webnovel

Zhenda Safana

Namaku Zhenda,aku ialah gadis manis dan pemalu yang penderitaan di hidupku sangatlah pelik. Yogyakarta adalah tempat kelahiranku , dimana semua perjalanan aku habiskan di kota istimewa ini. Akan tetapi dibalik indahnya kota kelahiranku, diriku dilahirkan di dalam keluarga yang hancur, kedua orangtuaku berpisah dan pergi meninggalkanku sejak aku berumur 1,5 tahun. Sejak saat itu aku hanya mengandalkan badan dari Kakung , dia adalah Kakekku karena Nenek sudah meninggal. Namun, hanya Kakek yang ku banggakan, entah mengapa keberadaan Nenek semasa hidup tidak membuatku merasakan sosok pengganti Ibu. Kakek menjadi satu- satunya tangan kanan sekaligus harapan bagiku. Kakek yang membuatku dapat melalui segala rintangan pelik di dalam perjalanan hidup. Sampai pada akhirnya hariku menjadi tidak bergairah lagi, tak bergairah untuk melanjutkan menulis kisah hidupku di atas harapan. *** Di hari itu aku di diagnosa dokter sakit Tetralogy of Fallot sekaligus sang penyuntik harapan telah tiada, 17 Januari 2017 seakan dunia runtuh. Di umur yang ke 20 ini aku akhirnya memutuskan untuk tetap menjalani kehidupan baruku seorang diri sebagai remaja yang berjalan mencari arti kebahagiaan. Kebahagiaan datang, aku menemukan Lunar ,pria tampan dan dewasa. Ia yang membuat penghujung hariku kembali bermakna. Tetapi, bagaimanakah kehidupanku setelah itu ? ****

Galathea7 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
7 Chs

AKU DAN BAYANGAN KELAM

Yogyakarta, 17 Desember 2016

"Once I was seven years old, my mama told me"

"Go make yourself some friends or you'll be lonely"

Sambil mendengarkan lagu kesukaanku sembari termenung memikirkan bayangan kelam di masa depan pada sudut bangku kamar sambil menatap kosong ke arah coretan meja yang bertuliskan You Deserve to be Happy. Bergelut ke dalam sudut pandang pikiran labil yang masih menyelimutiku.

Namaku Zhenda Safana, pagi ini usiaku sudah 18 tahun, sudah menginjak remaja. Katanya, menjadi remaja itu sangat mengasyikkan dimana kita dapat mengekspresikan segala sesuatu yang kita mau. Menjadi remaja adalah impian sekaligus prestasi bagi kebanyakan remaja yang ku kenal. Ahhh, aku tidak percaya kata- kata yang dilontarkan segerombolan motivator saat coretannya menyelinap di beranda media sosialku yang tak sengaja kubaca. Nyatanya, Aku adalah anak yang terlahir dalam keluarga broken home, meskipun kebutuhan finansialku sangatlah cukup untuk 7 turunan, kenyataannya tidak hanya terjebak di dalam keluarga yang tidak utuh kata Kakung aku juga anak yang lahir diluar ikatan sah pernikahan. Sementara Ibuku entah kemana, Ayah juga tidak pernah menjengukku. Keberadaannya pun aku tidak pernah tahu dan tidak berniat untuk kucari. Namun, aku tetap bersyukur karena masih ada tangan yang mau kugenggam yaitu Kakung.

Kringggggggg kringggggggg kringgg....

Dering telfon rumah membangunkan lamunanku,

"Halo, Selamat pagi. Apa betul dengan Zhenda saya berbicara ?" , dalam hatiku berbisik ini adalah suara yang sama dengan telfon yang ku gapai sebelumnya. Kurang ajar sekali si suara perempuan ini menerorku.

"Halo, Selamat pagi. Iya betul dengan saya sendiri. Ada kepentingan apa yang dan dengan siapa saya berbicara ?" dengan sedikit perasaan gugup aku mulai bertanya.

"….."

Tidak ada jawaban setelahnya, kemudian aku menanyakannya kembali dengan nada tenang.

"Halo, mohon maaf dengan siapa saya berbicara ?"

Hanya suara rintihan tangis yang kudengar dari seberang telfon. Suara perempuan , pikirku dia adalah seorang penipu yang ingin meminta sumbangan. Lalu kuputuskan untuk menutup telfonnya dengan cepat.

Aku tidak terlalu memikirkannya, karena hal tersebut sudah biasa terjadi beberapa hari ini. Ada saja nomor yang meneror telfon rumah, ketika ku angkat gagang telfonnya tidak jelas maksud dan tujuannya. Akan tetapi, suara perempuan itu selalu sama, sejenak aku berfikir apakah itu tukang kredit atau penipu yang meminta pulsa ?

Pagi ini udara serasa hampa, aku tidak melihat kupu- kupu yang selalu mampir diluar jendela kamar yang menggit pucuk bunga di depan kamar gelapku. Tetapi pagi ini atmosfer kamar masih sama, gelap, sunyi, sepi.

Tokk tokkk tokkkkk

Suara ketukan pintu kamar mengagetkanku, aku bergegas membukanya. Pasti Kakung yang sedang mencari anak kucing ini.

