Riiing Riiing
Gavin masih menggeliat di atas kasurnya, enggan membuka mata dan mengangkat teleponnya.
Riiing Riiing
Semakin berisik dan mengganggunya, Gavin lantas mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang sudah meneleponnya berulang kali.
Begitu tahu siapa yang meneleponnya, Gavin langsung bangun dan menjawab panggilan itu.
"Gavin... Kamu sudah siap-siap kan? Ibu sebentar lagi sampai rumah."
Gavin yang masih mengumpulkan nyawanya hanya menjawab singkat.
"Okey."
Dengan malas Gavin menyeret kakinya ke kamar mandi. Hanya beberapa menit kemudian dia sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah segar.
Kembali menghapal bonus-bonus yang akan dia dapat, Gavin bersiap-siap untuk pergi ke tempat neneknya.
"Gudang buat latihan, tambah karya, terkenal, dan kenalan dengan Inara."
Begitu berulang-ulang dia ucap seperti menghapal sebuah mantra. Hingga tak sadar seseorang sudah berdiri di pintu depan kamarnya.
"Inara?"
"HUH!!!"
Gavin yang kaget hampir terjatuh ke atas kasurnya.
"Ibu bikin kaget tahu!!"
Nadia berdecak dan menghampiri Gavin. Dia terlihat gemas dengan cara Gavin menata bajunya. Nadia akhirnya membantunya memasukkan dan menata bajunya ke dalam tas.
"Kamu yang terlalu fokus... Dan Inara? Siapa itu?"
Gavin yang malu mengakui bahwa itu gadis incarannya hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tidak mau menjawab pertanyaan Nadia.
"Cewek yang kamu taksir ya?"
Gavin tetap tutup mulut. Nadia hanya menggelengkan kepalanya sembari memasukkan baju terakhir milik Gavin.
"Lain kali tutup pintunya kalau nggak mau kaget. Ini sudah selesai..."
Gavin yang merasa tidak bersalah, membantah Nadia.
"Ibu yang kayak hantu!"
Dia hanya mendengar suara tawa ibunya yang menuruni tangga rumahnya. Gavin pun bergegas mengikutinya menuju mobil yang sudah diparkir di depan rumah.
"Kita sarapan di rumah nenek ya.... Setelah itu ibu langsung ke tempat proyek. Okey?"
Gavin mengangguk setuju. Selama perjalanan dia membayangkan gudang neneknya yang akan dia jadikan sebagai tempat latihan. Dia juga merencanakan bagaimana akan menata gudang itu. Belum lagi khayalannya tentang karya-karyanya yang akan jadi spektakuler. Membuatnya semakin terkenal dan mungkin bisa membuat Inara mengenalnya. Belum lagi kalau dia bisa membuat konser bersama band-nya suatu saat nanti. Di tengah lautan penonton yang meneriakkan nama band dan namanya.
"Gavin....."
Gavin masih berada di dunia fantasinya.
"G!"
Diteriaki oleh ibunya membuatnya semakin tersenyum karena di dunia fantasinya fans-fansnya sedang meneriaki namanya.
"GAVIN SOEBROTO!!!"
Mendengar nama lengkapnya disebut Gavin akhirnya tersadar kalau dia masih di dalam mobil ibunya yang kini tengah berhenti.
"Kamu itu lagi mengkhayal apa sih? Dipanggil nggak respon sama sekali."
Gavin hanya menggaruk kepalanya.
"Kita sudah sampai dari tadi. Ibu bahkan sudah masuk rumah duluan. Ayo cepat keluar."
Gavin menuruti ibunya dan mengeluarkan semua barang yang ada di mobil.
Dia memandangi rumah besar dihadapannya. Memang bukan rumah yang megah bertingkat atau seperti kastil-kastil di dunia dongeng.
Tapi rumah besar satu lantai itu memiliki halaman yang cukup luas. Yang berisi berbagai pohon dari yang berbuah sampai yang hanya berisi daun peneduh saja. Rumput dan beberapa tanaman hias di sana terawat rapi.
