Tok.Tok. Tok.
Suara ketukan di pintu ruangan CEO LXY Grup dan suara pantulan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai, membuat pria muda dengan jambang tipis di wajah putih bersihnya, tersentak kaget. CEO muda itu sedang beristirahat di sofa tepat di samping singgasana kerjanya, setelah tiba dari perjalanan bisnis. Rasa kantuk dan tubuh yang lelah, membuatnya terlelap sesaat.
"Masuk!" perintah Bramastyo, yang akrab dipanggil Bram, dengan suara serak.
"Tuan Muda." Seorang pria berkulit putih sedikit kemerahan berjalan masuk, mendekati meja di tengah ruangan. Tangan kanannya membawa sebuah amplop coklat berukuran C4. Bram memperhatikan amplop yang mengayun ke depan dan ke belakang seirama dengan langkah kaki sang asisten.
Ya. Pria dengan dengan kulit putih sedikit kemerahan itu bernama Jack. Ia adalah asisten pribadi, Bramastyo, CEO LXY Grup, sekaligus tangan kanannya. Ia ibarat mata dan mulut Bram. Apa yang ia lihat, akan sampai juga ke Bram. Apa yang ia dengar pasti akan terdengar oleh Bram. Keputusannya bersifat mutlak bagi bawahannya atau sementara jika Bram ingin menyelesaikannya sendiri.
"Ada sebuah dokumen yang dikirimkan untuk Tuan Muda."
Bram mengernyitkan keningnya. "Apa maksudmu? Untukku?" Bram merasa keheranan. Jack meletakkan amplop coklat itu ke hadapan Bram.
"Siapa yang mengirimkan ini?" Bram membolak-balikkan amplop coklat itu sebelum dirinya membuka segel yang menutup ujung amplop.
"Kurir, Tuan Muda.. Petugas keamanan baru saja menyerahkan kepada saya di meja resepsionis."
Bram segera menyobek ujung amplop. Dengan hati-hati, dirinya mengeluarkan dokumen dari dalam amplop. Beberapa lembar foto berukuran 10 R dan dua lembar kertas, dikeluarkan Bram dari dalam amplop tersebut. Kedua bola matanya yang berwarna biru terbelalak tidak berpercaya. Betapa terkejutnya Bram begitu melihat foto-foto tersebut.
"Jack! Bag-bagaimana bisa ini..." Bram tidak berkata-kata. Tangannya gemetar hingga lembaran foto yang ada di kedua tangannya ikut bergetar, hingga nyaris terlepas dari tangannya.
"Tuan Muda... Ada kertas lain yang menyertai foto itu. Mungkin kita bisa menemukan petunjuk dari sana."
Bramastyo segera meletakkan foto-foto itu dan meraih dua lembar kertas yang berisi tulisan tangan dan sebuah gambar, lebih tepatnya denah sebuah rumah.
*Tuan Muda, Semoga Tuan Muda selalu berada dalam keadaan sehat dan selamat.
Saya mohon maaf, baru bisa memenuhi janji setelah sekian lama menerima tugas yang Tuan Muda berikan kepada saya. Berikut adalah foto-foto Nona Muda yang berhasil saya kumpulkan, dan saat ini Nona Muda sudah berhasil saya amankan.
Kapanpun Tuan Muda bisa menjemput Nona muda. Denah lokasi sudah saya sertakan dibalik surat ini.
Mike
Bram meremas kertas itu. Punggungnya bergetar. Adel? Adelia? Mike berhasil menemukan Adelia? Ya, Tuhan... Setelah sekian lama pencarian, akhirnya..akhirnya aku berhasil menemukannya.
"Siapkan Helikopter!" Bram mengenakan jas hitam panjang miliknya.
"Baik, Tuan Muda." Jack langsung berjalan ke luar meninggalkan ruangan atasannya, bersiap untuk melakukan penjemputan.
-0-
Helikopter yang ditumpangi Bram bersama Jack mulai berangkat. Mereka mengikuti rute sesuai dengan gambar yang sudah dikirimkan oleh Mike.
Karena letak lokasi penjemputan cukup jauh, Bram harus menunggu setidaknya satu jam perjalanan sebelum helikopternya mendarat mulus di sebuah bukit kecil di pulau yang cukup asing baginya. Sebuah pulau terpencil, yang terletak di sebelah utara pantai utara pulau jawa.
Tampak dari kejauhan seorang pria mengenakan kacamata hitam sedang berdiri lengkap dengan topi koboinya. Kencangnya angin dari putaran helikopter memaksa pria itu untuk merekatkan jas panjang hitam yang membungkus tubuh tingginya sambil memegangi topi miliknya.
Bram segera turun dari helikopter diikuti Jack di belakangnya. Pria bertopi koboi berjalan dengan setengah berlari menghampiri Bram, mereka terlibat pembicaraan sebentar lalu ketiganya bergegas menuju sebuah rumah.
