengerti."
"Pergilah, Lou. Carikan aku seorang manusia hina untuk percobaan kita selanjutnya."
"Yes, Lord."
ooooOoooo
Please vote and comment ya bellecious
💋💋💋
Dukung cinta babang Nakula dan Sadewa. Juga kisah hidup Liffi 💋💋