Bara, telah lama suatu bara itu menyala di dalam hati Bastion. Bara yang menyala jauh sebelum ia di bawa ke Jawa dan di ubah menjadi sosok serigala merah raksasa.
Bara itu ada dan terasa di hati kecilnya, menyala secara konstan dan tak kunjung padam sejak kematian ibunya. Ibu yang pendiam dan penyabar, tapi entah mulai kapan selalu bertengkar dengan sang ayah.
Bastion yang saat itu masih berumur sepuluh tahun sadar akan sesuatu yang ganjil pada kematian ibunya, namun satu kata pun tak dapat ia utarakan. Tentang sebuah kematian sang ibu yang mengharuskan kedua adik-adik kecilnya yang bahkan pada saat itu masih berumur lima tahun dan bayi, terpaksa harus dirawat oleh kamp militer rahasia VOC.
Bara itu terus menyala selama bertahun-tahun bersama seluruh kemampuan Bastion yang terus terasah untuk menjadi penerus sang ayah. Terus menyala meskipun Bastion terus berusaha menutupinya dengan angan palsunya yang terus menipu dirinya tentang sifat kejam sang ayah yang ia anggap hanyalah salah satu tindakan bijaksana saja. Namun, malam itu bara itu tiba-tiba meletup. Meletup bersamaan dengan letupan pistol sang ayah yang menembus kepala adiknya.
Kemarahan melingkupi seluruh pandangan Bastion, namun ia yang sekarang hanya manusia biasa tahu bahwa ia tak memiliki peluang menghadapi sang ayah ataupun ketiga pengawal di sampingnya. Maka ia segera berlari kearah adik perempuannya untuk membawanya kabur.
Namun seketika langkahnya berhenti saat ia melihat kearah gerbang besar Kastil Batavia.
Tepat di gerbang besar Kastil Batavia, Morteas menghadang mereka dengan puluhan tentara yang siap menembakan senapannya.
"Bastion, mau kemana kau?"
Suara sang ayah menggema ketelinganya meskipun sang ayah tak berteriak.
"Tn. Muda, sebaiknya anda hentikan apapun yang hendak anda lakukan itu Tn., pikirkanlah kembali janganlah bertindak bodoh!"
"Diam kau Morteas!"
Mata Bastion masih jelas memancarkan kemarahannya namun ia menahan dirinya dan berusaha mengendalikan dirinya. Selagi terus memperhatikan kearah sang adik, Vannesia yang sudah tak bisa berubah lagi dan terlihat sangat terpukul dengan keadaan tersebut.
"Yang Morteas katakan itu benar Bastion, mau kemana kau dengan wajah dan rambut pirangmu itu hah?! Kau pikir di mana ini bodoh, kembalilah kemari! Ini semua untuk kebaikan kalian, anakku yang sangat bodoh!!"
"Hah!!!!! Apanya yang untuk kebaikanku?!! Jangan bercanda!!"
Mendengar hal itu Pieterzcoon berhenti sejenak, kemudian ia mulai berjalan mendekat kearah Bastion.
"Ayah serius Bastion, sekarang lihatlah wajah kedua gadis disampingmu itu, mereka yang mengetahui keganasan dan kekuatanmu itu! apa kau pikir kau masih bisa hidup di tanah ini?!"
Bastion hanya diam mendengar kata-kata ayahnya itu meskipun kemarahannya belum padam sedikit pun.
Selagi melirik pada sang adik, Ia mencari suatu celah. Celah yang dapat membiarkannya lolos dari kepungan sang ayah dan Morteas di masing-masing sisi. Celah yang dapat memberikannya kesempatan untuk membawa adiknya tanpa terluka sedikit pun. Celah untuk dapat mengambil kesempatan baru yang telah ia terima dari sang gadis Bercahaya.
Bersama bara di dalam hatinya ia mulai menumbuhkan harapan baru dan membuang luka dan kepedihan masa lalunya. Setidaknya itulah yang dia harapkan dalam hatinya.
Namun, bukannya celah yang ia dapatkan. Bersama raut wajah sang ayah yang terlihat kecewa, sekali lagi pistol sang ayah terangkat dan kali ini pistol itu mengarah tepat kearah Vannesia yang masih syok bersipu di kakinya.
