webnovel

Bab 25

"Jangan mendiamkan Rindi terlalu lama, Hyung. Dia sudah banyak melalui kesulitan Kau tahu itu kan?" ucap Victor yang sedang ada di studio Stefano siang ini.

Fano diam saja dan hanya mengaduk-aduk ice americano miliknya dengan sedotan. Terdengar laki-laki irit bicara itu menghela napas berat. Victor menepuk pundak Stefano pelan. Seakan dirinya sedang mentransfer energi positif pada Hyung kedua di grupnya dulu itu. Stefano menoleh ke arah Victor kemudian tersenyum tipis, kepalanya mengangguk mengiyakan perkataan Victor tadi.

Victor kemudian seperti mengingat sesuatu. Victor mendekat pada Fano kemudian berkata dengan pelan.

"Kenapa kalian tidur terpisah? Sebenarnya Aku ingin menanyakan ini dari kemarin-kemarin. Tapi Aku lupa," bisik Victor.

Wajah Stefano berubah pucat, laki-laki itu bingung akan menjawab apa. Dia tidak ingin ada yang tahu lagi tentang pernikahannya dengan Rindi yang hanya secara kontrak. Stefano meminum americanonya cepat untuk menghilangkan gugup. Victor melihat sikap Stefano yang berubah jadi salah tingkah itu. Victor yakin ada yang tidak beres dengan pernikahan Fano dan Rindi tapi apa itu.

Victor sudah membuka mulutnya lagi akan menanyakan hal itu pada Stefano. Tapi kemudian pintu studio Fano terbuka dan Hyu Jin masuk bersama Bang Hyu Sik ayahnya dan juga atasan Stefano di agensi. Victor dan Stefano bersamaan berdiri dan membungkukkan badannya pelan.

***

Rindi baru saja mengoleskan salep pada lebam dan luka yang dia miliki. Rindi menghela napas pendek sambil melirik jam dinding yang tergantung di ruang televisi itu.

"Dia pulang terlambat lagi," lirih Rindi kemudian meletakkan salep di atas meja.

Rindi menyandarkan tubuhnya ke sofa, sudah 1 minggu ini Stefano sering pulang terlambat. Bahkan suaminya itu kembali dingin seperti dulu padanya. Mereka hanya berkomunisi seadanya. Rindi mengusap wajahnya pelan, Rindi kemudian berjalan ke dapur untuk membuat minum. Sesampainya di dapur ponsel yang ada di saku celananya bergetar. Mata Rindi melotot melihat nama yang tertera di layar.

"Ne, Aboenim," sapa Rindi.

Tidak biasanya mertua laki-laki Rindi menelpon, kalau ibu mertuanya memang hampir 2 hari sekali menelpon Rindi walaupun hanya sekedar menanyakan kabar Rindi dan Stefano.

Rindi mendengarkan dengan seksama perkataan Ayah mertuanya. Sesekali Rindi menjawab dan menganggukkan kepalanya mengiyakan. Beberapa menit kemudian sambungan telepon itu terputus. Rindi menghela napas lalu meletakkan ponselnya di meja dapur. Pikirannya menerawang mengingat perkataan mertuanya tadi.

Ini kali pertama setelah beberapa hari Rindi dan Stefano tidak makan bersama. Keduanya sedang duduk bersama di meja makan menikmati sarapan. Rindi yang sudah sehat sudah akan bersiap ke kampus hari ini. Rindi melirik Stefano yang diam saja lalu kemudian berdehem pelan. Stefano mendongak dan memandang Rindi sekilas.

"Ada yang mau Kau sampaikan?" Tanya Stefano kemudian kembali fokus pada makanannya.

Rindi ragu-ragu akan menyampaikan pesan dari Ayah mertuanya. Rindi menarik napas dan memberanikan dirinya untuk mengatakannya.

"Kemarin, Aboenim menelphone. Beliau bilang besok perayaan hari meninggalnya Helmoeni. Apakah Aku boleh pergi ke sana? Aboenim bilang sebagai menantu Aku harus menyiapkan semua makanan untuk prosesi upacara," ucap Rindi pelan.

Stefano mendongak dan memandang Rindi. Sebenarnya Dia ingin melarang Rindi pergi, toh Rindi tidak pandai memasak makanan Korea. Lagi pula menyiapkan itu semua pasti melelahkan. Mengingat Ibunya selalu kelelahan setelah acara itu. Stefano diam sesaat lalu kemudian menganggukkan kepalanya mengiyakan.

"Pergilah! Aku tidak bisa mengantar, tapi nanti Aku akan menyusul," tukas Stefano.

Rindi tersenyum girang kemudian menganggukkan kepalanya. Tidak apa-apa dia berangkat sendiri, toh dia tahu jalan. Yang penting Dia bisa membantu mertuanya walaupun hanya sekali saja. Pembicaraan mereka terhenti begitu saja setelah ijin dari Stefano turun. Suasana meja makan kembali sunyi dan hanya ada suara piring dan sendok yang beradu, dan tentu itu milik Rindi yang tidak terlalu bisa makan dengan sumpit.

***

Rindi baru saja selesai bersiap untuk acara Jesa (Acara peringatan kematian leluhur). Rindi mengenakan setelan serba hitam mengikuti intruksi dari Ibu mertuanya tadi. Karena Ayah Stefano anak tertua jadi acara jesa di laksanakan di rumah mertua Rindi.

Pintu kamar Rindi di ketuk dari luar, Rindi yang sudah benar-benar siap membuka pintu. Ibu mertuanya berdiri di depan pintu dengan senyum mengembang.

"Kamu sudah siap-siap sayang? Para kerabat sudah datang, Kita harus menyiapkan makanan di atas meja altar," ucap Ibu mertua Rindi.

