webnovel

Tiga Pria Tampan

Ariana baru sempat mengedipkan mata selang beberapa menit. Mungkin dirinya terlalu mengagumi ilustrasi hidup di depannya saat ini. Sementara Baron, pria itu hanya menatap datar ke arah Ariana yang masih terdiam di tempat.

Ariana baru menyadari, bahwa ada yang berbeda dari Baron. Seharusnya Baron memiliki sebuah tahi lalat kecil di atas bibirnya seperti yang dia tulis di novel. Namun secara dekat, Ariana tak mengetahui adanya tanda lahir itu. Ya, perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Baron masih saja tetap tampan.

"Nes? Malah ngelihatin Baron lagi. Ada apa lo cari gue?" ulang Mike membuat Vero geli menahan tawa.

Sementara Ariana malah meringis karena ketahuan memandangi Baron cukup lama, terlebih tanpa berkedip.

"Gue mau minta kunci mobil baru," jawab Ariana.

"Buat apa? Lo mau kemana? Sama siapa?"

"G-gue mau jalan-jalan aja sendirian. Udah, m-mana kuncinya?" ulang Ariana sembari tergagap. Dikelilingi oleh tiga pria tampan membuat dirinya gugup setengah mati.

"Jangan sendirian, nanti gue temenin lo," tegas Mike.

"Hah? Nggak usah, jangan! Gue mau jalan sendiri aja, kenapa sih?"

"Kalau gitu biar Baron yang temenin," ucap Mike membuat Baron yang tadinya bersikap biasa saja, kini sedikit mendelik ke arah Mike.

Baron ingin protes, namun sebelum hal itu terjadi, Ariana mendahului ucapannya, "Nggak, nggak usah. Mana kunci mobilnya?"

Mike akhirnya menyerah atas keinginan adiknya. Dia pun merogoh kunci mobil yang ada di dalam tas ranselnya dan memberikannya pada Ariana. Ariana tersenyum dan pergi begitu saja meninggalkan ketiga pria tampan tersebut. Hal itu membuat Mike dan Vero mengernyitkan dahi heran bersamaan.

"Tumben Agnes nggak nempel-nempel sama Baron?" tanya Vero ke arah Mike.

Mike pun menggelengkan kepalanya, "Gue juga nggak tau. Semenjak dia hilang seminggu itu, dia jadi agak beda dari yang dulu."

"Tobat kali," sahut Baron seraya fokus pada ponsel lipatnya.

"Kayaknya emang gara-gara lo deh, Ron. Dia aja natap lo dalem kayak gitu tadi. Mungkin dia sakit hati banget sama lo!" cerca Vero.

"Apaan sih? Kok gue yang lo salahin?" bantah Baron tidak Terima atas tuduhan Vero.

"Dih, liat aja kalau lo nanti yang klepek-klepek sama Agnes," ucap Vero sembari kedua tangan yang dilipat di depan dada.

"Udah udah. Ayo ke basecamp. Ron, lo ikut nggak? Tangan lo gimana?" Mike pun melerai perdebatan singkat itu. Meskipun Mike juga sakit hati dengan Baron, tapi Mike tak bisa memungkiri bahwa Baron juga sudah Mike anggap sebagai adik sekaligus sahabatnya.

"Gue ikut. Persetan sama gipsum sialan ini. Gue harus tetep balapan malam ini," tutur Baron dengan penuh penekanan di setiap kata.

Mike menggelengkan kepala berulang kali setelah mendengar penuturan Baron.

"Serah dah. Patah lagi baru tau rasa."

