webnovel

Chapter 4; Harapan

Mungkin karena tubuhku yang mengecil secara tiba-tiba, terkadang aku lupa bahwa aku bukanlah remaja 17 tahun tapi anak 4 tahun. Tapi rasanya seperti aku melupakan sesuatu akhir-akhir ini. Hmm...,

Saat ini, aku sedang melihat tanganku mencoba meraih udara meski sebenarnya yang coba kuraih adalah buku di bagian rak menengah atas.

[Tuan rumah? apakah anda ingin saya membantu anda?]

"Tidak."

Kataku, lalu mengambil buku di rak bagian bawah. Buku itu terlihat cukup baru, dengan judulnya yang bercetak tebal 'Bagaimana cara mengekstrak ramuan dialam liar' cukup untuk memberitahu semua orang bahwa itu adalah buku obat-obatan.

[Tapi tuan rumah, bukankah anda sudah membaca buku itu?]

"Iya, aku ingin baca lagi."

Bukannya aku tidak tahu, tapi aku cukup lelah hanya dengan mengangkat tanganku jadi sebisa mungkin aku ingin membaca buku yang ringan. Yah, ringan secara harfiah. Makadari itu sekarang aku bisa membawa buku itu menuju meja belajarku tanpa banyak kesulitan.

[Apakah anda berencana ke alam liar?]

"Tidak."

[Lalu kenapa?]

"Ini skill dasar."

Kataku asal-asalan dan mulai membaca. Lalu suara ledakan terdengar.

BOOM!!

Ledakannya sangat keras sampai-sampai tubuhku serasa membeku. Bukankah suara itu berasal dari gudang? Lalu, Nathan...,

Aku tidak tahu apalagi yang bisa terjadi. Aku tahu betul bahwa dunia ini memang bukan dunia tempat tinggalku, tetapi Nathan adalah misiku saat ini.

[Tuan Rumah! Jangan tinggalkan aku!! WakK!]

Ledakannya cukup besar, bukankah ini hanya percobaan pembunuhan? kenapa harus sebesar ini?

Saat aku menata pikiranku sambil berlarian aku menemukan Nathan yang menangis di kamarnya yang dipenuhi asap lalu aku mengambil Nathan tanpa pikir panjang.

–Sial, jika saja aku bisa berteleportasi!

pikirku dengan sedikit kesal. Jarak antara perpustakaan dan gudang memang agak jauh, tapi untungnya aku dulunya sering diajak (dipaksa) berlari pagi bersama ayahku untuk mencari udara segar. Bisa dibilang, selama kamu tahu tekniknya maka kamu bisa lari sedikit lebih lama. Sekitar 2 atau 3 jam.

Tapi sayangnya bagi tubuh kecil dan lemah ini, 10 menit sudah termasuk lama.

"Tuan muda! kemana saja anda?! Anda harus bersembunyi!"

Seorang wanita muda berseragam pelayan melihat ku dan Nathan dengan panik. Bukankah dia Maria? Sempurna. Aku sudah kelelahan saat ini.

"Nathan, huff,.. adikku,..bawa."

Maria sepertinya tampak bingung pada nama Nathan, Tetapi dia segera mengambil tindakan saat melihat bayi yang aku bawa dalam pelukanku.

Para pelayan yang lain sepertinya telah mengungsi, dia juga bisa melihat beberapa orang berjubah aneh mengangkat tangan keatas dan air yang muncul dari langit. Air itu terlihat seperti hujan yang menerobos angin malam.

Maria sepertinya mengatakan sesuatu saat dia berhasil membawa Nathan kepelukannya tapi suara disekitar sini sangat berisik sehingga seseorang harus berteriak agar bisa terdengar. Tapi sungguh, tenggorokanku sakit.

"Ya tuhan! Tuan muda, bertahanlah!" Aku bahkan tidak sadar kalau tangan dan kakiku bergetar saat aku melihat darah ditanganku. Sepertinya au mimisan lagi.

