webnovel

Mewakili Fadlan

“Fadlan, ini bukan kuasaku. Dia main sosor sendiri,” gumamku seraya mengelap pipi bekas ciuman Vivi menggunakan tisu toilet.

Pikiranku berkecamuk tak tenang. Sebab, teringat akan Fadlan yang kini mungkin masih dalam perjalanan. Mungkin, aku merasa bersalah.

“Dasar! Udah jadi anak gadis aja masih suka cium-cium sembarangan! Dulu iya, aku tak masalah. Toh, yang nyium itu anak SD. Sekarang, kan, beda lagi. Udah perawan, malah jadi gebetan temen sendiri, lagi. Kalau dia tahu, mati aku."

Kucoba hilangkan pikiran negatif dan menenangkan diri. Meyakinkan bahwa tadi itu hanya kebiasaan masa kecil yang belum bisa Vivi hentikan. Walau begitu, kejadian tadi sangat membuatku terkejut.

‘Sudah! Singkirkan pikiran itu! Ayo pergi! Vivi mungkin sekarang sudah naik panggung! Fadlan, kan, sudah menyuruhmu untuk mengabadikan momen penting itu!’ batin ini malah bermonolog pada diri sendiri, menyedihkan.

Aku mencoba menyingkirkan pikiran dan rasa bersalah ini dari benak. Keluar dari toilet dan melenggang masuk ke area lapangan utama, di mana tempat itu dijadikan area pelaksanaan perayaan kelulusan sekaligus kenaikan kelas murid junior.

Berdesakan, gerah, dan saling dorong membuatku sedikit tak nyaman. Sekilas kulihat Vivi sedang bercanda ria dengan teman-temannya. Dia tertawa lepas. Sesekali dia selfie sendiri.

Bibirku tersungging. Ya, senang melihat dia bisa tersenyum seperti itu. Karena yang kutahu, dulu Vivi anaknya cukup pendiam. Saking pendiamnya, dia selalu jadi bahan olokan. Dia takkan berani mengadu pada Nyak Marni. Maka dari itu, aku sebagai kakak ketemu gede-nya, selalu tak pernah jauh dari Vivi kecil.

“BANG! Sini!” Vivi memanggil sambil melambaikan tangan ke arahku.

Seraya aku mendekat, semua teman-teman yang mengerumuninya perlahan memberi jalan. Kami berdiri saling berhadapan.

“Itu kamera cuma pajangan, ya, Bang?” sindir Vivi sembari menunjuk ke arah kamera yang menyampir di bahu kiriku.

Aku tersadar dan tertawa kecil, “Sampe lupa.”

“Barusan Enyak nelepon Vivi. Katanya udah pulang ke rumah dijemput Encang. Udah mendingan dan nggak sakit lagi, tapi Enyak tetep nggak bisa datang,” ucap Vivi dengan wajah semringah.

Senyumku merekah. “Syukurlah, Vi. Enggak apa. Kan, ada Abang. Nah, kamu juga bisa tenang dan bisa main-main sama temen kamu tanpa rasa khawatir.”

Vivi mengangguk, “Eh, Bang. Nanti ....” Dia menunduk, tangannya meremas rok batik yang dia pakai.

“Nanti apa?”

“Emh, nggak jadi.”

“Apaan, sih?”

“Bukan apa-apa. Ayo, sekarang foto Vivi. Yang cakep ya,” selanya seraya menyunggingkan senyum terlebar.

Kupotret dia beberapa kali dengan beberapa gaya. Sesekali temannya yang lewat ikut berfoto bersama. Mereka tertawa cekikikan. Tak lama setelah pidato selesai, Pak Kepsek pun menyuruh para lulusan naik ke panggung. Vivi menoleh padaku dan mengangguk. Kubalas senyum sambil bersiap memotret.

Nyanyian perpisahan dari murid angkatan tahun ini pun mulai terdengar. Selagi aku memotret Vivi, tiba-tiba pikiranku diseret kembali pada kenangan masa lalu ketika aku masih berseragam SMA begini. Waktu itu, masih ada Gina yang jadi pacarku.

Kupejam mata sejenak, “Sudahlah, Gam. Sudah bukan waktunya lagi untuk kembali mengenang semua itu.” Aku bergumam seraya menarik kembali pikiran ilusiku ke dunia nyata.

Saat tersadar, ternyata para murid di panggung sedang menyalami jajaran guru serta para staf. Satu persatu mereka turun. Namun, aku tak melihat sosok Vivi.

“Loh, di mana dia? Ke mana?” Aku langsung maju ke depan, mencari-cari Vivi, “Ke mana dia? Apa mungkin sedang bersama teman-temannya? Atau mungkin ....” Belum sempat aku menyelesaikan gumamku, mata ini menangkap sosok Vivi dikejauhan.

Dia diseret paksa oleh beberapa anak perempuan sebayanya. Vivi terlihat berusaha menolak. Aku diserang panik dan langsung menyusul ke mana Vivi dibawa oleh mereka. Vivi semakin jauh dari pandangan. Aku terus berjalaan lurus menyusuri koridor sekolah, menaiki tangga dan langkahku terhenti saat mendengar suara tawa di balik pintu kelas dua belas IPA 2.

Kudobrak pintu itu sekuat tenanga, “Vivi!”

