webnovel

6

Aku mencoba memanggil seseorang untuk mengeluarkanku dari sini, padahal tahu dengan apa jawabannya. Sambil menggedor-gedor pintu yang terkunci, seperti orang kesetanan. Entah jam berapa sekarang, yang pasti ini sudah empat belas jam dan aku masih terjaga dengan kepala yang tak henti menghitung waktu. Dengan kaki yang lemas karena makanan yang terakhir kali kumakan adalah bubur dan segelas air, aku mencoba bangkit dari kasur. Pikiranku mulai kacau karena ruangan ini. Aku terhuyung dengan badan lemas ke kasur dengan kesadaran yang menghilang.

Aku kembali bangun dengan keadaan kepala pusing dan perut kosong. Perhatianku tertuju pada asal bau harum makanan yang ada dalam nampan di atas meja. Pelan, aku bangkit dari kasur dan mengambil nampan yang berisi semangkuk bubur dan segelas air. Menu yang sama seperti sebelumnya. Apa mereka ingin membuatku terjaga lagi seperti sebelumnya? Aku tidak bisa membuat otakku lebih cemas dari sekarang, ini bahaya. Tapi, aku juga sangat lapar dan ini adalah satu-satunya cara aku bisa bertahan hidup.

Tanpa pikir panjang aku menyantap semangkuk bubur karena baunya yang tak bisa ditolak oleh perut kosongku yang terus meronta meminta di isi. Aku terdiam sesaat saat menelan satu sendok bubur. Tidak ada rasanya, aku mencoba meminum air dan kembali menyuap sesendok bubur. Masih saja tak ada rasa pada bubur ini. Mereka mengisolasi perasaku setelah warna kah? Tapi, aku tetap menghabiskan bubur tak enak ini karena sangat kelaparan dan meminum air sampai habis. Aku merasa lega dan bersandar pada dinding ruangan setelah kenyang. Entah berapa lama aku bisa bertahan seperti ini, dengan permainan psikologi yang mengerikan.

Aku kembali menghitung waktu dari awal, seperti aku mendapat makanan agar mengetahui berapa lama jangka waktu aku bisa bertahan sampai kembali tertidur. Sambil bersenandung musik klasik dan mengetukkan jariku di meja, aku menutup mataku guna mengurangi kecemasanku yang meningkat setelah makan.

Aku masih terjaga di hitungan ke enam belas jam ini walau tak memiliki tenaga dan perut yang kembali meronta meminta diisi. Sepertinya kemarin aku terlalu lelah berteriak dan memukul pintu sampai kelehan dan hanya bisa bertahan selama empat belas jam. Aku berbaring di kasur dengan pikiran yang semakin kacau.

Rasanya sangat mengerikan. Aku mulai merasa gugup dan mudah cemas. Aku juga mulai tidak merasa lapar karena bubur itu, jika bukan lututku yang terasa lemas saat aku mencoba bangkit dari tidur. Apa tak ada jalan keluar dari sini? Apa ini akan terus berlanjut? Apa jangan-jangan aku sudah mati? Apa mereka membunuhku? Kenapa mereka melakukan ini padaku? Apa salahku? Hentikan! Aku tidak ingin seperti ini. Pikiran itu terus berulang-ulang dalam otakku tanpa henti dan membuatku semakin sesak.

Aku kembali terbangun untuk ketiga kalinya dalam ruangan ini, tapi dengan tekanan pikiran yang semakin meningkat. Dan lagi, aku akan memakan bubur dan segelas air tanpa rasa dalam ruangan ini untuk bisa bernafas lega. Tapi, kali ini aku membiarkan diriku berbaring di depan satu-satunya pintu dalam ruangan ini, dan membiarkan diriku kembali terlelap karena kelelahan. Kuharap pintu ini tidak bisa dibuka karena badanku yang menahannya, dan kita lihat apa yang akan mereka lakukan.