"Shell!! Putraku!" Seorang wanita memelukku dengan suara paniknya.

"Panggil dokter! cepat!" Dilanjutkan suara seorang lelaki. Yah, mereka orangtuaku. Seharusnya setelah ini aman-aman saja kan?

Lalu akupun pingsan dipelukan ibuku.

Selama 2 hari.

*

*

"Maria, apakah kakak akan datang mengunjungiku?" Seorang anak laki-laki berambut hitam bertanya pada seorang wanita paruh baya dengan seragam pelayan. Suaranya sepertinya mengandung antisipasi dan keraguan, serta harapan.

"Saya tidak tahu Tuan muda, tetapi Tuan muda tertua biasanya akan mengunjungi anda ketika waktunya tiba." Maria, wanita itu menjawab dengan lembut dan penghiburan.

"Tapi anda harus makan juga, Tuan muda."

Mendengar kata makan dari Maria, 'tuan muda' itu terlihat lesu. Sedangkan Maria, sedikit khawatir karena tuan mudanya belum makan sejak siang sampai saat ini. Padahal sekarang sudah jam 7 malam.

Akan tetapi diantara semua orang, mungkin hanya Maria yang selalu memperhatikannya selain kakaknya.

Setidaknya Maria tidak akan memberinya roti basi sebagai sarapan.

"Aku masih kenyang, Maria." Mata anak itu memelas. Meskipun dia sangat lapar saat ini, dia sepertinya sedang tidak dalam mood untuk makan.

Dan Maria tahu betul alasannya.

Itu karena tuan muda tertua belum berkunjung selama 3 hari. Maria sepertinya kebingungan mencari alasan untuk membujuk tuan mudanya ini.

"Lalu bagaimana dengan training, Tuan muda Nathan?"

Suara malas yang datang dari jendela menarik perhatian mereka. Terutama anak bernama Nathan itu. Matanya yang semerah rubi sepertinya dipenuhi bintang saat dia berlari dan memeluk saudaranya. Arashell.

"Kakak! Blackie!"

"Hai, maaf karena aku baru berkunjung."

"hawkk!"

Blackie yang dimaksud Nathan adalah sistem yang saat ini berada dalam wujud gagaknya.

"Mengapa kakak tidak datang?" Mata itu sepertinya digantikan dengan kesedihan saat pertanyaan itu tiba. Mata itu menatapku dengan kekhawatiran, bagaimana mungkin aku memberitahu yang sebenarnya?

"Aku agak sibuk akhir-akhir ini. Maafkan aku yah? Nathan."

Kataku sambil mengelus rambut lembutnya.

"Hum"

Tapi sepertinya ada yang aneh dengan anak ini. Tangan kanannya tidak memelukku seerat biasanya. Tapi sebaiknya tidak mengekspoksnya tiba-tiba.

"Maria, kamu bisa keluar sekarang." kataku sambil masuk kekamar Nathan yang dulunya sering kumasuki. Melihat anak ini, dia banyak berubah. Tapi tingkahnya masih semanja biasanya.

"Baik, tuan muda."

Maria bukanlah tipe orang yang suka mempertanyakan perintahku, jadi aku sedikit puas dengannya. Misalnya saat ini, ketika dia berbalik tanpa melihat kebelakang tanpa khawatir.

"Kenapa belum makan?"

tanyaku to the point.

"Aku tidak lapar."

"Kamu juga belum mandi."

"ughh"

"Mandi sekarang, lalu aku akan mengajarimu. oke?"

Melihat bibirnya yang merajuk sepertinya sedikit imut. Tapi tetap saja, dia belum mandi. Tapi mau bagaimana lagi, bagusnya mengobati lukanya setelah dia mandi. Dan untuk mengajar, bisa dipikirkan nanti.

Saat Nathan dikamar mandi, aku melihat sekeliling ruangan dimana aku duduk di tempat tidurnya.

"Sudah 7 tahun."

[Tuan rumah? apa anda baik-baik saja?]

