webnovel

Zombie : walking dead

Penulis: Eshaa_
Sci-fi
Sedang berlangsung · 132.7K Dilihat
  • 302 Bab
    Konten
  • peringkat
  • NO.200+
    DUKUNG
Ringkasan

Dalam kurun waktu kurang 24 jam, semuanya berubah, kota metropolitan yang terkenal akan kepadatan penduduknya, seketika berubah menjadi kota mati yang padat akan zombie. Arjun, pemuda biasa yang kebetulan lahir dari keluarga konglomerat, harus memimpin teman-temannya keluar dari semua ini, menjauhi kota yang kini bahkan tidak layak di tinggali. Namun siapa sangka, jika ternyata ada yang lebih berbahaya dari zombie, yaitu pencipta zombie itu sendiri.

tagar
5 tagar
Chapter 1Begin

Juwita membuka matanya kala telinganya mendengar suara barang terjatuh di luar kamar. Gadis itu meregangkan badannya pelan lalu beranjak hendak memastikan, "Jam segini mama pasti belum pulang,"

"Wait, tapi kalo misal ada maling, terus gue di bunuh? Nggak deh nggak mungkin ada maling siang-siang gini, tapi gimana kalo setan, oh damn," gumam Juwita, "Mending gue ngintip dulu aja kan ya.."

Gadis itu segera meraih kursi tak jauh dari tempatnya berdiri, membawa benda itu menuju pintu kamar.

Juwita sesegera mungkin menaiki kursi dan mengintip lewat lubang fentilasi kamarnya.

"Fuck itu apa sial," mata Juwita terbelalak kaget, reflek melompat dari kursi dan kembali menuju tempat tidurnya, "Wait gue pasti lagi mimpi, Juw bangun udah sore, ntar mama pulang lo belum bangun bisa diomelin,"

Juwita menampar pipinya beberapa kali, "Aw sakit, duh bukan mimpi, aduh gue kudu gimana, oke keep calm Juwi, sekarang lo kudu gimana?"

"Ah hape mana aduh shit di mana sih?" Juwita meraba termpat tidurnya, mencari benda kotak pipih kesayangannya itu, "Telfon siapa? Mama? Oke kontak mama mana ya..,"

Dengan tubuh bergetar hebat, gadis itu mengotak-atik ponselnya mencoba menghubungi sang ibu. Namun nihil, beberapa kali ia mencoba menelepon ibunya, beliau tidak menjawab.

"Aduh mama.. Kenapa sih mama urgent ini. Oke Yeri dia satu satunya yang bisa gue andelin," Juwita kembali bergumam lirih, segera menghubungi sosok sahabatnya itu, "Halo Yerianaa..."

"Halo Juw ada apa?"

"Lo ngapain bisik-bisik gitu? Kenapa suara lo jadi serak juga? Lo habis nangis? Aduh Yer lo kenapa?"

"Ssttt diem, gue lagi ngumpet di bawa meja,"

"Oh...lagi main petak umpet?"

"Bukan.. ngumpet dari zombie, nyokap gue.. dia berubah jadi zombie.."

"HAH?! Di rumah gue juga ada Yer gue takut," Juwita tidak dapat menahan kepanikannya saat ini, "Gue harus gimana?"

"Nggak tau, sekarang aja gue juga nggak tau kudu gimana, mending lo sekarang telfon Arjun aja,"

"Gue lagi berantem sama dia,"

"Lo pilih gengsi apa nyawa Juw?"

"Oke bentar gue telfon dulu,"

"Oke..jangan lupa nanti bantuin gue,"

"Okeoke secepatnya gue ke rumah lo, sekarang lo tahan dulu oke, bye," Juwita mematikan sambungan telepon, lalu segera menghubungi sosok lain yang cukup di kenalnya, Arjuna.

"....bentar...."

Juwita dapat mendengar suara petasan cukup nyaring membuat dirinya kaget setengah mati, "Arjun, lo nggak lagi maen petasan kan siang-siang gini?"

"Itu bukan petasan...itu suara tembakan Juw,"

"Lo ngapain tembak-tembakan Jun? Bahaya!" Juwita mendengus kesal.

"Gue lagi nembak zombie, sekarang lo lagi di mana?"

"Gue di rumah, di kamar, nggak berani keluar, banyak zombie, takut,"

"Oke jangan panik jangan nangis, bentar lagi gue ke sana,"

"Jangan...nanti lo dimakan zombie gimana Jun?"