Dan saat aku kembali terbangun dengan kepala pusing, perhatianku tertuju pada nampan yang sudah berganti baru dengan bubur dan segelas air lagi di atas meja. Lalu, diriku yang terbaring di atas kasur, bukan terakhir kali aku berbaring. Tubuhku mulai bergetar ketakutan karena kepalaku mulai berhenti berpikir positif dan wajar. Semua pemikiran negatif dan kecemasan menyelimuti pikiranku. Semuanya membosankan.

Dengan gontai aku menyuap sesendok bubur dan tak merasa apa pun selain hambar. Aku mengambil segelas air di atas meja, meneguknya sampai habis dan melemparnya ke dinding hingga pecah. Nafasku memberat dengan tubuh yang getir berjongkok mengambil pecahan gelas dan menyayat lengan kiriku hingga keluar darah segar yang mengotori lantai putih ini. Dengan senyum miring melihat darahku sendiri, aku bernafas lega.

Aku mengusap darahku dan melihat ke langit-langit sambil menggigit bibir bawahku menahan tubuh getirku yang semakin tenang. Rasanya sangat lega saat melihat warna merah yang cerah selain putih dan hitam yang sangat muram.

"Kupikir aku sudah mati", itulah yang kuucapkan pada diriku sendiri sebelum terlelap tidur karena rasa pusing yang mengambil kesadaranku.

Aku kembali terbangun di ruangan yang sama, tapi sudah bersih dan lenganku yang diperban, lalu nampan yang berisi makanan baru. Karena merasa terbiasa dengan keadaan seperti ini, aku mengambil nampan itu dan memakan semangkuk bubur ini seperti biasanya. Tapi, nafasku tercekat setelah menelan habis semua bubur ini. Suaraku tercekik saat hendak berdehem karena lidahku yang terasa kelu, sulit digerakkan. Aku meminum segelas air dan kembali mencoba mengucapkan sesuatu. Aku tak mendengar apa pun yang keluar dari bibirku walau berteriak sekali pun. Apa aku tuli?

Aku mendekatkan telingaku ke lantai dengan lengan yang mengetuk-ngetuk lantai. Aku bisa mendengar suara ketukan tanganku pada lantai, tapi tidak bisa mendengar suaraku. Aku bangkit dari dudukku di lantai dan menggemeletukkan gigiku. Aku juga mendengar suara gemeletuk gigiku. Mereka mengambil suaraku kah? Sekarang mereka membuatku bisu setelah buta warna dan kehilangan nafsu makan. Apa setelah ini mereka akan mengambil kaki dan tanganku agar tidak bisa bergerak?

Aku membaringkan diriku kembali di kasur dengan menutup mata, memaksa diriku agar tidur padahal baru saja terbangun dengan kepala yang masih terasa pusing. Sudah sepuluh jam aku dengan posisi yang sama dan semakin tenang untuk menghemat energiku. Kuharap ini cukup untuk bisa keluar dari sini. Tepat seperti perhitunganku, mereka akan membuka pintunya saat aku terlalap tidur. Dengan sigap aku bangkit dari kasur walau kepalaku tengah pusing dengan telinga yang berdengung. Sekuat tenaga aku menarik pintu, mengunci seseorang yang masuk mengganti nampan makanan.

Aku terus berlari dalam koridor sepi ini tanpa menoleh ke belakang. Sampai jantungku berdetak pelan dan keringat dingin yang keluar dari pelipisku, aku melanjutkan jalanku walau tahu kalau cepat atau lambat mereka akan menemukanku dan kembali mengurungku.

Ini sudah dua jam di tempat yang terlihat sama, koridor ini seakan-akan tak memiliki ujung. Langkahku mulai gontai dengan pikiranku yang semakin kacau. Tak ada satu pun pintu yang bisa dibuka di sini, dan walau pun aku berteriak meminta tolong, hanya ada kebisuan karena pita suaraku yang menghilang. Sekelebat cahaya mengalihkan perhatianku dan berlari dengan sisa tenagaku ke arahnya. Mataku berbinar menemukan pintu yang terbuka dengan sekelebat cahaya keluar dari sana. Tapi, ini sedikit aneh untuk orang yang dikurung sepertiku. Mereka tidak mungkin membebaskanku semudah ini.