Rindi menganggukkan kepala mengiyakan ajakan Ibu mertuanya. Rindi kemudian mengikuti Ibu mertuanya berjalan menuju tempat ritual jesa.

Rindi dan Ibu Stefano sibuk menyiapkan segalanya. Sedangkan kerabat yang lain sedang asyik mengobrol satu sama lain. Rindi berkali-kali melirik jam tangannya karena sampai sekarang suaminya Stefano belum juga datang. Ibu mertua Rindi mengetahui kegelisahan Rindi, tapi bukan Chan kalau tidak telat di acara jesa.

"Tenanglah sayang, Chan pasti datang. Dia memang selalu datang di akhir, tapi tidak pernah sekalipun Dia melewatkan ritual ini," ujar Ibu Stefano menepuk pundak Rindu yang sedang menata buah di atas piring besar.

Rindi menoleh ke arah Ibu mertuanya kemudian tersenyum. Ternyata Dia ketahuan kalau sedang gelisah karena Stefano tidak segera datang.

"Bawa ini ke meja, biar Ibu yang melanjutkan pekerjaanmu," sambung Ibu Stefano lagi.

"Baik, Eommonim," jawab Rindi kemudian membawa piring berisi songpyeon ke meja ritual.

Benar saja apa yang di katakan Ibu mertuanya. Stefano tetap datang walaupun sudah mendekati waktu acara ritual. Rindi berdiri di samping Ibu mertuanya melihat semua prosesi acara. Setelah selesai mereka semua makan bersama, Rindi dan Stefano sengaja di masakkan terpisah oleh Ibunya. Karena mereka ingat kedua anaknya itu sudah memiliki keyakinan yang berbeda. Walaupun dengan pandangan tajam dan sedikit tidak suka dari para kerabat, tetap saja orang tua Stefano memperlakukan Rindi dengan special.

***

Rindi duduk di taman sambil memegang kertas yang beberapa bulan lalu dia tanda tangani. Matanya berkaca-kaca melihat tanggal yang tertera di atas tanda tangannya. Rindi tersenyum miris kemudian mengusap air matanya yang sudah menetes. Rindi melipat kertas itu kemudian memasukkannya ke dalam saku. Rindi berjalan masuk ke dalam rumah karena suasana sudah semakin larut.

Rindi melewati ruang kumpul keluarga setelah acara jesa selesai. Kerabat Ayah mertuanya dan juga kedua mertuanya sedang minum-minum sekarang. Sedangkan Stefano duduk di samping Ibunya sambil memainkan ponselnya. Rindi diam di tempat melihat keluarga itu, Rindi menghela napas pendek. Seharusnya memang Dia tidak masuk dalam keluarga ini, karena jelas sekali mereka ini berbeda dengan Rindi.

"Ya! Oppa, kenapa bisa Kau memiliki menantu yang berbeda denganmu. Lihatlah Dia tidak bisa minum-minum bersama Kita. Bagaimana Dia bisa akrab dengan keluarga kita," ucap Adik perempuan Ayah mertua Rindi.

Stefano mengalihkan pandangannya dari ponsel. Dia memandang Bibinya sedikit tidak suka, Stefano mendengus kemudian berdiri.

"Aku akan melihat Rindi, Dia baru saja sembuh dari sakit. Pasti Dia sekarang sedang kelelahan," tukas Stefano mencoba menghindari pembicaraan yang sensitif itu.

"Oh...baiklah nak, cepat lihat istrimu. Ibu lihat tadi Dia duduk di taman," timpal Ibu Stefano.

Kepala Stefano mengangguk, Ayahnya memberikan kode dengan anggukan kepala supaya Stefano sebaiknya memang pergi dari pembicaraan yang tidak penting ini.

"Lihatlah! Anakmu saja semakin tidak menghormati Kami bagaimana dengan Istrinya. Seharusnya Dia juga ikut berkumpul di sini bukannya diam di taman sendirian," tukas Adik laki-laki Ayah Stefano.

Mulut Stefano sudah akan terbuka menimpali perkataan kasar Pamannya itu. Tapi tangannya di tahan oleh Ibunya, supaya Stefano tidak bereaksi supaya tidak menimbulkan masalah.

Rindi yang masih berdiri tidak jauh dari situ terdiam. Dia bingung akan melanjutkan pergi ke kamar atau kembali ke taman saja. Rindi semakin menyadari posisinya dan perbedaan dirinya dan keluarga Stefano.

***

Rindi menangis di dalam mobil yang membawanya pulang ke Seoul. Sedari berpamitan dengan Ibu mertuanya tadi Rindi sudah menangis tersedu-sedu. Stefano terkekeh pelan melihat ekspresi wajah istrinya yang sedari tadi lucu menurutnya.

"Apa sebenarnya yang Kamu tangisi itu, kenapa sedari tadi Kamu tidak berhenti menangis?" ucap Stefano sambil fokus mengemudi.

Rindi menoleh lalu terisak lagi, Rindi mengusap wajahnya menghapus sisa-sisa air matanya.

"Aku sedih meninggalkan Eommonim dan Aboenim lagi. Entah kapan Aku bisa pergi ke sana lagi," sahut Rindi masih di sela-sela isak tangisnya.

Stefano mengerutkan keningnya kenapa Rindi berkata seperti itu. Bukankah bisa kapan saja Dia datang kalau Dia mau. Stefano juga tidak akan melarang itu.

"Kamu bisa pergi ke rumah mereka kapan saja, bukankah Kamu sudah hapal jalan ke sini?" tukas Stefano.

Rindi memandang Stefano sambil terdiam. Rindi tersenyum dengan air matanya yang masih saja menetes. Dia tidak menimpali perkataan Stefano baru saja.

***