"Nggak usah khawatirin gue, khawatirin diri lo sendiri aja dulu oke, 15 menit lagi gue sampe,"

"Oke gue tunggu," mematikan sambungan telepon secara sepihak, Juwita menghela napas panjang, merebahkan tubuhnya kembali lalu menatap langit-langit kamar, "Mungkin gue lagi mimpi ya hahahaha,"

"Dan sekarang gue otw gila," gumam Juwita, "Mamah astaga, mamah,"

Juwita kembali beranjak, meraih ponselnya untuk kembali menghubungi sang ibu, "Ayo plis dong mama angkat,"

"Ayo maaa pliss," Juwita berjalan mondar-mandir dengan ponsel yang dia tempelkan di telinga, "Mama astaga maa plis angkatt,"

"Mama...hiks..mama plis angkat maa," lutut Juwita melemas hingga gadis itu jatuh tertunduk, "Plis maa...hiks...tolong angkat maa,"

Brakk

Juwita menoleh, pintu kamarnya di dorong secara paksa dari luar, "Arjun?"

"Itu lo kan? Arjuna hey?" Juwita berjalan mengendap-endap, "Jun? Itu lo kan?"

Hening hingga terdengar suara geraman dan gumaman dari luar. Mata gadis itu sontak terbelalak kala menyadari tidak hanya tersadapat satu suara, melainkan banyak dan saling bersahutan.

"Arjun plis jawab ini lo, Jun," Juwita memukul pintu kamarnya beberapa kali, tubuhnya merosot hingga kini tertunduk di lantai.

Dengan badan yang bersandar sepenuhnya pada pintu kamar, Juwita menenggelamkan kepala pada kedua lututnya, "Hiks..mama, mama di mana,"

"Mama oke kan? Mama...mama nggak papa kan?" gumam Juwita disela isakannya.

Brakk

Juwita mendongak, "Oh shit gue kudu gimana?"

Gadis itu segera berdiri, "Arjun mana sih lama banget,"

Brakk

Juwita terlonjak, "Iya santai dulu," gadis itu menyeka air matanya kasar, "Yang sopan deh, rumah orang ini,"

"Oh shit sekarang gue keliatan kaya pasien bipolar yang baru keluar rsj," Juwita mengacak surai hitamnya kasar, "Gue kudu gimana ini astaga,"

"JUWI,"

"ASTAGA AKHIRNYA! ARJUN GUE DI KAMAR," Juwita berteriak girang, "MEREKA MAKSA MASUK KAMAR GUE,"

"IYA BENTAR,"

Dor dor dor

"LO NGGAK LAGI MAIN PAPJI KAN JUN?"

"IYA, TAPI DI REAL LIFE," balas Arjun, "BUKA PINTUNYA! UDAH MATI SEMUA ZOMBIENYA!"

"NGGAK! BISA AJA LO ZOMBIE,"

"GUE ARJUN BUKAN ZOMBIE,"

Juwita berpikir sebentar, "BUKTIIN!"

"JUWITA AGNES JELEK KAYAK KODOK,"

"OKE DITERIMA," Juwita segera membuka pintu kamarnya.

"W-wow," mata gadis itu sontak melebar saat mendapati lantai rumahnya penuh dengan mayat yang bergelimpangan dan darah yang menggenang di mana-mana, "Ini ulah lo Jun?"

"Siapa lagi," Arjun tersenyum lebar, "Sekarang mending lo ke rumah gue, lebih aman,"

"Yeri! Kita harus ke rumah Yeri dulu,"

"Dia udah sama Mark tenang,"

"Tapi bisa aja-"

"Tenang oke, Yeri nggak papa," Arjun merengkuh Juwi ke dalam pelukannya.

"Mama-"

"Tante juga pasti nggak papa, jangan panik, sekarang kita ke rumah gue, bawa ini buat jaga-jaga," Arjun mengeluarkan sebuah revolver dari saku hoodienya lalu memberikan benda tersebut kepada Juwita, "Antisipasi,"

"Plis deh Jun," Juwita menggeleng ribut, "Nembak orang di free fire aja gue nggak bisa apa lagi di real life,"

"Beda, kalo di free fire objeknya manusia, kalo di sini zombie, gampang kok, lo bisa coba nanti," pemuda itu segera menarik lengan Juwita keluar rumah.

"Gila," Juwita mendesis, di depan rumahnya, puluhan bahkan ratusan mayat hidup berkeliaran dengan luka mengerikan di tubuh mereka.

Bau anyir tak terelakkan membuat gadis itu meringis.

"Nggak ada waktunya buat bengong Juw," Arjun menepuk bahu sahabatnya, "Ayo ke mobil gua,"

Juwita menurut, berjalan cepat namun setenang mungkin agar tidak mencuri perhatian zombie-zombie itu. Gadis itu segera memasuki mobil Mercedes-Benz G-Class milik sahabatnya, "Akhirnya mobil kesayangan lo ini ada gunanya sikit ya,"

"Banyak gunanya ya dia," Arjun mendengus sebal, "Apalagi buat ngelindes zombie,"

"Belum ada waktu 1 kali 24 jam dan lo udah berubah jadi psycho, woh keren," Juwita bertepuk tangan, menatap Arjun takjub.

