webnovel

Peri Bunga 1

Mata Morgan melotot lebar, ia hendak bangkit dari duduknya sebelum tangan Michelle menggenggam erat tangannya. Mata mereka bersitatap, Morgan tertegun.

"Kenapa kau meninggalkanku?" Tanya Michelle dengan wajah memerah menahan tangis, suaranya yang halus itu bergetar lembut.

Suara yang sama yang selalu didengar Morgan dari Giselle.

'Giselle.'

Detak jantung Morgan serasa berhenti seketika, ia merasakan rasa sakit yang berdenyut di jantung.

Mengapa Giselle harus memiliki kembaran yang identik dengannya? Ingatannya tumpang tindih antara wajah Giselle di masa lalu dengan yang sekarang.

"Morgan, kau ingin meninggalkanku?" Tanya Michelle lagi.

Wanita itu mengatur mimik wajahnya dengan semenyedihkan mungkin, matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan air matanya kapan saja, bibirnya yang merah itu bergetar.

Morgan memejamkan matanya, perasaannya jadi campur aduk, ia tidak kuasa membiarkan wajah yang mirip dengan Lunanya itu menangis.

Manusia serigala itu membungkuk, menyeka bulir-bulir air mata yang hampir jatuh ke pipi mulusnya, ia menatap Michelle dengan wajah sendu.

"Morgan, kau ingin meninggalkanku lagi?" Michelle mengulang pertanyaan yang sama, gemuruh angin berhembus membuat ranting-ranting berderak pelan di sekitar mereka.

Morgan membuang muka, ia menghela napas panjang kemudian menggeleng pelan.

"Tidak, Giselle … aku …."

"Tetaplah bersamaku, Morgan."

Michelle menggenggam erat tangan Morgan, membawanya ke wajahnya dan mengusapnya, ini adalah salah satu hal yang sering dilakukan kembarannya dulu bersama Morgan.

Tangan Morgan bergerak, ia membawa Michelle ke pelukannya, otaknya tidak bisa diajak berpikir jernih sekarang, ia mulai tidak bisa menyadari antara realita dan ilusi.

Wajah sama antara Giselle dan Michelle terlihat berputar-putar dalam benaknya, Morgan tidak bisa berpikir jernih. Ia hanya berpikir yang ada di pelukannya ini adalah Giselle, Lunanya, pasangan jiwanya. Ia tidak bisa melepaskannya lagi, ia tidak bisa kehilangan Giselle lagi.

"Aku akan bersamamu, Giselle," gumam Morgan setelah diam beberapa saat sambil mengelus kepala Michelle, napasnya menderu.

Michelle balas memeluk erat Morgan, tangannya melingkari leher laki-laki itu, ia tersenyum samar.

Tadi ia memang menunjukkan sikap penolakan pada Morgan karena ia pikir laki-lak itu akan memihak padanya untuk membunuh keluarga kerajaan.

Tapi reaksi Morgan justru sebaliknya, ia ingin melindungi pangeran terbuang itu, dengan sedikit terpaksa Michelle menggunakan wajahnya yang sama persis dengan Giselle agar laki-laki itu merasa semakin bersalah dan terpuruk.

Rencananya berhasil. Morgan terlihat sangat hancur melihat wajahnya yang bersimbah air mata. Michelle memanfaatkan kelemahan terbesar Morgan.

Rasa cinta yang amat dalam itu tidak bisa dilupakan begitu saja oleh waktu, Morgan masih memiliki perasaan yang kuat pada saudara kembarnya, Morgan sudah menetapkan seluruh hati dan jiwanya kepada Giselle.

"Morgan, tetaplah bersamaku," gumam Michelle lagi sambil memejamkan matanya.

Morgan mengangguk dengan cepat, ia menyandarkan kepalanya di bahu Michelle, menghirup dalam-dalam aroma wanita itu.

Ia memejamkan matanya dengan senyuman pedih, rasa sakit dan bayang-bayangan kematian Giselle berkelabat di benaknya.

***

Di depan gerbang desa manusia, Iris mengerutkan keningnya, rasa kesal mulai memenuhi kepalanya, ia tidak melihat siapapun, tidak ada Morgan atau Thomas.

Dua laki-laki itu menghilang.

Padahal Iris sudah dengan jelas mengatakan jika mereka berdua harus menunggunya di depan sini, ia melirik Alita yang duduk di atas batang kayu sambil bertopang dagu. Litzy yang berwujud seekor burung gagak mendarat ke bahu Iris.