Rumah tua peninggalan jaman Belanda punya nenek Gavin itu dibeli kakeknya saat akan menikahi neneknya. Rumah neneknya memang bukan di daerah terpencil. Tapi rumah neneknya yang jauh dari jalan utama membuatnya terlihat seperti berdiri sendiri. Untuk masuk kesana ada jalan setapak yang bisa dilewati dari jalan utama. Benar-benar seperti rumah di tempat antah berantah.
Sambil menurunkan barangnya Gavin kembali melirik rumah bercat putih itu. Catnya tampak baru saja di renovasi, jendela-jendela besar yang selalu neneknya buka saat siang hari juga terlihat baru di cat. Selain itu tak ada yang berubah. Rumah yang berkesan klasik elegan itu tetap kokoh dengan topangan marmer Belanda.
Matanya kembali menelisik bangunan di depannya sambil mengistirahatkan tangannya yang baru saja mengeluarkan barang-barang. Ada tiga bagian dari rumah itu. Bagian utama berisi kamar, dapur, dan ruangan yang biasa dipakai untuk aktivitas neneknya. Di samping kiri dan kanannya ada ruangan yang berukuran lebih kecil dari bagian utama rumah. Dulu sayap kiri dipakai kakek Gavin untuk ruang kerja. Dan kanan digunakan untuk garasi dan gudang. Tapi semenjak kakeknya meninggal, neneknya memutuskan untuk menjadikan ruang kerja kakeknya sebagai tempat penyimpanan juga.
Senyumnya merekah ketika melihat sayap kanan rumah neneknya. Desain ruang latihan yang sudah dia susun sepanjang jalan mulai mengalir di otak saat melihat fisik asli gudang yang dijanjikan kedua orang tuanya.
Tiba-tiba pintu jati bagian utama rumah itu terbuka.
"Cucu nenek yang paling ganteng."
Gavin menoleh saat mendengar suara ceria dari orang yang membuka pintu tadi.
Terlihat dia sedikit kesusahan berjalan dan didampingi oleh ibu-ibu paruh baya saat berjalan.
"Nenek.... Bu Nur..."
Gavin langsung menghampiri keduanya.
"Nek... Gimana kondisinya?"
Neneknya tersenyum dan mengajak Gavin masuk karena ibunya sudah menunggu mereka untuk sarapan.
"Ayo masuk dulu.... Sekalian kamu bawa barang kamu masuk. Kita sarapan dulu."
Gavin mengangguk menyetujui ajakan neneknya.
"Mas Gavin. Saya permisi dulu ya. Nanti sore saya ke sini lagi."
"Iya Bu Nur terima kasih ya..."
Sebelum beranjak pergi Bu Nur membisikkan sesuatu kepada Gavin.
"Mas Gavin nanti kalau misal mau bersihin gudang bilang saya dulu ya. Saya mau jelaskan sesuatu. Pokoknya jangan bersihkan gudang sendirian."
Gavin yang senang karena akan mendapat bantuan dari Bu Nur mengangguk kencang.
"Iya, Bu Nur terima kasih."
"Ingat ya mas Gavin nunggu saya dulu ya."
Gavin kembali mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah tak banyak hal yang berbeda.
Banyak furnitur kayu klasik berjajar di sana. Yang membuatnya terlihat modern adalah barang elektronik neneknya. Di ruang tengah neneknya terdapat piano besar yang biasa digunakan neneknya untuk mengajar anak-anak yang les piano ke beliau. Saat muda nenek Gavin adalah seorang guru seni dan pandai memainkan piano ataupun menyanyi. Mungkin hobi bermusiknya menurun dari neneknya.
"Ayo G kita sarapan dulu. Ibu mau berangkat habis ini."
Gavin menyusul ibu dan neneknya yang sudah siap di meja makan.
"Lama kamu nggak ke sini Gavin. Terakhir kamu ke sini waktu mengajari nenek untuk melihat video musik kalian."
