webnovel

10

Melihat dari pola potongan mayat-mayat yang ada di sini, dia tak bisa membunuh mayatnya dengan cepat, dan hanya bisa memotong satu-persatu bagian tubuh korbannya di waktu yang jauh berbeda. Dia membuatku terkesan karena setiap potongannya tepat pada titik syaraf manusia dan akan mengakibatkan pendarahan yang fatal. Aktivitasku terhenti saat suara gesekan besi saling beradu, membuatku menoleh ke asal suara dan melihat partnerku tengah bertarung dengan seorang perempuan yang juga sama-sama menggunakan katana.

'Hati-hati loh. Dia mengincar titik sarafmu', peringatku dengan nada malas karena memungut radar yang terjatuh milik pria itu. Sementara mereka sibuk berkelahi, aku masuk ke dalam air sambil membawa radar di tanganku. Aku tersenyum miring saat melihat titik milikku menghilang jika aku berada dalam air. Jadi, pelacak ini sama seperti infra merah ya. Tapi, aku masih belum tau di mana mereka meletakkan pelacaknya. Pastinya mereka meletakkannya di bagian dekat saraf kami agar tak mudah dikeluarkan.

'Hey nona! Apa kau tahu di mana alat pelacaknya berada?', tanyaku sedikit mengganggu perkelahian mereka.

'Aku akan memotongkannya untukmu', sinisnya yang tak henti-hentinya menyerang partnerku dengan membabi buta. Katakan saja jika tidak tahu. Aku mengeluarkan belatiku dan mulai memotong satu persatu potongan mayat di sini. Aku merasa seperti pembunuh yang suka memutilasi. Tidak, tidak! Berapa kali pun aku melihatnya, rasanya selalu memualkan.

Anggap saja ini adalah film yang selalu kutoton di deep web. Jadi, film tidak senonoh seperti memutilasi itu sedikit berguna agar aku tidak muntah saat melakukan ini.

Aku lelah, sudah lima potongan mayat yang kugeledah tapi tak kunjung menemukan alat pelacak dalam tubuhnya. Aku hanya menemukan keaneh pada potongan mayat ini, kulit pada bagian terkena sayatan mereka terinfeksi sesuatu yang membuat pendarahannya semakin fatal. Apa ini racun? Jika ya, perempuan itu akan lebih unggul dalam perkelahian ini.

Jleb

Saat aku berbalik hendak memberi tahu partnerku tentang racun ini, sebuah katana menembus jantungku yang tak berdetak ini. Rasanya besi yang dingin masuk ke dalam badanku menembus dari belakang ke depan. Aku dapat melihat ujung katana yang menembus badanku, dan menemukan sebuah chip kecil yang ikut keluar dari tubuhku. Aku mencabut chip itu dari ujung katana dan memperhatikannya dengan intens. Tidak salah lagi, ini adalah alat yang dipasang pada kami untuk bisa dilacak.

'Kau membuatku kaget. Tapi, terimakasih sudah membantuku menemukan alat pelacak ini', ucapku, membuat perempuan itu mencabut katananya dan hendak menebas leherku, namun kutangkap dengan cepat. Wajahnya pucat pasi saat aku dapat dengan cepat menangkap pergerakannya. Dia mencoba menyerangku dari sisi kiri, seperti yang sudah kutebak. Tapi, tiba-tiba saja mata kami bertemu, membuatnya melompat menjauh dariku. Menyadari dia akan kabur, aku melepaskan beberapa peluru dari pistol yang terburu-buru ku keluarkan.

Perempuan itu terjatuh ke tanah seperti burung yang baru saja ditembak senapan. Sepertinya satu peluru saja cukup untuk membunuhnya, aku harus menghemat peluru. Aku mencari keberadaan partnerku yang ternyata tengah tak sadarkan diri dengan luka tusukan pada bahu kirinya.

Aku menyobek pakaiannya dengan belati di tanganku untuk melihat lukanya yang sudah terinfeksi oleh racun dan darah yang tak henti-hentinya keluar. Aku tidak tahu jenis racun apa ini dan lagi tak ada seorang pun yang bisa membantu. Dia akan mati pendarahan jika kubiarkan. Apa yang harus kulakukan?

Tanpa pikir panjang, aku menghisap luka pada bahunya, berharap semua racunnya bisa kukeluarkan. Aku mengusap sudut bibirku yang berlumuran darah pria ini setelah merasa pendarahan pada lukanya berkurang. Perlahan luka pada bahunya menutup dengan pelan, sama seperti dada kiriku yang sudah beregenerasi sedari tadi. Apa air liurku yang menyembuhkannya?

Bahaya. Jika dia bangun dan melihat ini semua, dia pasti akan menanyakan banyak hal padaku. Sebaiknya aku pergi, tapi tetap saja akan meninggalkan kejanggalan. Perhatianku tertuju pada perempuan yang tadi kubunuh. Dia memiliki fisik yang hampir sama denganku, mungkin sedikit penyamaran akan sama sepertiku.

Aku menyeret perempuan itu dan mengganti pakaian miliknya dengan pakaianku, sementara aku memakai pakaiannya yang ternyata pas denganku. Entah sejak kapan aku secabul ini, tapi kalian tidak bisa menuntut seseorang yang tak memiliki gender. Aku merasa sedikit ragu saat melepaskan ikat rambutku. Lupakan, aku tidak akan meninggalkan yang satu ini.