"Apa katanya?" Tanya Alita dengan wajah bosan ketika Litzy selesai berkoak.

"Mereka tidak ada di sekitar sini, mungkinkah mereka masuk lebih dulu ke dalam?" Tanya Iris balik.

Alita menggeleng pelan, peliharaan Iris tidak bisa terbang mengeliling desa begitu saja karena takut manusia akan ketakutan, ia bangkit dan berdiri.

"Kalau begitu, ayo kita masuk."

Iris mengangguk, Litzy berubah menjadi seekor kucing kecil berwarna hitam dan masuk ke dalam keranjang yang di bawa Iris.

Iris mengenakan gaun merah maron pudar yang sederhana, rambutnya ia kepang ke belakang, wajahnya tidak ia beri polesan apa pun, putih pucat.

Alita mengenakan gaun selutut berwarna kuning pudar, bibirnya yang biasanya dioles dengan lipstik berwarna ungu mencolok, kini berubah menjadi putih sepucat kulitnya.

Mereka memasuki desa manusia setelah melalui pemeriksaan ketat, ada Orc tentara kerajaan yang berjaga di depan, mereka mengawasi dan menjaga semua pendatang kalau-kalau ada yang dapat membahayakan ras manusia.

Manusia pada dasarnya lemah, mereka tidak punya kemapuan khusus, tapi mereka memiliki otak dan ingatan yang bagus.

"Apa kalian melihat laki-laki dan anak kecil sebelum kami?"

Orc itu memakai seragam militer khas kerajaan Megalima, ia menggeleng tanpa suara, tangannya melambai ke arah Iris dan Alita. Menyuruh mereka cepat pergi.

"Mereka tidak masuk kemari," bisik Alita dengan mata yang bergerak kesana kemari. "Aku juga tidak mencium bau anjing itu."

Iris melangkah pelan berdampingan dengan Alita, ia merasa panik sebenarnya tidak menemukan dua laki-laki itu, namun ia yakin kalau mereka baik-baik saja selama Morgan tidak bertindak sembrono.

Seorang wanita dengan rambut pirang mendekat kearah mereka sambil membawa untaian bunga, ia tertawa kecil kepada Iris dan Alita.

"Selamat datang ke festival bunga," ucap wanita itu sambil mengalungkan untaian bungan ke leher Iris dan Alita, semerbak aroma bunga memasuki indera penciuman mereka.

Alita memegang untaian bunga itu, lalu ia mendongak dan menemukan banyak untaian bunga di mana-mana, termasuk di leher Orc yang berjaga di gerbang tadi.

Manusia yang berlalu lalang di depan mereka juga mengalungkan untaian bunga itu di leher dan memasangnya di kepala mereka, tidak peduli itu tua atau muda, laki-laki atau perempuan, semuanya memakaiannya.

Setiap sudut-sudut rumah juga dipenuhi dengan bunga aneka warna, bergantung dan berayun-ayun tertiup angin.

"Aku tidak suka bau yang menyengat ini," keluh Alita, kepalanya terasa pening karena tidak tahan mencium baunya, tangannya bergerak hendak melepasnya.

"Jangan dilepas." Iris mengambil tangan pucat Alita, ia menurunkan tangan gadis vampir itu dan merangkulnya mendekat. "Ada yang aneh."

Kening Alita berkerut, jika seharusnya ada yang aneh dengan bunga ini bukankah mereka harus melepasnya.

"Tetap pakai, atau mereka mengetahui identitas kita." Iris bergumam dan menarik Alita agar tetap melangkah di sampingnya, Alita melirik ke tengah tanah lapang disana dipenuhi tumpukan bunga-bunga yang menggunung.

Ada beberapa pasang mata yang menatap mereka penuh kecurigaan, tetapi setelah melihat untaian bunga di leher Alita dan Iris, mereka menjadi tersenyum ramah, dan mempersilahkan mereka singgah sejenak di rumah mereka.

"Ada sesuatu di bunga ini."

Alita menyentuh bunga itu, ia tidak tahu apa yang dimaksud oleh Iris, baginya bunga itu sama saja, untaian yang berisi bunga mawar, melati, kamboja dan anggrek disatu padukan ditambah dengan tetesan minyak wangi yang baunya pekat.

"Ini adalah ulah Peri Bunga."

次の章へ