Aku keluar dari pintu ini dan kembali melihat pemandangan dunia yang sangat kurindukan. Tapi, semuanya terlihat membiru. Mungkin langit terlihat wajar jika berwarna biru, tapi daun, tanah, dan pohon terlihat biru. Ada apa dengan mataku?

Aku kembali berlari dengan panik melihat ke sekelilingku yang terlihat membiru. Aku mencoba memetik dauh dan melihat getah yang berwarna biru, lalu menggali tanah dan masih tetap menemukan warna biru. Sampai aku tiba di sebuah sisi sungai yang terlihat airnya membiru. Aku melihat ke dalam sungai, menemukan banyak ikan berenang di dalamnya. Hanya saja, warna biru ikan itu menggangguku. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan mataku? Kepalaku sangat pusing dengan warna ini.

Aku mengabaikan kondisi penglihatanku dan menyusuri hutan ini, mencari jalan keluar setelah meminum air sungai, setidaknya mengurangi rasa hausku karena kelelahan berjalan sejauh ini. Saat kakiku melangkah ke sebuah kerikil yang hangat, mataku melihat ke sekitar dan melihat jalan tol yang tengah kupijaki. Aku kembali berlari menyusuri jalan lainnya mencari seseorang yang mungkin lewat.

Tapi, aku dikagetkan dengan beberapa orang yang keluar dari perbatasan hutan, dan lagi pakaian mereka sama denganku. Sebenarnya aku ingin bersembunyi kalau bukan mereka yang terlebih dahulu menemukanku. Seseorang dari mereka menghampiriku yang tak lain adalah Cath. Entah bagaimana, aku merasa kasihan padanya bisa bertahan sejauh ini. Dan lagi, Marcello yang memimpin kelompok kabur itu pastinya. Sekarang aku mengerti kenapa tak ada satu pun penjaga yang mengejarku. Itu karena mereka ikut sibuk mencari kelompok yang melarikan diri selain diriku.

Marcello melambaikan tangannya agar semua orang mengikutinya dan memimpin orang-orang ke arah jalan yang kususuri.

Dengan tergesa-gesa, Cath menarik lenganku untuk mengikuti rombongan. Hanya ada tujuh orang yang tengah berlari mencari jalan keluar di sini, aku mulai mempertanyakan ke mana ribuan orang yang banyak itu. Aku ingin menanyakan banyak hal pada Cath, tapi suaraku masih hilang.

Aku menarik lengan Cath balik dan membuatnya menengok ke arahku dengan kepala yang miring ke kanan, seperti menanyakan kenapa. Aku menunjuk bibirku, lalu mengepalkan tanganku dan membukanya berulang. Cath masih terdiam mencerna kodeku dengan wajah datarnya, ini pertama kalinya aku melihat wajah sedatar itu, apa ini wajah aslinya?

Menunjuk bibirnya dan menaikkan dua jari tangannya yang turun, itulah jawabannya membuat semakin ketakutan. Semua orang di sini menjalani hal yang sama? Jika ya, tak akan ada penukaran pendapat atau pertanyaan yang terjawab.

Aku kembali menarik lengan Cath agar menengok ke arahku. Aku menunjuk ke arah mataku dan menuliskan kata 'biru' di telapak tangannya, mencoba mempermudah komunikasi kami. Cath tersenyum miris sebelum mengangkat kedua jarinya lagi, membuatku tenang karena bukan hanya aku yang melihat semuanya membiru. Sebenarnya, kenapa ini bisa terjadi?

Aku tersenyum seperti awal kami bertemu pada Cath saat dia kembali menengok ke arahku dan mendapat hembusan nafas gusarnya. Aku senang bisa mempertahankan sikap wajarku, karena masih meragukan semua yang terjadi sampai sekarang. Kalau kulihat lagi, tujuh orang yang tengah melakukan pelarian ini memiliki ras putih. Cath yang melihatku memperhatikan keenam orang yang berjalan di depan kami melepas genggamannya pada lenganku dan memetik sebuah daun dari pohon sambil mencoret-coret sesuatu di atasnya dengan ranting kecil. Cath menunjukkan isi daun yang telah digoresnya dengan ranting padaku.

