~ Sebab Tuhan tidak akan mengabaikan barang secuil pun kebaikan yang kita lakukan.
Maka, lakukanlah ....
Tanpa perlu memikirkan perkataan orang di luaran.
Tanpa perlu takut Tuhan tak mengindahkan.
__
Sebagian orang percaya, cara paling ampuh untuk meluapkan perasaan yang tak tersampaikan adalah dengan melakukan berbagai kesibukan. Dan Aryan menjadi salah satu dari sebagian orang yang mempercayai teori itu.
Sekarang, pria itu tengah diam di balik meja dengan map tebal di tangan.
Di meja sebelah kiri, tumpukkan buku yang tak beraturan telah habis ia baca. Sementara di sisi sebelahnya, hanya tinggal empat buku tersisa.
Mencoba menghalau pikirannya dari segala kenyataan pahit, yang membuatnya merasa hampir gila.
Satu bulan ia menyandang status suami, tak membuatnya bisa melampiaskan hasrat terpendamnya.
Jangankan untuk malam pertama, berada pada ruang, berbagi dan menghirup udara yang sama bersama Leia saja tidak pernah terjadi.
Meski begitu, keyakinan Aryan tentang Leia yang suatu saat pasti akan mencintainya, tak pernah berubah.
Meski hatinya sendiri pun meragu, apakah benar ia mencintai Leia?
Wajahnya kusut dengan rambut tak beraturan.
Ada perasaan putus asa dalam dirinya. Namun lagi-lagi, keinginan dan tekad yang kuat untuk mengembalikan kejayaan Len's Publisher seperti dulu, membuat Aryan urung untuk menyerah.
Mengingat bagaimana Pak Tjandra pernah bercerita, bahwa perusahaan ini adalah impian dari Mama Leia, seorang sastrawati yang begitu peduli pada generasi setelahnya.
Ellena begitu mempercayai bahwa setiap orang mempunyai pilihan dalam hidup.
Sebagai apa perannya di dunia, seperti itulah ia akan diingat bahkan setelah kematiannya.
Dan Wanita berketurunan Belanda-Jawa itu memilih untuk menjadi seseorang yang selalu menebar kebaikan lewat goresan-goresan tinta pada lembaran putih yang akan abadi meski ia telah mati.
Di belakang meja tempat Aryan berada, sebuah rak buku setinggi plafon bertengger gagah.
Pada rak paling atas, berjejer buku-buku berbagai judul dari penerbit yang berbeda namun memliki satu penulis yang sama. Ellena T. Soebrata.
Ketukan pelan disusul pintu yang terbuka, membuat pandangan Aryan berpaling dari barisan tulisan yang ia baca.
"Maaf, Pak Aryan. Tapi para staff sudah menunggu di ruang meeting," ucap Wulan mengingatkan.
"Ah, iya. Saya hampir lupa."
Aryan mengusap wajah, "Mbak Wulan ke sana saja dulu. Nanti saya menyusul."
"Baik, Pak."
Wanita berpostur ramping dengan outfit yang selalu terlihat fashionable itu undur diri. Mematuhi perintah sang atasan.
***
Aryan menyusuri lorong lantai penuh ketenangan. Wajahnya nampak lebih segar setelah ia basahi dengan air wudhu.
Langkahnya sedikit melambat saat lamat-lamat ia mendengar beberapa suara yang tengah menjadikannya topik pembicaraan.
"Ya pastilah, ya. Nggak masuk akal, kalo Pak Tjandra tiba tiba menginginkan Aryan jadi menantu. Sementara, ada Benji yang sudah jelas anak pengusaha kaya raya," pungkas salah satu di antara mereka.
"Benar, juga. Kita semua juga kan sudah tahu, kalau Leia selama ini dekat dengan anak salah satu pemegang saham di perusahaan ini. Lalu, kenapa tiba-tiba Pak Tjandra nyerahin putri semata wayangnya ke seorang sopir?" Yang lainnya menimpali.
"Enggak salah lagi! Pasti Pak Tjandra kena guna-guna!"
"Bukan! Jaman sekarang mana ada yang kek gitu-gituan!"
"Terus apa, dong?"
Setengah berbisik, gadis yang mengenakan blouse putih dengan span senada itu berasumsi.
"Kalau menurut aku, sih. Pernikahan Leia dan Aryan itu..., ada sangkut pautnya dengan kematian Pak Tjandra."
Sontak kedua temannya mendelik sambil menutup mulut yang menganga.
"Jadi..., yang membunuh Pak Tjandra itu....?"
"Sssttt!! Jangan kencang-kencang. Takut ada yang dengar," ujar gadis yang menjadi biang gosip di antara rekan sepekerjaannya.
Astaghfirullah hal adzim...
Aryan mengembuskan napas gusar. Ternyata begitu buruk pandangan orang-orang di sekitar mengenainya.
