Neji pikir, Shion mungkin bakal membicarakan ulang soal pernikahan mereka ketika Neji memutuskan untuk terbuka pada Shion, ketika orangtuanya menutupi kondisi adiknya pada siapa pun itu—sekalipun calon besan mereka.
Saat Shion berhenti menyesap tehnya, dia tersenyum dan menghela napasnya, terdengar gadis itu amat lega daripada mulai mengkhawatirkan masalah yang baru saja didengar olehnya. "Kau pasti merasa kesulitan selama ini," Neji mendongak, menatap Shion nanar. "Ini awal yang bagus untuk hubungan kita—aku suka sikapmu yang terbuka padaku, walau ini sebenarnya agak terlambat."
Suara Neji tidak mampu keluar, dia terus menundukkan kepala meski Neji masih duduk dengan tubuh yang tegap. Namun Shion bisa melihat awan mendung di sekitar calon suaminya, Neji sangat terpuruk, dan pasti sulit untuk terus menutup mulutnya sendiri, di saat tidak satu ataupun dua orang mulai membicarakan ketidaksopanan yang dilakukan oleh adik Neji, Hinata.
"Apakah kau takut kalau orangtuaku akan secara sepihak membatalkannya?" Neji kembali memandangi Shion, terdiam, bahkan tak mengangguk. "Kurasa kau tidak perlu khawatir, aku beranggapan kalau keluargaku tidak akan pernah membatalkan rencana yang sudah disusun bertahun-tahun itu. Kita banyak melewati masalah-masalah yang kurasa jauh lebih sulit dari ini."
"Apakah masalah yang jauh lebih sulit itu, maksudmu, ketika kau hamil anakku?"
Shion terkesiap. "Kenapa kau kembali membahas masalah itu?"
"Aku berpikir bahwa orangtuamu nantinya akan terpaksa, karena kau pernah hamil anakku." Kelopak mata Shion bergerak cemas, sembari melirik ke samping, gadis itu menyibukkan diri dengan memainkan jari-jarinya. "Mereka tidak akan pernah menyerahkanmu pada laki-laki lain, karena aku telah menidurimu, masalah hamil, lalu keguguran, aku harus bertanggung jawab penuh."
"Kita sudah berjanji untuk tidak membicarakan masalah itu, dan kau bilang kalau masalah itu jangan sampai didengar oleh pihak keluargamu."
Neji mencoba tersenyum kecil di tengah ia amat merasa begitu gelisah. "Aku berniat untuk mengatakan hal sebenarnya, apa yang kita lalui di tengah pertunangan selama sepuluh tahun ini pada mereka."
"Neji," Shion menyela, suaranya kecil dan sedikit bergetar. "Itu akan memperburuk keadaan. Kau bilang baru saja di rumahmu begitu banyak masalah mengingat Hinata pergi dari paviliun, sementara adik kecilmu itu terpaksa dikurung." Neji tak kuasa menahan air matanya, ada pada dirinya sangat kesulitan sampai detik ini. Ia berencana berhenti membangun kebohongan—termasuk apa yang sudah dilakukannya pada tunangannya. Sebaliknya soal Hinata, di mana gadis itu berada, Neji tetap bungkam, dan ayahnya berjuang sendiri untuk menemukan putrinya, dan mungkin ada saatnya nanti dia akan memberitahu, tidak pada waktu dekat ini.
Sedangkan hingga sekarang, Neji belum bisa bertemu Hinata ataupun laki-laki dari Uzumaki itu. Kalau seandainya ada kesempatan, dia ingin memberitahu laki-laki itu, dan memastikan bahwa Naruto Uzumaki adalah laki-laki baik untuk adiknya—sebenarnya bukan dalam hal baik saja Neji dapat menerimanya, setidaknya laki-laki itu tidak menyakiti adiknya yang sudah lemah karena kondisinya.
Lalu Neji beralih memandangi Shion yang terlihat lesu. "Kau sedang memikirkan apa?"
"Apa kau tidak pernah mencintaiku?" Shion mencoba tersenyum, tapi senyuman kesedihan gadis itu sama-sekali tidak cocok dengan pertanyaan yang diajukannya. Neji menyadari kalau Shion mulai menilainya ragu-ragu. Walaupun sebenarnya tidak begitu. Hanya, Neji memikirkan kondisi saudari-saudarinya. Dan ia menyadari, bahwa menikah bukan tujuan hidupnya. Neji mendapati dirinya telah tersadar, bahwa tujuannya mengubah sistem kuno di keluarganya. Menikah dengan Shion sebagai permulaan dia mampu untuk menjadi keluarga Hyuuga.
Shion menghela napas kecil, sampai akhirnya dia mengambil tas tangannya, kemudian keluar dari mejanya, meninggalkan Neji yang terdiam di dalam kedai teh langganan mereka.
Di perjalanan itu Shion menahan isak tangisnya, ia tahu bahwa Neji tidak pernah mencintainya, meski sempat dia mengandung anak laki-laki itu. Dan beberapa tahun yang lalu, kondisi lelah dan stres membuat Shion kehilangan bayinya. Sementara di tengah jalan itu Shion tidak kuasa lagi. Dia berhenti berjalan, membungkuk, kemudian sampai akhirnya berlutut di tengah jalan. Air matanya menuruni pipi, bahkan gadis itu tidak peduli lagi jika orang-orang melihatnya begitu mengenaskan.
Namun seseorang melangkah mendekatinya.
Karena terik matahari begitu menyilaukan, Shion mendongak dengan memicingkan mata, dan pada akhirnya ia terkejut. "Neji," ada di sampingnya, mengulurkan tangan kepadanya, tetapi Shion masih berlutut, justru menangis sejadi-jadinya, sesenggukan dan berbicara dengan nada bergetar. "Aku tidak suka kalau kau mengasihani aku, tinggalkan aku sendiri."