Gavin hampir tersedak mendengarnya. Dia memang sangat jarang ke situ dan kalaupun dia ke situ pasti dia sedang butuh sesuatu.
"He he iya nek. Tapi nenek bisa nonton video G kan?"
Neneknya tersenyum kembali dan dengan bangga bercerita.
"Tentu nenek tonton dan like setiap karya kamu."
Gavin terlihat tambah bersemangat.
"Gimana karya kami nek. Bagus kan?"
"Walau nenek tidak begitu tahu liriknya tapi kalian punya bakat. Kalian harus terus berlatih."
"Uhuk..."
Suara tersedak membuat Gavin dan neneknya menoleh.
"Bu.... Aku bahkan tidak tahu G itu nyanyi apa dan musiknya itu gimana. Saking berbakatnya mereka. Ha ha ha...."
Gavin cemberut mendengar ejekan Nadia.
"Dia hanya perlu latihan intens."
Nadia hanya tertawa kecil dan melanjutkan sarapannya. Mereka pun kembali berbincang sampai selesai sarapan.
Selesai sarapan Gavin segera memindahkan barang-barang nya ke kamar. Kamar yang selalu dia pakai dari kecil saat menginap di rumah neneknya. Kamar itu tidak dirubah sama sekali. Desain kamar itu juga sepertinya buat anak laki-laki. Terlihat dari berbagai gambar karakter yang terlukis di dinding kamar itu. Itu yang membuat Gavin jatuh cinta pada kamar bercat biru itu.
"G... Ibu mau berangkat."
Gavin yang tengah serius mengeluarkan barang-barangnya berteriak karena terkejut.
"Buuu!!! Dua kali ibu ngagetin aku. Kayak hantu tahu tiba-tiba muncul."
Ibunya berdecak.
"Ck... Kayak pernah lihat hantu aja kamu G.."
Gavin masih memegangi dadanya karena kaget.
"Ibu mau berangkat."
Gavin kemudian beranjak dan menghampiri ibunya.
"Okey... Ayo Gavin antar."
Ibunya terlihat bingung.
"Antar? Ibu berangkat sendiri G."
Gavin kembali terkejut dengan perkataan ibunya.
"Oh naik apa?"
"Mobil ibu lah. Emang mau naik apa?"
Gavin masih tak paham maksud Nadia.
"Ibu Nadia.... Aku kan biasa bawa mobil ibu ke kampus kalau nggak naik angkutan umum. Nah dari sini kan kalau mau nyari angkot atau ojek kan susah Bu."
Nadia sedikit kesal dengan sikap manja Gavin. Tapi kemudian dia tersenyum licik.
"Ibu ada kejutan buat kamu."
Gavin terlihat ketakutan mendengar kata kejutan dari ibunya.
"Ayo ikut ibu..."
Gavin meninggalkan kamarnya dan membuntuti ibunya.
Ibunya membawa Gavin ke gudang lama neneknya. Gudang itu terlihat terbengkalai karena memang tidak pernah di bersihkan. Neneknya lebih sering memakai bekas ruang kerja kakeknya. Di tengah gudang yang berukuran besar itu ada sesuatu tertutup kain besar.
"G.... Ini hadiah kamu dari nenek dan ayah ibu ha ha ha.... Kamu bisa pakai VW Kombi bekas kakek dulu."
Rasa kaget Gavin membuatnya ternganga. VW Kombi berwarna putih hitam itu terlihat imut jika disandingkan dengan penampilan Gavin yang sangar dan serba hitam.
"Bu... Kamu bercanda ya.... Ini mobil lama.... Lagian masih bisa dipake apa?"
Ibunya menggelengkan kepalanya.
"Kami sudah memperbaiki, lihat dong mengkilap gini. Udah lah mau ambil apa nggak? Ibu butuh mobil juga di sana."
Terpaksa Gavin menerima tawaran ibunya dengan berat hati. Dan mengangguk menyetujuinya.
"Bagus.... Udah ya ibu mau berangkat."