"Hanya ini yang bisa keluar, sisanya tertangkap saat melewati pagar", tulis Cath, mengetahui pertanyaan yang ada dalam kepalaku. Aku menyendikan kedua bahuku tak peduli. Perhatianku tertuju pada tangan Cath yang tengah menggenggam sesuatu.

Aku mengambil daun yang sudah dicoret oleh Cath dan menuliskan pertanyaanku, lalu menunjukkan padanya.

"Berapa lama kita terjebak di tempat itu?", tanyaku pada Cath. Cath mengangkat semua jarinya dengan ragu, membuatku cukup kaget. Jadi, ini lebih seminggu?

Saat kami tiba di jalan raya yang padat, semua orang yang berlalu di trotoar jalan menatap kami dengan aneh. Semuanya mulai berpencar, kecuali Cath yang tertahan karena lengannya yang tak kulepaskan. Aku menarik lengan Cath agar mengikutiku, tapi dia menepis tanganku agar melepaskannya dan menatapku dengan wajah datarnya. Ada apa?

Cath menunjuk papan jalan ke arah Watford, mengatakan dia ingin pulang. Dengan egoisnya aku menunjuk ke arahnya dan diriku, mengangkat dua jariku dan menunjuk kepalaku. Mengatakan kalau dia dan diriku sama, dan kupikir dia harus mengikutiku. Cath tak menjawab dan tak melawan saat aku kembali menarik lengannya untuk mengikuti langkahku. Ini pertama kalinya aku di tempat ini dan aku kurang tahu tempat-tempat di sini. Cath yang nampak kebingungan melihatku saat menatap peta jalan yang ada di papan jalan menepuk pundakku agar melihat ke arahnya. Aku menengok ke arah Cath yang menunjuk pusat kota Harrow dan kantor polisi di dekat kami berada sekarang.

Aku mengerti apa yang tengah Cath rencanakan agar kami bisa ke rumahku. Tapi, ke kantor polisi bukan kah hal yang terlalu berlebihan. Bagaimana jika mereka menanyakan hal yang tidak-tidak pada dua orang remaja yang datang di tengah malam seperti ini. Angkutan umum pun tak ada di tengah malam seperti ini, dan lagi kami tak memiliki uang untuk menaiki taksi. Lalu, berjalan ke rumahku tak seperti melangkahkan satu kaki akan sampai. Aku berpikir cukup lama sampai melihat dua orang mabuk yang tengah mengendarai motor tak terarah dengan benar di sisi jalan. Aku meminta Cath untuk menungguku, tapi dia malah ikut-ikutan mendorong kedua pria yang mabuk itu jatuh dari motornya. Karena mereka tak sadarkan diri dan tak melakukan perlawanan, kami membawa motor mereka dengan cepat menembus jalan raya. Aku sedikit tergelitik mengingat ini pertama kalinya aku mencoba mengendarai sebuah motor dan tak memiliki sim. Tapi, aku cukup antusias karena mengendarai motor ini sama seperti sebuah sepeda, hanya tak memiliki pedal untuk kayuh.

Tak lama, kami sampai di depan rumahku, berkat mengikuti papan jalan. Tapi, aku tidak bisa menghentikan motor ini dan kebingungan mencari remnya hingga kami jatuh menabrak sebuah pohon yang untungnya tak sangat keras karena aku melepas pedal gas motornya. Aku membantu Cath bangkit dari jatuhnya dan dengan tergesa-gesa berlari ke arah rumahku. Aku menaiki tangga ke atas balkon diikuti oleh Cath dan membuka pintu kamarku dengan kunci yang biasa kusimpan dalam pot kaktus samping pintu. Saat masuk, yang pertama kulakukan adalah mengunci pintu kamarku, jaga-jaga jika ayah atau ibuku masuk. Tapi, aku dikagetkan dengan lilin merah di atas mejaku dan sebingkai gambarku yang di sampingnya ada bekas dupa serta sebuket bunga mawar putih. Apa maksud dari ini?