Aku meninggalkan semuanya kecuali ikat rambut yang kupakai dan buku isyarat tangan dan membawa semua yang dimiliki perempuan itu pergi. Aku melihat radar yang kuambil dari perempuan itu, dengan senyum puas saat melihat diriku tidak terlacak. Dengan begini, aku akan leluasa berburu. Jadi, ayo kita selesaikan permainan ini.

Streeet

'Ini yang ke sembilan', ucapku setelah mengayunkan katana menebas kepala seseorang hingga terbelah menjadi dua. Aku merenggangkan badanku sebentar sebelum sebuah suara dari sebuah speaker yang tergantung di pohon berbunyi. Aku lupa kalau mereka masih bisa mengawasiku dari cctv walau tak muncul dalam pelacak radar.

"Kembalilah ke gerbang terakhir!", perintah suara itu membuatku mendengus gusar dan memulai jalan ku menuju gerbang tempat di mana aku telah di usir.

Masih ada dua puluh orang lagi di sini, apa mereka tidak ingin aku menghabisi semuanya? Sebenarnya apa yang ingin Zya menangkan dari bertaruh padaku pada tes ini? Entahlah, jika mereka membukakan gerbangnya, aku akan menghancurkan semuanya. Ya, semuanya!

Sesampainya aku di depan gerbang yang sudah terbuka lebar, semua pasukan berjaga di depan bangunan dengan senapan laras panjang mereka yang membidik ke arahku. Dengan katana tumpul ini, apa aku akan menang?

"Tujuh delapan kosong satu, lemparkan senjatamu dan angkat kedua tanganmu!", intruksi seseorang yang berdiri di balkon bangunan. Sebenarnya aku tidak suka kekerasan dan sesuatu yang merepotkan.

Jadi, aku mengambil katana yang tertaut di sisi pinggangku dan hendak melemparnya ke depan sambil melihat Zya yang juga memperhatikanku dari sana, dia tersenyum sinis padaku. Apa dia memenangkan taruhannya?

Tanganku mengeras, menggenggam kuat katana di tanganku dan berlari ke depan menembus hujan peluru. Sakit? Aku tidak merasakannya lagi. Semuanya terlihat merah dan basah. Semuanya, terlihat dan terdengar seperti neraka.

Jeritan yang memekakkan telinga dan bunyi peluru yang semakin berkurang dalam tempat ini menggema. Sedikit lagi, tanganku akan menggengam warna hitam itu. Hitam yang sangat pekat, tapi sesuatu yang mencekik menangkap leherku, membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh di tanah. Aku tidak bisa menggerakkan badanku, bahkan memutar mataku. Mereka memasangkan sesuatu ke leherku. Apa ini?

Mereka mengangkatku ke atas kursi roda dan mengikatku agar tak jatuh dari kursi ini lalu mendorongnya masuk ke dalam bangunan. Seharusnya aku lebih hati-hati lagi mengingat mereka pasti tahu ke mana aku akan menggapai. Zya tidak mungkin melepaskanku begitu saja setelah ini.

Mereka menempatkanku di ruangan yang cukup luas. Semuanya putih setelah pakaianku mereka ganti dengan putih lagi. Aku masih tak dapat bergerak karena kalung yang terpasang di leherku. Aku mencoba memaksakan diriku agar bergerak, tapi malah membeku merasakan sakit pada tengkukku yang menjalar ke seluruh badanku. Rasa sakit yang sangat mengerikan sampai-sampai membuatku pasrah.

Lima jam berlalu dengan perasaanku yang semakin bosan. Tiba-tiba kunci kalungnya terbuka dan membuatku terlepas dari ikatan. Tapi, aku masih merasa lemas karena kalung itu menguras habis tenagaku. Aku merenggangkan badanku sambil bangkit mengitari ruangan ini. Badanku terasa lega setelah terlepas dari benda mengerikan itu. Tiba-tiba pintu ruangan ini terbuka dan menampilkan sesosok pria berbadan besar dengan mulut terjahit yang masuk dengan pedang besarnya. Dia menghampiriku, mengayunkan pedang tajamnya ke arahku. Aku mengelak dan menghindar darinya dengan menjaga jarak cukup jauh. Zya benar-benar ingin menyiksaku.

Pria itu terus menyerangku dan semakin memababi buta, sementara diriku hanya bisa menghindar darinya karena tak memiliki senjata apa pun. Mungkin aku akan mencoba merebut pedangnya, dan menyerangnya. Dan saat pedang yang dipegangnya terlepas karena tendanganku pada lengannya, dengan cepat aku mengambil pedang itu. Tapi, pedang ini malah tak bisa kuangkat karena sangat berat. Astaga, makan apa saja aku selama ini sampai pedang ini sangat berat.

Aku kembali menjauh karena pria itu hendak menangkapku saat aku tak bisa mengangkat pedang miliknya. Dia mengambil pedang itu lagi dan kembali menyerangku. Aku tersudut di ruangan ini karena berlari secara acak dari tadi. Saat aku hendak melompat, mengelak dari tebasan pedangnya, pergelangan kaki kiriku ditangkapnya dan diayunkannya hingga tubuhku terlempar menubruk dinding dengan keras. Aku mencoba bangkit tapi pedang itu dengan cepat menebas ke bawah dari atas dan

Ini tidak error atau apa. Aku memang tidak menyelesaikannya, karena berpikir. Ouh, ini cerita yang sangat membosankan dan kalian sudah dipastikan tidak akan membacanya sampai selesai. Jadi, kau bisa mencari kelanjutannya di wattpad.com dengan judul yang sama dengan nama pengarang @ms_darkpeach. Sekian terimakasih.

Ms_DarkPeachcreators' thoughts