"Yah, kenapa aku tidak baik-baik saja?"

Aku tidur selama 2 hari lebih, bagaimana mungkin aku tidak merasa baik? Sebenarnya aku tidak sengaja tertidur begitu lama sampai-sampai orangtuaku khawatir dan bahkan mencoba menyalahkan Nathan meski aku sudah mengatakan bahwa aku hanya ketiduran.

"Kakak, aku sudah selesai."

Nathan keluar dengan bajunya yang lengan panjang biasa. Sebenarnya, biarpun Nathan berasal dari keluarga ini, pakaiannya bahkan tidak lebih layak daripada orang jalanan kalau bukan karena Rasheel yang diam- diam memberikan beberapa pakaian yang nyaman untuknya.

"Oke. Nathan, kemarikan tangan kananmu."

Nathan melihatku seperti pencuri yang tertangkap basah. Tapi bukannya ini hanya terjadi satu atau dua kali.

Dan benar saja seperti perkiraanku, Tangan kanannya lebam disana sini.

"Apa ini saja?"

Nathan mengangguk.

"Kamu seharusnya bilang ke Maria. Bagaimana jika aku tidak ada nanti—"

"Tidak!" Nathan sepertinya ketakutan dengan kata 'tidak ada' tetapi dia kemudian melanjutkan dengan teresa-gesa.

"Bukan begitu, Maksudku, Maria sangat perhatian padaku, tapi aku senang jika, kakak merawatku seperti ini. "

Suaranya semakin mengecil semakin lama tapi perkataannya jelas bagiku karena jarak kami yang cukup dekat.

"Oke. ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa terluka seperti ini?"

"Ugh, pelatihku,..."

"Kasar padamu lagi?"

Nathan mengangguk kecil Saat aku fokus memberikan salep pada lebam dan beberapa luka gores ditangan kanannya. Lebamnya sepertinya cukup keras karena itu terlihat banyak. Setidaknya cukup sakit sampai ketulang.

"Apa sakit?" Tanyaku basa basi. Tentu saja sakit, Rasheel bodoh. Aku juga sering kesakitan saat lebam begini meski lama kelamaan terbiasa.

"Sedikit." Jawab Nathan seolah-olah memang ini biasa saja.

"Bagaimana dengan pelajaranmu? Apakah ada yang tidak kamu mengerti?"

Nathan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Mungkin dia memang pintar.

"Yak, sudah selesai. Sekarang saatnya hadiahmu."

Bersamaan dengan itu, Maria masuk dengan kue ditangannya. Kuenya tidak begitu mewah dan besar, tetapi lebih dari cukup untuk mereka berempat.

"ini...,"

"Selamat ulang tahun, Tuan muda. Saya berharap anda diberikan kesehatan dan umur yang panjang."

Kata Maria sedikit bersemangat sambil membawa kue coklat yang dipenuhi krim putih didepan Nathan yang terdiam karena terkejut.

"Kenapa diam? Kamu harusnya membuat keinginan sekarang, Nathaniel."

"Hawkk!" [iya!]

"Selamat ulang tahun yang ketujuh, Nathaniel."

Ujarku dengan senyuman dan Nathan yang bahagia.

"Oke, buat permintaan seperti biasanya dan kemudian tiup lilinnya agar kita bisa makan kue." Lanjutku.

"Hawk!" [iya!]

"Oke!"

Nathan menyatukan tangannya dan menutup matanya erat. Berdoa kepada tali harapan yang entah akan terkabul atau tidak dengan penuh keyakinan.

"Sudah!"

"Haruskah kita makan sekarang?"

"Ini piringnya, Tuan muda dan tuan muda tertua."

Malam itu, di gudang yang dulunya dipenuhi asap dan tangisan seorang bayi akhir-akhir ini dipenuhi kebahagiaan dan tawa.

***

Siapa yang membuat kue?

Maria: Tentu saja tuan muda tertua kita! Rasheel!

Nathan: Kakak pintar memasak.

Rasheel: Yah, itu skill dasar