"Apakah Nona sengaja membuat saya berada di posisi sulit?" Jack berusaha menahan emosinya.
"Ti-Tidak. Bu-Bukan begitu. Aku hanya... Aku hanya tidak ingin mengulangi tingkah konyolku lagi," ucap Adelia sendu lalu menundukkan wajahnya. Ia takut melihat pria di hadapannya ini. Sudah berwajah kaku, dingin, menyebalkan lagi, gerutunya. Ia terpaksa merelakan ikatan yang sudah susah-susah ia pasang, dilepas oleh pria angkuh di depannya.
Jack sebenarnya hendak melanjutkan interogasinya, namun tiba-tiba ia teringat wajah menakutkan tuan muda-nya, yang membuatnya segera mengurungkan niatnya itu. "Mari, Nona. Tuan Muda mengundang Anda untuk menghadiri makan siang bersama Tuan Besar dan Nyonya," ucap Jack setelah ia melepaskan semua ikatan yang melekat di pergelangan adik perempuan atasannya itu.
"Makan siang? Mengapa kakak tidak menelponku? Mengapa harus dirimu yang memberitahuku? Mengapa ia tidak menghubungiku sendiri?" Adelia tiba-tiba menatap garang pria di depannya. Sosok asing kembali datang merasuki Adelia. Mengapa sombong sekali? Mentang-mentang sudah memimpin perusahaan di usia begitu muda, sekarang semua hal dilakukan lewat orang lain begitu? Adelia mengepalkan tangannya menahan amarah. "Aku akan membuatmu merana, sama halnya waktu itu, ketika kau dengan seenak hatimu mempermainkan perasaanku, menyiksaku, membiarkanku dilecehkan beramai-ramai oleh mereka," desisnya.
Mereka pergi meninggalkan rumah menuju tempat makan siang yang sudah dipesan oleh Bramastyo.
Sejak saat itu, sosok asing itu tidak lagi meninggalkan tubuh Adelia. Ia memegang kendali penuh tubuh Adelia. Ia memerankan dengan baik sosok Adelia hingga Bramastyo tidak lagi memikirkan keanehan yang sempat menyita perhatiannya di awal pertemuan mereka. Sikap Bram yang begitu posesif membuat ruang gerak sosok asing dalam tubuh Adelia tidak begitu bebas, karena ia memberi pengawalan yang begitu ketat pada Adelia. Ke mana pun adiknya itu pergi, maka Adelia akan selalu dikawal oleh beberapa pengawal kepercayaan Bram.
Pernah suatu hari ia mengajukan keberatannya, tapi alasannya langsung ditolak mentah-mentah oleh Bram. "Ke mana Kakak harus mencari jika kau sampai menghilang lagi?"
-0-
Hari itu, Bram mengantarkan Adelia masuk ke sekolahnya yang baru. Bramastyo mendaftarkan Adelia ke sekolah menengah yang cukup terkenal di ibukota. Awalnya ide Bram itu ditolak langsung oleh Adelia, mengingat sosok asing dalam tubuh Adelia begitu membenci hal-hal yang berbau sekolahan dan keilmuan, sedikit mirip dengan Adelia yang asli. Ia lebih memilih keluyuran di jam sekolah dan bermain di klub-klub dewasa daripada mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh pihak sekolah. Begitu bertolak belakang dengan gadis yang tubuhnya disusupi sosok asing hingga dirinya mirip Adelia, adik Bramastyo yang hilang.
Adelia masuk dengan langkah sedikit terburu-buru hingga hampir saja dirinya bersenggolan dengan guru yang hendak masuk ke kelas yang sama dengannya dari arah berlawanan.
"Ah, maaf. Maafkan saya, Pak." Adelia menunduk berkali-kali, meminta maaf pada sang guru. Pria itu diam terpaku menatap Adelia.
"Mau sampai kapan kamu menunduk begitu?" ucapnya dingin. "Lain kali matanya dipakai. Lihat ke depan bukan ke bawah. Memangnya jalan masuk ke kelas lewat bawah?"
Nih guru, ya... Kenapa pagi-pagi gini udah nge-gas sih? Mau ngajakin berantem? Gerutu Adelia dalam hati hendak mengangkat kepalanya sebelum akhirnya ia urungkan karena ujung buku sudah sukses mendarat di pucuk kepalanya.
"Awas kalau kamu berbuat seperti itu lagi!" ancam guru itu melangkah masuk ke dalam kelas, lalu diikuti Adelia yang menggurutu tidak jelas.