"Gue bukannya psycho, cuma gara-gara keadaan aja sih," acuh Arjun, "Pegangan,"

"Hah? ARJUN GILA KAGET GUE," Juwita melotot kesal, pasalnya pemuda itu dengan seenaknya menginjak pedal gas tanpa aba-aba membuat kepalanya mambentur dashboard mobil, "SHIT ARJUNA YOU ARE THE REAL BASTARD!"

"KAN GUE UDAH BILANG JUWI! ITU DI SAMPING LO! TEMBAK!"

"HAH?"

Dor

Juwita mengerjap beberapa kali lalu menoleh, "YOU WANT TO KILL ME ARJUNA?!"

"NO I DON'T! CEPET TUTUP KACANYA!"

"IYA IH NGGAK USAH NGEGAS!" Juwita menatap Arjun sebal, segera menutup kaca mobil Arjun, "Kaget gue tau nggak! Gimana kalo pelurunya meleset kena pala gue?"

"Nggak akan, santai," Arjun tersenyum lebar membuat Juwita melotot sebal.

Anda Mungkin Juga Menyukai

Gempar Pribadi

Evan mengajak Zahra, calon istrinya, untuk bertemu di tempat favorit mereka malam ini. Tempat itu sebenarnya sebuah kafe yang menyediakan lokasi di pinggir sungai, yang lebih sepi namun estetik. Akhirnya, waktu yang dinanti oleh Evan pun tiba. Sesampainya di lokasi, Evan melihat Zahra dari kejauhan, namun Zahra terlihat sedang duduk berbincang dengan seorang lelaki misterius. Memakai topi, masker, dan kacamata hitam. Outfit yang cukup aneh mengingat ini adalah malam hari. Zahra juga terlihat akrab dengan lelaki itu. Evan yang posesif dan begitu mencintai Zahra langsung berprasangka buruk. Ia yakin Zahra sudah selingkuh dengan lelaki itu. Evan lantas berjalan mendekat ke arah mereka. Anehnya, Zahra justru berlari menjauh dari Evan bersama lelaki itu. Evan berteriak memanggil nama Zahra, namun sia-sia. Ia mencoba mengejar Zahra dan lelaki itu. Saat Evan berhasil meraih tangan lelaki itu, ia meninju wajah lelaki itu hingga roboh. Melihat hal itu, Zahra nampak ingin menolong. Tapi ia justru diminta oleh lelaki itu untuk segera pergi ke sebuah lokasi lain. Evan nampak hancur seketika. Momen itu dimanfaatkan lelaki itu untuk mendorong Evan hingga ia jatuh ke sungai kecil di samping kafe. Sebelum terjatuh ke sungai, Evan sempat meraih tangan lelaki itu, berpegangan pada arloji yang dipakai lelaki itu di tangan kirinya. Lelaki itu malah melepas arloji itu dan membiarkan arlojinya ikut jatuh bersama Evan. Semenjak kejadian itu, Evan berubah. Ia memutuskan hidup menyendiri di pedesaan bersama saudaranya. Bahkan ia memutuskan membuang smartphonenya karena tak ingin mengingat lagi kenangan tentang Zahra. Bertahun-tahun Evan hidup sederhana dan kacau akibat kejadian malam itu. Namun meski sudah bertahun-tahun mencoba melupakan Zahra, ia justru semakin penasaran siapa lelaki itu sebenarnya. Lelaki yang sudah merebut calon istrinya. Ia kemudian memutuskan untuk mencari siapa lelaki itu, dan jika nantinya dia harus bertemu Zahra, maka ia hanya akan mengucapkan selamat kepada mereka. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki dari lelaki itu adalah arloji yang secara tidak sengaja ikut digenggam dan jatuh bersamanya di sungai. Secara tak terduga, Evan mendapat kesempatan untuk bisa kembali ke masa lalu, tepatnya saat rekan sekantornya dulu, Dewi, yang juga adalah putri seorang ilmuwan, sedang membutuhkan seorang sukarelawan untuk mencoba mesin waktu yang diciptakan mendiang ayahnya. Evan langsung menyanggupinya, dan kembali ke masa lalu tepatnya di malam ia bertemu terakhir kali dengan Zahra di kafe, untuk mengetahui siapa laki-laki itu sebenarnya. Sebuah jawaban yang sangat mengejutkan Evan setelah tahu identitas sebenarnya siapa laki-laki itu.

Gempar_Pribadi · Sci-fi
Peringkat tidak cukup
19 Chs
Indeks
Jilid 1

DUKUNG