"... ayah?? ... Kenapa kau mengarahkannya padaku?"
"Tidak, VANNESIA LARI!!"
"Pilihlah Bastion ..."
Satu kalimat ambigu itu mungkin tak dapat di pahami jika di utarakan pada orang lain. Namun kalimat yang ambigu dan terasa sangat tak jelas itu begitu jelas dipahami bagi Bastion yang mengerti sifat sang ayah. Antara nyawa Adiknya atau kembali terbelenggu oleh ambisi ayahnya.
Bastion tak bisa memilih. Dan meskipun Bastion tak bisa mengambil kedua pilihan opsi tersebut kakinya bergerak dengan sendirinya dengan sekuat tenaga. Tetapi letupan segera terdengar mengiang di telinganya. Kakinya tak sempat menggapai tempat itu. Setidaknya itulah pikirnya saat itu dengan air mata yang menetes deras. Hingga suara benturan besi terdengar memekakan dan mengalihkan padangannya dari Adiknya.
"Pa ...cta ...!!!"
Sosok laki-laki berzirahkan tulang putih yang menutupi sekujur tubuhnya berhasil menghadang peluru yang melesat dengan cepat dari pistol sang gubernur. Dengan zirah putih tebalnya Akno kembali ke medan pertempuran.
Seketika itu wajah kecewa Pieterzcoon langsung menjadi geram dan berapi-api.
"SIALAAAAAN!!! BERANINYA KAU MENGGANGGU URUSAN KAMI KECOAAAAK!!!!"
"he he, maaf saja Tn. gubernur yang terhormat. Ketika anakmu itu memilih untuk terlepas dari perjanjian sang Iblis itu sudah menjadi urusan kami, kau tahu!"
"SEENAKNYA SAJA KAU BERBICARA!!!! ... JANGAN DIAM SAJA MORTEAS, CEPAT TEMBAK MEREKA DAN JANGAN BIARKAN ADA YANG HIDUP!!"
"SIAP LAKSANAKAN!! ... TEMBAAAKKK!!!!"
Bersamaan dengan itu puluhan tentara yang yang telah bersiap dengan senapan mereka di depan gerbang Kastil Batavia segera melepaskan letupan pelurunya. Membuat suara letupan yang memekakan telinga dan melesatkan peluru-peluru baja dengan kencang kearah Vannesia, Bastion, Lily dan Anna.
Tetapi tepat saat peluru-peluru itu dapat menggapai jarak Vannesia yang paling dekat dengan gerbang, tiba-tiba peluru-peluru itu menukik sembilan puluh derajat dan menghantam tanah. Vannesia yang masih syok itu pun menjadi pingsan di pelukan sang kakak. Lalu perlahan bersama gemerlapnya cahaya bulan, muncul beberapa sosok di tengah medan pertarungan.
Terlihat seorang wanita muda berpakaian tomboy dengan topi seperti seorang loper koran sedang merentangkan tangannya. Di belakangnya, dengan membelakangi sang wanita itu tiga orang sosok yang merupakan anggota dari tujuh petarung. Sang kakek dengan kursi rodanya dan dua kakak beradik yang masih berumur kanak-kanak itu.
"Dekker!!! Beraninya kau muncul disaat seperti ini!!"
"Lama tak berjumpa Pieter, jadi sekarang kau seorang gubernur ya?"
"Dan kau ternyata si kelompok pengacau Pitung itu hah?!"
"kami tak mengacau, kau saja yang keterlaluan! Sampai membunuh Jaya Karta!"
"DIAM!!! Aku yang menutuskan siapa yang harus mati dan tidak!! Kau seharusnya cukup diam dan menurut saja, tapi lihat apa yang selalu kau lakukan!"
" ... begitukah? Tak kusangka kau telah jatuh sejauh itu, kalau begitu akan kukatakan sekali lagi. Tidak ... kali ini bukan hanya aku, tapi kami ... !"
"Kami tak akan diam melihat penindasan kalian, kami tak akan bungkam melihat kekejaman kalian, kami akan berdiri bersama dan melawan hingga titik darah penghabisan. Kami para petarung pembebasan, PITUNG!!" x5
Para petarung memasuki panggung malam Kastil Batavia.