Benar saja, ada Vivi di sana. Kekhawatiranku seakan sirna saat mendapati Vivi sedang tertawa ria bersama teman-temannya sambil saling oles krim kue. Ruang kelas itu telah disulap menjadi ruang pesta. Semua berhenti dan diam saat aku tiba. Mata mereka tertuju padaku. Setelah beberapa detik tersadar, semuanya menyapa. Menjelaskan kalau hari ini Vivi sedang ulang tahun.

‘Apa? Ulang tahun? Kok aku bisa lupa,’ pikirku sesaat. Mungkin karena harinya bertepatan dengan perayaan kelulusannya. Makanya aku tak ingat.

Pikiranku mendadak ditarik ke beberapa belas menit ke belakang, di mana saat Vivi ingin berkata sesuatu tapi tak jadi.

‘Mingkin tadi dia mau mengatakan soal ulang tahunnya, tapi ragu-ragu. Ah, bodohnya aku.’

Sungguh, aku sangat merasa bersalah. Biasanya, setiap tahun aku selalu ingat. Lalu, mengapa tiba-tiba aku jadi penderita pikun sekilas begini?

“Abang lupa hari ulang tahunku, ya?” tanya Vivi dengan raut wajah murung. Pertanyaannya berhasil memudarkan lamunanku.

Lantas, langsung kugelengkan kepala. “Enggak, Vi. Cuma, ini ... barengan sama ....”

“Iya nggak apa-apa. Udah, nggak usah beralasan, deh,” selanya.

“Iya, maaf Vi. Abang lupa. Jangan marah dong, baru sekali ini doang. Jangan marah, ya. Sekarang gini, deh. Kamu mau hadiah apa dari Abang? Nanti Abang kasih, apapun itu.”

“Apa pun?” tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk, “Iya, apapun. Kamu mau apa? Ayo bilang.”

“Kalau gitu, ajak Vivi ke taman hiburan hari ini, ya.” Vivi berkata dengan tatapan mengharap. “Bang Agam yang bayar tiketnya,” tambahnya. Kini, gadis itu menyunggingkan senyum, memperlihatkan deretan gigi bergingsulnya.

Sebenarnya aku tak keberatan, tapi ingat kalau hari ini Fadlan sudah menyuruhku untuk membawanya ke restoran yang sudah dibooking.

“Kayaknya besok, deh, baru bisa ajak kamu ke taman hiburan itu. Soalnya, hari ini ada yang lebih spesial sudah menunggu kamu. Khusus dari Fadlan.” Aku berkata, Vivi melongo heran.

“Cieee ... siapa, tuh, Fadlan, Vi? Kok, nggak ngomong ke kita,” goda teman-temannya serentak. Mereka berucap diiringi tawa lepas. Aku jadi ikut tersenyum.

Vivi melirik pedas, “Itu teman abangku ini.”

“Katanya spesial, tuh. Duh, kayaknya ada yg lagi dikejar cowok, nih,” celetuk gadis bernametag Dela, salah satu teman Vivi.

Aku semakin tak tahan dan kembali menyunggingkan senyum. Tapi Vivi langsung mendengkus, sehingga yang lainnya berhenti mengolok kejomloan yang dideritanya.

“Apaan, sih, kalian? Bang Fadlan itu udah kuanggap abangku sendiri. Udah, lah, jangan sembarangan ngomong. Nanti kusuwir mulut kalian!” candanya mengancam.

“Wuanjayyy, sadis.” Mereka langsung memeluk diri, dan tak lagi bicara sembarangan.

Dasar, ya, emang si hati batu. Padahal, pengorbanan Fadlan sudah begitu banyak dan besar, bisa-bisanya dia tak merasakan apa yang Fadlan rasa. Ish, kasian aku pada temanku itu.

“Bang, emang Bang Fadlan siapin apa buat Vivi?! Tujuannya apa?” Akhirnya gadis itu penasaran juga.

Oke, sebaiknya kukatakan tapi tak semua dulu. Lagian, Fadlan juga tak menyuruhku untuk mengatakan tentang perasaannya.

“Dia siapin perayaan kelulusan kecil-kecilan buat kamu. Kalau aja bukan karena ingin melihat almarhum ibunya untuk terakhir kali, dia takkan mungkin pergi dan bakal ngajak kamu. Tapi, terpaksa abang yang gantiin dia buat ngajakin. Katanya sayang udah sewa tempat,” ucapku menjelaskan.

Rautnya sumringah.

“Oh, ya?”

“Iya.”

“Teman-temanku boleh ikut?” tanyanya antusias. Apalagi mereka. Semua pasang mata sudah menunjukkan tatapan penuh harap.

Aku menggaruk tengkuk, bingung mau bilang apa, soalnya Fadlan sengaja mempersiapkan semua hanya untuk Vivi.

“Ah, maaf. Tapi Fadlan hanya pesan dua kursi saja, Vi.”

Aku beralasan. Mereka langsung bermuka masam. Yah, gimana lagi? Terpaksa aku katakan yang sejujurnya. Toh, Fadlan memang sengaja memesan seisi restoran hanya untuk Vivi.

Untungnya mereka mengerti dan tak memaksa, pun dengan Vivi.

“Ya udah, kapan perginya, Bang?”

“Kalau nggak hujan, kita pergi selepas magrib.”

“Oke.”

Dia tersenyum lebar. Dasar.