Tak ingin lebih banyak lagi mendengar fitnahan yang mengarah kepadanya, Aryan memutuskan untuk kembali melangkah. Orang-orang di meeting room pasti sudah lama menunggunya.
.
"Bagaimana, Pak Aryan? Apakah anda sudah mengubah keputusan anda?"
Yang pertama membuka suara sesaat setelah rapat di mulai adalah David, selaku head manager.
Ia duduk di barisan kanan, cukup dekat dengan Aryan yang duduk di tengah sebagai wakil dari pemegang saham terbesar. Sekitar 45% saham.
Aryan menarik napas sebelum mulai berbicara.
"Tidak. Saya tidak akan merubah keputusan saya, Pak David. Naskah ini tidak akan diterbitkan di Len's Publisher."
Beberapa kepala mengangguk, setuju.
Sayangnya, di sebagian lainnya justru merasa kecewa. Terutama David dan lelaki paruh baya yang duduk di hadapannya. Atau lebih tepatnya, perasaan tidak terima.
"Tapi, Pak. Naskah ini sudah memiliki banyak pembaca di salah satu platform digital. Para penggemarnya juga sudah tak sabar menunggu naskah ini terbit. Saya yakin sekali, Pak. Jika naskah ini jatuh ke tangan kita, buku kita kali ini pasti akan laku keras. Dan akan mengembalikan kejayaan LP."
Edi, kepala pemasaran yang bersuara. Dan langsung di amini oleh empat kepala di sebelahnya.
"Iya, saya tahu. Sebelum saya menghadiri rapat, saya sudah lebih dulu melahap cerita ini. Dan itu semakin meyakinkan saya untuk tidak menerbitkan naskah ini. Saya sudah memilih beberapa naskah yang masuk dalam kriteria."
Semua mata kini tertuju pada layar proyektor yang terhubung langsung dengan laptop di depan Aryan.
Di sana, Aryan melingkari beberapa judul di sebuah platform digital yang sama dengan naskah yang sebelumnya ia tolak.
"Jumlah pembacanya mungkin tidak sebanyak naskah yang pertama. Tapi saya yakin, buku ini akan sukses di pasaran. Tentu saja dengan bantuan kalian semua."
"Saya tidak setuju! Saya tetap ingin naskah yang saya ajukan itu kita terbitkan!"
David bersikeras. Ia bahkan berdiri untuk menegaskan ketidaksetujuannya pada keputusan Aryan.
"Pak David, dengar saya dulu. Saya sudah melakukan banyak pertimbangan untuk keputusan ini. Dan saya--"
Pria berpostur tegap itu memotong pembicaraan Aryan.
"Sekarang begini saja! Kita melakukan voting di sini! Siapa yang tidak setuju dengan keputusan Pak Aryan, silakan angkat tangan."
Satu persatu mulai mengangkat tangan. Ada yang ragu-ragu namun akhirnya memilih untuk ikut mengangkat tangan begitu menerima tatapan tajam dari David.
Sembilan tangan terangkat dari total enambelas kepala dalam ruangan. Membuat Aryan tidak berkutik.
Dia kalah angka untuk melawan David. Hampir semua pekerja telah mengenal sepak terjang David di perusahaan. Tentang banyak tender yang seringkali ia menangkan, juga hal-hal yang ia lakukan untuk kemajuan perusahaan. Tentu saja mereka lebih memercayai David untuk memimpin perusahaan dibanding Aryan yang tidak ada se ujung kukunya.
Setelah menimang cukup lama, Aryan bersuara.
"Baik. Kalau begitu, rapat kita lanjutkan besok setelah makan siang. Saya harus pergi. Assalamu'alaikum"
Lalu Aryan pergi, tak peduli dengan David di belakangnya yang mengumpatinya berbagai macam makian.
***
"Leia hari ini ikut saya ke kantor."
Suara itu tiba-tiba muncul di tengah asyiknya dua sahabat saling bertukar cerita.
"Loh, nggak bisa, dong. Aku hari ini ada acara sama Nadhira."
"Enggak ada hal yang lebih penting melebihi pekerjaan di kantor, Lei."
"Kok kamu jadi ngatur-ngatur hidup aku, sih!"
Malas sekali pagi-pagi harus berdebat dengan Leia.
Merasa jengah dengan tingkah Leia yang jauh dari kata dewasa, Sudut mata Aryan melirik ke arah gadis cantik di sebelah Leia yang sialnya, gadis itu juga tengah menatap dirinya hingga untuk kesekian kalinya tatapan mereka beradu.
Buru-buru Nadhira berpaling.
"Lei. Kayaknya masalah kantor lebih penting, deh. Kita bisa pergi lain kali aja."
"Tapi, Ra-"
Leia hendak menyanggah sebelum akhirnya terpotong oleh suara Nadhira yang begitu lembut.
"Lei, Kantor itu kantor Almarhum Papa. Kamu juga punya tanggung jawab yang besar di sana. Kamu tidak bisa selamanya mengandalkan Aryan untuk mengurus semuanya."