Adelia hanya bisa menatap kesal sang guru. Namun di detik berikutnya, wajahnya berubah menjadi merah. Pria itu. Pria itu salah satu orang yang sudah melecehkannya. Pria itu ikut dalam kelompok orang yang mengolok-olok dirinya. Ya. Pria itu. Orang yang tengah berdiri di depan kelasnya itu, adalah salah satu tangan kanan Bram yang sudah menghancurkan dirinya, dan juga keluarganya. Apakah ini hanya sebuah kebetulan semata? Apakah memang langit sedang berpihak padanya untuk membalaskan dendamnya?
Suara pria yang sedang menjelaskan rumus-rumus kimia di depan kelas, tidak mampu mengusik lamunan Adelia. Adelia asing, sebut saja begitu, yang sedang memutar balik kenangan buruk yang menimpa dirinya dan keluarganya. Dan kini, akhirnya ia mendapat kesempatan untuk membalaskan dendamnya. Ia berhasil menemukan gadis yang begitu mirip dengan adik pria yang sudah menghancurkan hidupnya, setidaknya pikiran itulah yang terpatri dalam ingatannya. Bramastyo, pria yang sudah merusaknya, melecehkannya, menghancurkannya dan membuat jiwanya tergadai antara bumi dan langit. Saatnya aku membalaskan dendamku padamu.
-0-
"Adelia!" teriak seseorang dari balik pintu perpustakaan yang dilewati Adelia asing. Gadis itu menoleh, untuk melihat siapa yang telah memanggil namanya. Rambut keriting? Alis kanan Adelia terangkat tinggi. Ada apa dia memanggilku?
Pemuda berambut keriting itu berjalan ke luar dari perpustakaan, menghampiri Adelia. Dengan sedikit gugup, ia berdiri di depan Adelia."Apakah kamu nanti dijemput?" tanya pemuda berambut keriting itu malu-malu.
Dengan malas Adelia, menganggukkan kepalanya. Raut wajah kecewa si keriting terlihat jelas., membuat Adelia penasaran dengan maksud pemuda itu. "Memangnya kamu ada urusan apa kok nanya-nanya itu?"
"Oh, tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu." Pemuda itu dengan cepat membalikkan badannya, meninggalkan Adelia asing yang bingung dengan jawaban yang ia dapatkan. Tsk. Dasar cowok aneh, gerutu Adelia asing dalam hati, melanjutkan langkahnya masuk kembali ke dalam kelas barunya.
Adelia sengaja tidak berbaur dengan gadis-gadis teman kelasnya. Ia memilih menyendiri, karena ia di sini hanya sedang mencari waktu yang tepat untuk membalaskan dendamnya pada mereka-mereka yang sudah membuatnya menderita. Pelajaran dan lingkungan tidak begitu diperhatikannya. I
Suara klakson membuyarkan lamunan Adelia asing yang sedang duduk di halte depan sekolahnya. Ia melihat mobil sedan hitam perlahan berhenti tepat di depannya. Dengan cepat ia melangkah mendekat dan membuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya. Bramastyo tersenyum senang. Asal tahu saja, momen saat dirinya bersama adiknya ini adalah momen yang sangat ia nantikan. Entahlah. Ia terus saja terbayang wajah Adelia ketika sedang menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia selalu ingin menelpon Adelia, hanya sekedar untuk mendengar suara adiknya itu. Namun, akal sehatnya segera menyadarkannya. Adelia sedang sekolah, jadi tidak mungkin baginya untuk selalu menelpon adiknya itu. Bisa-bisa adiknya akan mendapat peringatan dari Guru BP-nya.
"Bagaimana sekolahnya? Lancar? Ngantuk nggak? Udah dapat teman baru? Asyik nggak gurunya?" Bramastyo memberondong Adelia asing dengan banyak pertanyaan. Ia sangat ingin mendengar adiknya berceloteh, tapi sayang, yang sedang duduk di sebelahnya saat ini bukanlah adiknya, Adelia yang asli, tapi jadi-jadian. Ehm, maksudnya sosok asing yang menyelinap ke dalam tubuh seorang gadis yang memiliki kemiripan wajah dengan adiknya yang telah lama hilang.
"Ya, begitu. Tidak ada yang menarik. Biasa aja," jawab Adelia sedikit ketus. Bramastyo memandang heran gadis di sebelahnya. Biasa saja? Tidak ada yang menarik? Benarkah?
"Apakah tidak ada seorang pun yang mengajakmu berbicara?" Sampai di sini Bramastyo tidak dapat lagi menahan rasa penasarannya.