"Glekkk, kenapa Kung, Kakung ini ya selalu saja membuat detak jantungku tak beraturan. Ketok pintunya jangan terlalu keras kung, Zhenda kaget tau !" kupasang muka masam ke arahnya, sedikit judes aku berkata "Kakung mau apa ke kamarku…"

"Kamu itu ya selalu saja membuat Kakung merasa bersalah pas ketok pintu kamarmu. Heeee kamu itu anak gadis, bangun sekarang pergi ke pasar !"

Selalu menjadi rutinitasku setiap pagi untuk pergi ke pasar, sekedar membeli bahan makanan untuk dimasak setiap harinya. Jujur saja aku sangat tidak suka keramaian di pasar, entah kenapa aku tidak bisa dengan leluasa berinteraksi dengan banyak orang tak kukenal.

"Baiklah Sang Kakung, aku cuci muka dulu ya Kung" sambil berjalan ke kamar mandi aku meneriakinya seperti itu, hal seperti itu sudah biasa kulakukan kepadanya.

Sambil menggelengkan kepalanya Kakung menjawab,

"Iyo ndoro wedhok seng paling uayu (iya Putri yang paling cantik)" , ah sial sudah kuduga bagaimana dia membalas kalimatku.

Setelah 5 menit mencuci mukaku, gosok gigi, dan buang air kecil aku bergegas keluar dari kamar, berjalan ke arah bagasi kecil di belakang rumah untuk bergegas mengeluarkan sepeda tua butut milik Kakung. Setelah melewati lorong- lorong ruang tamu aku tak melihat Kakung seperti biasanya yang duduk di kursi goyangnya sambil membaca Koran dan menyetel radio kesukaannya. Pikirku mungkin dia sedang di kamar atau di halaman belakang memandikan burung- burungnya.

Sesampainya di bagasi ku keluarkan sepeda Kakung ,lalu bergegas pergi ke pasar dekat rumah.

Kringg kringgg kringg

Kubunyikan bel sepeda karena ada Ibu paruh baya yang tiba- tiba menyebrang jalan, kugesekkan kaki ke aspal agar ban depan tidak menabrak Ibu tersebut.

Huh, untung saja tidak tertabrak nih Ibu mana sudah tua, kataku di dalam hati sambil bergumam sedikit kesal. Karena aku sedikit terburu- buru kulontarkan kata maaf sambil melanjutkan menggayuh sepeda tua ini

"Ngapunten bu, kulo mboten sengojo" yang artinya maaf bu , aku ngga sengaja. Lalu, sampailah di pasar, kuhentikan laju sepeda kuletakkan di pohon dekat aliran sungai kecil di sebrang jalan. Setelah selesai berbelanja aku bergegas pulang kerumah , tidak ada kejadian yang menyialkan lagi.

"Kakungg , aku pulangg, ini jamu kesukaan Kakung juga tidak lupa aku belikan. Kakung" sambil terus berteriak aku memasukkan sepeda ke tempat semestinya. Tidak ada jawaban dari Kakung , ya mungkin karena pendengaran Kakung sudah tidak elok lagi. Kemudian , aku masuk ke rumah lewat pintu belakang, kuletakkan keranjang belanjaan di dapur. Kemudian kucari Kakung ke ruang tamu , ternyata tidak ada. Saatnya kuketuk pintu kamar Kakung berharap Kakung ada di dalam sana.

Tok tok , sreggggggggggggggg

Tak sabar ku ketuk pintu kamarnya , langsung saja aku dorong pintu kamar tuanya. Kuliat kakung sedang terbaring lemah.

"Sakit ya Kung ? aku bawakan jamu kesukaan Kakung masih di dapur belum ku bawa Kung.." mataku sedikit panas menahan air, sambil duduk di atas kasur empuk Kakung. Kakung sakit, pikiranku sudah tidak karuan. Seketika pikiran negatif terlintas di benakku, apakah mungkin sebentar lagi harapanku juga akan pergi meninggalkanku ?

Lamunanku seketika dibuyarkan olehnya.

"Engga nduk, Kakung cuma sedikit encok saja jadi Kakung tiduran dulu sebentar. Nduk kakung mau kasih tau sesuatu, kalau kamu itu harus tetap semangat menjalani hidupmu. Jangan suka murung di kamar. Lamar- lamar kerja lah sana biar ada aktifitas yang bermanfaat juga buat kebaikanmu nduk" suara gagahnya sedikit memudar, aku hanya mengangguk saja.

"Kamu tau nduk Ibumu pergi bukan karena nggak sayang sama kamu, nanti kamu cari ya Ibumu kalau kamu sudah siap. Ayahmu juga, dia sayang sama kamu , tetapi Ayahmu sudah mempunyai keluarga baru, semoga kamu ikhlas ya. Nanti kalau Kakung pergi kamu jangan patah semangat, kamu kuat. Kakung juga sudah mengurus urusan finansialmu, jangan khawatirkan itu." ,.lanjut Kakung berbicara kepadaku.

Aku hanya diam, rasanya sangat sesak sekali aku tidak bisa menerima semua yang terjadi di dalam hidupku. Bertahun- tahun aku disingkarkan oleh periku sendiri. Dan hari ini aku tahu kebenarannya. Bayangan kelampun kembali menyelimuti diriku.

***