Gavin masih berdiri di situ bukan untuk memandangi mobil kakeknya. Tapi mengamati betapa gudang yang akan jadi tempat latihannya.
Tiba-tiba Gavin merasa angin dingin lewat di dekat lehernya. Seketika bulu kuduknya berdiri.
BRUUK..
Kain besar tutup mobil yang tadinya diletakkan ibunya di atas mobil tiba-tiba jatuh tanpa ada tiupan angin kencang sama sekali. Gavin melihat sekeliling tidak ada jendela terbuka. Hanya pintu gudang yang setengah tertutup.
Dia masih berpikiran baik.
"Angin dari pintu kali ya."
Gavin masih berdiri di situ dan kembali memvisualisasikan tata letak bakal tempat latihannya itu. Hingga sesuatu menghampirinya.
"Gaaviiin...."
Suara lembut memanggil namanya tepat di dekat telinga.
"AAAAAARRRGHH!!!!"
Gavin yang tak siap dengan suara itu kaget sampai jatuh tersungkur ke lantai.
"Ha ha ha ha.... Kamu harus lihat wajahmu G.... Seharusnya ibu videoin tadi biar kamu lihat betapa lucunya kamu."
Gavin yang dikerjai ibunya langsung berdiri dan bersiap marah-marah, tapi terhenti saat dia merasakan hembusan angin yang di lehernya.
Ibunya bingung melihat Gavin tidak jadi marah.
"Sudahlah Bu.... Ayo keluar dari sini..."
Gavin menyeret ibunya keluar dari gudang itu tanpa mempedulikan ejekan ibunya yang bilang bahwa dia penakut.
Gavin dan neneknya kemudian mengantar Nadia di depan rumah. Tapi sebelum berangkat Nadia melambaikan tangannya agar Gavin mendekat padanya. Gavin menurut dan menghampiri ibunya.
"Kamu bilang ibu hantu kan tadi? Kamu mungkin akan bertemu yang asli di sini."
Terlihat senyum licik Nadia. Gavin yang sudah puas dikerjai ibunya tidak begitu saja percaya.
"Ibu mau ngerjain aku lagi kan? Sudahlah berangkat sana."
Nadia kembali menyeringai.
"Ibu, ayah dan nenek tidak pernah lihat sih. Tapi kamu tahu nggak alasan para asisten rumah tangga kita sebelumnya hanya betah beberapa hari di sini?"
Gavin tidak menjawab apa-apa, Nadia semakin menggoda Gavin.
"Mungkin kamu bakal menemukan jawabannya. Kata kuncinya adalah...."
Gavin dengan serius mendengar ibunya.
"Panggilan mu pada ibu pagi tadi."
Gavin terlihat ketakutan tapi melihat senyum licik ibunya, dia tahu kalau ibunya hanya menggodanya.
"Haaah. Sudah sana berangkat!"
Nadia tertawa terbahak-bahak.
"Apapun yang terjadi kamu tidak boleh balik ke rumah. Kamu harus temani nenek. Ingat ya.... Ibu dan ayah minta maaf karena nggak bisa menemani kalian. Tapi nanti kami usahain dua minggu sekali ke sini."
Gavin terharu mendengar permintaan maaf ibunya.
"Sudah sana berangkat!!"
Nadia tidak bergerak sama sekali seperti menunggu persetujuan Gavin.
"Iya... Iya tenang aku bakal upgrade keberanianku 5 level lebih tinggi."
Nadia tersenyum dan langsung memutar kemudinya keluar dari rumah itu.
"Ibumu benar-benar berat meninggalkanmu."
Gavin kembali kaget karena ada suara di sebelahnya. Hari ini dia dapat kejutan banyak sekali.
"Ha ha ha dia khawatir Gavin kabur nek."
Neneknya hanya tersenyum dan meninggalkan Gavin.
"Nenek mau berkebun di samping rumah. Kamu libur kan? Kamu istirahat saja di dalam."
Gavin tiba-tiba punya ide untuk melihat gudang lama neneknya. Karena dia sudah tidak sabar untuk menatanya.