"Impossible!"

~~~

Ariana mengemudikan mobil Freed berwarna merah dengan kecepatan standar. Sebelum berangkat ke kampus tadi, Ariana sempat bertanya pada pak Jojon, dimana dirinya ditemukan tempo hari lalu. Pak Jojon mengatakan bahwa dirinya ditemukan di sebuah hutan terlarang, tepatnya di hutan yang tak jauh dari taman kota. Kata pak Jojon juga, pencariannya dimulai ketika Agnes mengirimkan sebuah pesan kepada mamanya bahwa dia tak akan pulang sebelum mood-nya membaik.

Beruntung Anita, sang mama Agnes menegasi untuk melacak keberadaan Agnes lewat ponsel. Wanita itu terkejut ketika mengetahui bahwa Agnes berada di sebuah hutan terlarang. Itu adalah hutan Candrasih, hutan yang telah ditutup lima belas tahun lalu sebab sebuah tragedi mencekam. Keluarga Agnes akhirnya mencarinya, dan menemukan dirinya sedang terduduk seorang diri di bawah pohon besar.

"Eh, tunggu. Gimana kalau pas gue ke sana lagi, malah ada hantunya?"

Tiba-tiba Ariana menginjak rem mobil mendadak. Dia memberhentikan mobilnya di tepi jalan yang lumayan sepi.

"Tapi gue udah terlanjur di sini, nanggung banget kalau nggak segera ke sana. Gue juga pengen cepet-cepet pulang dari sini."

Gadis itu akhirnya membulatkan tekad. Dia harus segera pulang, takut orang tuanya akan khawatir mencarinya. Dia pun kembali menancap gas dan berkendara.

Selang tiga puluh menit kemudian, Ariana memberhentikan mobilnya di taman kota. Taman kota yang indah, Ariana bahkan tak pernah diajak satu kali pun oleh kedua orang tuanya di taman seperti itu sejak kecil.

Tanpa berpikir panjang, dia langsung berjalan menerobos masuk tanpa memperhatikan sebuah papan yang bertuliskan bahwa di sana adalah kawasan hutan terlarang dan tidak ada yang boleh memasukinya.

"Terserah dah. Gue mau pulang," ucapnya tidak peduli.

Dia pun memberanikan berjalan sendirian melalui beberapa pohon demi pohon. Otak kecilnya masih ingat tepat dimana pohon besar tersebut berada. Hampir sepuluh menit Ariana berjalan. Dia banyak menemukan binatang, seperti rusa, burung gagak hitam, dan binatang lain.

"Dimana sih, perasaan di sekitar sini," ucap Ariana pelan.

"Ah, itu dia!" Kedua bola matanya berbinar-binar ketika melihat sebuah pohon dengan lingkaran yang menyala pada bagian batang besar bawahnya. Ariana tersenyum lebar melihatnya.

"Akhirnya gue bisa pulang. Jika dunia novel gue emang beneran ada, gue nggak bakal lupain dunia ini," ucapnya sebelum pada akhirnya tubuhnya melesat cepat saat tangannya mulai bersentuhan dengan lingkaran tersebut.

Ariana kini merasakan kegelapan. Ya, dia berada di dalam lemari sama seperti saat dimana dia dialihkan ke dunia novel. Sebelum beranjak pergi membuka pintu, samar-samar Ariana mendengar suara.

"Sial, kita kehilangan jejak. Ayo pergi dari sini."

Deg.

"Mereka?"

Kedua bola mata Ariana membulat sempurna. Suara itu adalah suara pria yang hampir membegal motornya. Lantas....

"Apakah waktu tidak berjalan sama sekali?"

Dia terkejut, sungguh terkejut. Beberapa detik kemudian dia membuka lemari itu dan masih mendapati motornya yang sudah remuk setengahnya. Hah, mereka berhasil menghancurkan separuh awak motornya.

"Gue harus segera pergi dari sini."

~~~

Ternyata benar apa yang dipikirkan Ariana, bahwa ketika dia berada di dunia novel, waktu tak bekerja di dunia nyatanya. Mungkin jika Ariana berada berabad-abad tahun di dunia novelnya, dunia nyata pun pasti tak mengalami perubahan.

"Kenapa gue mengalami kejadian aneh kayak gini? Gue nggak ketiduran di lemari itu sampai mimpi-mimpj segala kan?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Kini Ariana berada di dalam kamarnya. Kedua orang tuanya pun masih bersikap normal. Ya, sebab memang tak ada apapun yang terjadi.

Sebuah teh hangat mencoba membantunya untuk tetap tenang. Dia meneguk teh itu sesekali, sembari membuka laptop dan menyalakannya. Yang ada di pikiran Ariana, dia harus segera menamatkan novelnya.

Sebuah dokumen file bertuliskan 'Chapter 70' mulai dibukanya. Dia terkejut setelah mendapati sepuluh ribu kata telah tertulis di sana. Ariana mengucek kedua mata dengan tangannya, berharap apa yang dilihatnya salah.

"Apa ini? Terakhir kali gue cuma ngetik seribu kata di chapter ini."

Kala itu Ariana berpikir bahwa ada seseorang yang iseng menulis naskahnya saat dia berada di dunia lain. Namun siapa? Waktu bahkan tak berjalan di dunia nyata.

Kemudian pertanyaan itu terjawab sudah saat Ariana membaca suatu kalimat tepat setelah seribu kata.