Beberapa detik menimang, akhirnya Leia mengangguk.
"Yaudah, ayo kita berangkat ke kantor sekarang," ujar Leia sambil lalu, melewati Aryan begitu saja yang masih berdiri di ambang pintu.
Aryan mengembuskan napas lega. Seseorang yang belum pernah bekerja di sebuah perusahaan sepertinya, pastilah amat sangat kuwalahan begitu di hadapkan dengan keyataan bahwa sekarang dia yang harus memimpin puluhan orang di bawahnya.
Sebelum beranjak pergi, sekali lagi dia menatap Nadhira, seolah lewat mata ingin ia menyampaikan rasa terima kasih pada Nadhira yang telah membantunya membujuk Leia.
Dan seolah tahu yang pria itu ingin sampaikan, Nadhira tersenyum sambil mengangguk.
Sebagai isyarat atas jawabannya, "Aku senang bisa membantumu."
*
Aryan maju tanpa diminta.
Membukakan pintu mobil di kursi belakang untuk Leia, seperti biasanya.
Meskipun sebenarnya ada yang lain yang tak tampak oleh pandangan Aryan.
Yaitu, hati Leia.
Semenjak Bunda beberapa kali memberinya wejangan perihal pernikahan, perlahan kebencian Leia pada Aryan mulai memudar. Berganti rasa yang entah apa Leia menyebutnya.
Perasaan bersalah, tanpa tahu kesalahan apa yang ia perbuat.
Rasa malu, entah untuk alasan apa yang membuat ia merasa malu jika berada di dekat Aryan.
Dan juga..., perasaan berdebar setiap kali ia menatap mata Aryan. Seolah setiap kali mata mereka beradu pandang, ada sengatan listrik yang mengalir lewat keteduhan matanya.
Gadis dengan mini dress selutut dan tas selempang mungil yang melingkar di lehernya itu masuk setelah pintu terbuka.
Bibirnya sedikit terbuka, namun rasanya begitu kaku untuk mengeluarkan suara meski itu hanya dua kata. Atau, kalau Leia ingin mempersingkat, dia bisa menggunakan tujuh huruf.
Makasih.
Itu saja.
Sayangnya tidak. Hingga sedan putih itu melaju berpuluh-puluh meter menyusuri jalan, Leia masih setia dengan kebisuannya. Bibirnya terlalu kelu untuk membuka suara dan memulai obrolan dengan pria yang kini tengah berkonsentrasi penuh mengemudi.
Mungkin dia bisa mengatakan kalimat terima kasih dengan bahasa lain.
Tapi apa?
Bahasa isyarat?
Ah tidak, tidak! Terlalu sulit ditebak.
Lalu apa?
Bahasa Kalbu?
Not a good idea.
Terlalu romantis untuk dirinya dan Aryan yang tidak berhubungan dengan baik.
Gadis itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri, saat tanpa ia sadari sepasang mata sedang memerhatikannya melalui kaca spion.
Merasa canggung, gadis itu melempar pandangan ke luar jendela.
Pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang pinggiran jalan menjadi pemandangan yang lumrah di Ibukota.
Tanpa ragu, para pedagang menjajakan barangnya di jalan yang seharusnya menjadi hak para pejalan kaki.
Entah bagaimana lagi pemerintah harus bertindak. Digusurpun rasanya terlalu kejam. Menjajakan dagangan di jalanan, tentu saja bukan hal yang tanpa resiko. Tapi mereka lakukan demi mencari nafkah dan menghidupi keluarga.
Lain lagi jika sebelum memutuskan suatu kebijakan, pemerintah menyiapkan lahan khusus untuk para pedagang menggelar lapaknya.
Memberikan lebih banyak lagi peluang pekerjaan untuk para pengangguran.
Huh....
Leia mengembuskan napas, jengah. Memikirkan hidupnya saja sudah membuatnya mumet. Sekarang dia malah sibuk mengomentari pemerintah.
Pusing dengan segala keruwetan di otak, Leia memutuskan untuk membuka suara.
"Mm ... Kita mau kemana?"
Lihat, bahkan untuk menyebut nama Aryan saja dia tidak bisa.
Benar-benar loser.
Aryan tidak langsung menjawab. Pria itu justru hanya melirik Leia dengan ekor mata.
"Kita mau kemana?"
Leia mengulangi pertanyaannya.
Dan Aryan masih bungkam.
Membuat Leia kesal setengah hidup.
"Aryan!" bentaknya emosi.
Akhirnya Aryan merspon, dengan senyum simpul menghiasi wajah tampannya.
"Nah, gitu dong. Kan aku jadi tahu kalau kamu lagi ngajak ngomong aku."
Sumpah ya, nih orang.
Suka banget bikin darah Leia naik sampai kedua pipinya memerah.
Nadhira ... Ngutuk suami sendiri dosa nggak, sih?