"Nek... Aku mau bersih-bersih gudang ya..."
Neneknya hanya melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan Gavin.
Gavin yang sudah dapat persetujuan neneknya langsung berlari menuju gudang. Sesampainya di sana dia masih ragu. Tapi semangatnya mengalahkan rasa takutnya.
Sambil terus mengucapkan motivasinya membersihkan gudang itu.
"Bersihkan gudang, dapat tempat latihan, bisa terus bikin lagu, jadi terkenal dan dikenal Inara."
Dia mengulang-ulang kata-kata itu dan mulai dengan membersihkan sudut ruangan dan menyortir barang-barang di situ.
Setelah beberapa saat dia menyortir, dia mulai menata barang-barang besar di sudut ruangan. Dan menyisakan barang kecil dan pecah belah.
Dia bingung meletakkannya dimana hingga dia melihat lemari jati yang tergeletak di belakang meja kayu rusak di salah satu sudut ruangan yang belum dia bersihkan. Lemari itu seperti sengaja disembunyikan karena ditutupi tumpukan kursi lama dan meja rusak yang sengaja ditaruh untuk menghalanginya.
Langsung dia bergegas untuk memindahkannya tapi dia melihat gagang lemari itu diikat oleh tali putih dan ada sesuatu yang menggantung didepannya seperti bungkusan kain yang entah apa isinya. Akhirnya dia putuskan untuk menaruh barang-barang itu di atas lemari.
Tapi karena barang pecah belah yang dia sortir cukup banyak dia memutuskan untuk mencoba membuka lemari yang diikat tali itu. Dia mengamati benda yang mirip kantung kecil dari kain itu. Tanpa ingin tahu apa isinya dia langsung buang kantung kain berwarna putih itu.
Saat dia membuka lemari itu tiba-tiba angin kencang bertiup dari dalam lemari dan membuat semua debu di dalam lemari itu terkena mukanya.
"Uhuk.... Uhuk.... Angin darimana sih? Dari tadi ada aja ya!"
Dia kemudian merasakan hembusan angin dingin seperti lewat di sampingnya. Bukan cuma sekali tapi sebanyak empat kali.
Kembali mengucap motivasinya dia memindah barang-barang yang sudah dia sortir. Dan saat semuanya selesai dia mengambil kursi untuk beristirahat.
Kemudian menggoyang-goyangkan kursinya ke depan dan belakang sembari melihat sekeliling gudang yang hampir bersih.
Terlihat cukup puas dia memainkan kursinya kembali dan mengucapkan kata-kata motivasinya.
Karena terlalu bersemangat memainkan kursinya, tak sengaja dia terjengkang dan jatuh. Kepalanya dengan keras membentur lantai. Perlahan Gavin menutup matanya dan tak sadarkan diri.
Di sekitar Gavin mulai berhembus angin yang cukup besar. Sampai-sampai kursi Gavin bergeser sedikit.
Tak berapa lama kemudian seperti ada yang menarik Gavin hingga membuat kepalanya semakin terbentur lantai.
Kejadian aneh tak berhenti di situ, kini giliran baju Gavin yang ditarik ke atas hingga tubuhnya terangkat sedikit dan tiba-tiba terjatuh.
Saat itu Gavin terlihat bergerak dan seperti bergumam sesuatu.
"Bersihkan gudang..."
Kemudian dia terdiam dan masih mencoba untuk membuka matanya.
"Jadi terkenal dan dikenal Inara."
Kali ini tangannya terlihat memegangi kepalanya.
"Inara... Gimana caranya buat dekat denganmu."
Gavin masih terasa berat membuka matanya.
"Aku akan membantumu..."
Gavin yang masih berusaha membuka matanya seperti mendengar seseorang tengah berbincang padanya.
"Aku akan membantumu agar dia mau jadi pacarmu."
Ketika dia membuka matanya dia melihat seorang gadis berambut pendek dengan mata basah seperti habis menangis, melayang di atas nya. Reflek dia berteriak.
"AAAARGH!!!!"