"Di mana dia?" Bram tampak sangat tidak sabar untuk menemui seseorang yang sudah lama ia cari. Papa dan mama pasti akan sangat senang begitu mengetahui kabar ini.
"Silakan ikuti saya, Tuan Muda." Seorang laki-laki berusia di atas tiga puluh tahun, dengan topi koboi melekat sempurna menutupi rambut yang sedikit ikal, berjalan mendahului Bram, menuju sebuah rumah sederhana yang berada sekitar 100 meter dari tempatnya mendarat.
Bram mengikuti di belakang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pria itu membuka pintu rumah yang ia kunci dari luar. Bram menatap sekilas bangunan sederhana itu, sebelum dirinya melangkah masuk ke dalamnya.
"Nona... Ada yang ingin bertemu dengan Nona."
Bram melihat sosok gadis dengan rambut sebahu, mengenakan sebuah sweater berwarna putih gading sedang duduk membelakanginya. Gadis itu memutar tubuhnya, hingga kini Bram dapat melihat dengan jelas wajah gadis itu.
Adelia. Bram merasa tenggorokannya mendadak kering. Benarkah sosok di depannya itu adiknya yang telah lama hilang?
"Adelia..." Bram memanggil dengan suara pelan seakan takut jika gadis itu akan melarikan diri, pergi menghindarinya.
Gadis itu melihat Bram dengan sorot mata yang tidak bisa dipahami oleh siapa pun, seperti dirinya sedang menyimpan sebuah luka.
"Ka-kaaak..." Gadis itu beranjak dari duduknya, menyapa dengan kata sapaan yang sudah sekian lama tidak pernah di dengar oleh Bram. Kata itu terucap dengan sedikit ragu-ragu.
"I-iya, ini Kakak. Ini Kakak, Del." Bram mempercepat langkahnya, lalu membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Bram mendekap erat tubuh mungil gadis itu, berulang kali menciumi pucuk kepala gadis itu.
"Ka-kak, sakit." Rupanya Bram terlalu erat memeluk, hingga gadis itu susah bernafas.
"Ah. Maaf-maafkan, Kakak. Kakak terlalu bahagia hingga jadi begini." Bram melepaskan pelukannya. Tangannya bergerak menghapus sisa air mata yang tertinggal di sudut mata Adelia. Adelia tersenyum, membuat Bram merasa gembira. Ia telah kembali berkumpul dengan adik semata wayangnya yang dulu hilang.
Langkah kaki seseorang terdengar mendekat hingga akhirnya terdengar ketukan di pintu rumah. "Maaf, Tuan Muda. Mungkin sekarang saat yang tepat untuk kita meninggalkan pulau ini. Langit begitu mendung, saya khawatir, tidak lama lagi akan ada hujan badai menerpa wilayah ini. Kecuali, Tuan Muda berencana untuk tinggal sementara di sini." Mike berdiri di depan pintu kamar tempat Bram dan Adelia berada.
Bram menggeleng lalu menggandeng tangan Adelia un88tuk meninggalkan tempat ini. "Ayo, kita pergi. Papa dan mama pasti senang sekali dapat melihatmu lagi."
"Tapi Kak... Papa mama ... Adelia takut... Nanti dimarahi..."
"Tidak akan. Papa mama tidak akan memarahi kamu. Delapan tahun bukanlah waktu sebentar, untuk menanggung penderitaan kehilangan kamu. Kakak jamin, mereka akan sangat bahagia melihatmu lagi."
Dengan sedikit ragu, Adelia mengikuti langkah Bram, menuju helikopter yang sudah dinyalakan mesinnya. Langit semakin gelap, tampak angin kencang berhembus ke arah mereka.
"Tuan Muda! Akan ada badai menghadang di depan. Apakah Tuan Muda yakin untuk berangkat sekarang?" Pilot helikopter merasa sedikit ngeri melihat kondisi cuaca yang begitu mencekam di atas sana.
"Berangkat saja! Yang terlihat gelap bukanlah daerah yang akan kita tuju. Kau pilih jalur yang aman untuk kita lewati." Suara Bram bersaing dengan deru helikopter dan angin yang menderu di sekitar mereka.
"Tuan Muda. Pertimbangkan keadaan Nona Muda yang baru saja kita temukan. Saya khawatir..." Belum selesai Jack memberikan sarannya, hujan turun dengan begitu deras, membuat Joni sang pilot terpaksa mematikan mesinnya.
"Tuan Mudaaaa! Segera kembali ke dalam rumah! Badai akan segera datang...!" Mike berteriak sembari berlari membawa dua buah payung besar.
Wuuush..... Angin kencang menerpa helikopter, membuat Adelia menjerit histeris. "Kakaaaaak!"