webnovel

Serumah

Ariana kembali tak sadarkan diri. Entah bagaimana caranya, namun dirinya telah berbaring di atas ranjang empuk milik Agnes. Perlahan kedua kelopak mata indahnya terbuka—dia meringis, mencoba mengingat apa yang terjadi.

"Siapa yang bawa gue ke sini?" gumamnya.

Kini dia beralih menatap jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Pening masih menjalari kepalanya. Tubuhnya bahkan menolak untuk bangkit dari sana.

Tiba-tiba suara pintu dibuka seenaknya oleh seorang lelaki. Lelaki dengan wajah yang datar itu datang seraya menyerahkan sebuah nampan yang berisi makanan untuk sarapan.

Seketika bola mata Ariana membulat sempurna. Di depannya—Baron tengah berjalan menuju ke arahnya. Sementara Baron hanya menatapnya datar.

"Sarapan lo," ucapnya singkat.

"Lo ngapain di sini?" tanya Ariana terperangah.

".... " Ariana tak mendapat respon apapun dari Baron. Lelaki itu hendak pergi meninggalkannya. Namun tanpa aba-aba, tangan Ariana terulur begitu saja dan mencegah Baron untuk pergi.

'Sial. Jangan lagi,' batin Ariana tak ingin kejadian seperti bergelayut manja tanpa keinginannnya itu terjadi lagi.

"T-temenin gue sarapan, mau?" tanya Ariana.

'Gila gila! Apa yang lo katakan, Ana?' batin Ariana berteriak frustasi.

Baron menghentikan langkah sebab Ariana memegang lengannya—mencegah dia untuk kembali. Lelaki itu memutar tubuh dan sejenak memperhatikan Ariana yang tengah diam sembari menggigit bibir bawah. Namun bukan Baron namanya jika dia akan luluh begitu saja.

"Males," ujarnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Ariana.

"Ih, Baron! Temenin gue!" Ariana bangkit, tubuhnya kembali dikendalikan oleh seseorang. Dia hendak meraih lengan Baron lagi. Namun sialnya, dia malah terjerat oleh selimut tebalnya dan berakhir tersungkur.

"Akh!" rintihnya kesakitan.

Baron sedikit terkejut melihat Ariana yang terjatuh. Dia langsung menolong gadis itu untuk bangkit kembali dan membantunya duduk. Sementara Ariana sedang merutuki kebodohannya sendiri. Dia juga merasa tertekan sebab tak bisa mengontrol tubuhnya sendiri.

Terlihat Baron yang menghela napasnya. Lelaki itu duduk tepat di samping Ariana—tentu saja sambil memperhatikan gadis itu dengan datar.

"Ya udah cepetan makan," tuturnya dingin.

Ariana sontak mengangguk cepat. Dia kemudian memakan sandwich yang pasti buatan mamanya Agnes. Sandwich di depannya ini begitu lezat. Ariana sampai terpikirkan resep membuatnya, sebab rasanya tak seperti sandwich di dunianya. Mungkin tahun 2095 ini, bahkan sandwich pun ada resep rahasianya.

Baron masih senantiasa menunggu Ariana yang sedang lahap memakan sandwich, sesekali lelaki itu tak sengaja tersenyum geli melihat betapa lahapnya Ariana—seperti orang yang tak dikasih jatah makan seminggu saja, batinnya.

"Usap! Makan kayak bayi," sarkas nya seraya melempar tissue begitu saja di hadapan Ariana.

Benar benar.

Ariana semakin membenci Baron saja. Lelaki itu benar-benar dingin dan tak tahu sopan santun. Dia hendak memaki, namun tubuhnya bereaksi lain.

"Usapin dong, biar romantis gitu," tutur Ariana, "Eummm." Dia mencondongkan kepalanya mendekat ke arah Baron.

"Ck, apaan sih? Usap sendiri!" Seketika Baron langsung berdiri. Dalam sekejap, dia langsung pergi meninggalkan Ariana begitu saja.

"Sial sial sial. Apa yang baru saja lo lakuin, Ana?!?"

Setelah kepergian Baron, Ariana mengacak rambutnya frustasi. Harga dirinya benar-benar hilang di hadapan pria itu. Dia juga tak menduga jika hal seperti kemarin akan terjadi lagi hari ini.

~~~

Baron menuruni anak tangga rumah keluarga Mike. Pikirannya teralih pada sikap Agnes yang tiba-tiba berubah. Dia memutar otak, tempo lalu bahkan Agnes terlihat sama sekali tak peduli padanya. Apa karena masalah perceraian kedua orang tuanya itu membuat Agnes kembali luluh? Atau kasihan padanya?

Sialnya, mengapa Baron memiliki waktu untuk memikirkan wanita?

Lelaki itu menggelengkan kepalanya cepat. Dia tak ingin pikirannya terusik oleh wanita manapun. Baron tetaplah Baron—lelaki yang tak akan luluh begitu saja dengan wanita.

"Lo lama banget sih? Mana Agnes?" tanya Mike yang ternyata menunggu Baron di ruang makan.

"Sarapan di kamarnya," jawab Baron lantas mendudukkan dirinya di kursi sebelah Mike.

"Btw, lo belum jawab pertanyaan gue. Vero kemana? Lalu Bang Larry?"

Baron menghela napas kemudian menghendikkan bahu, "Gue nggak tahu, tapi kata satpam rumah Vero, dia belum pulang semalem jadi gue nggak berani nginep di rumahnya. Terus Bang Larry, you know lah ibunya sakit jadi dia tidur di rumah sakit," tuturnya panjang lebar. Hanya dengan Mike lah Baron bisa seterbuka itu.

"Tadi nyokap gue bilang, lo boleh tinggal sampai lo udah tenang," ucap Mike dan diangguki saja oleh Baron.

Jujur saja, Baron tak berniat tinggal lama di rumah Mike. Dia tak ingin menjadi beban di sana. Terlebih di rumah itu terdapat Agnes, wanita yang Baron tolak cintanya dengan cara yang cukup menyakitkan—Baron harus cepat-cepat menemukan tempat tinggal.

"Gue nggak akan lama kok di rumah lo. Kayaknya gue mau sewa perumahan aja, atau nggak gue ke rumah nenek aja kali ya di Bandung?"

"Di Bandung? Jangan deh. Lo pasti juga nggak akan bisa balapan kalau tinggal di rumah nenek lo," saran Mike.

"Iya juga sih."

"Udah lah nggak usah terlalu lo pikirin. Aman lo sama gue."

Baron masih tak berekspresi—itu memang sudah menjadi ciri khasnya. Raut wajah datar, sikap yang dingin, dan emosional. Baron pun tak mengerti, dengan sikapnya yang seperti ini, mengapa masih ada orang yang peduli dan mau berteman dengannya? Apalagi jatuh cinta padanya? Pasti para wanita itu hanya tertarik dengan parasnya saja, itulah yang ada di pikiran Baron.

"Gue siapin mobil, lo makan dulu. Habis itu kita berangkat ngampus." Mike pun bangkit dari tempat duduknya.

"Eh, tapi..."

"Jangan bilang lo nggak mau ngampus?" tebak Mike lantas digelengi cepat oleh Baron.

"Ck, fitnah aja lo. Gue nggak ada jadwal pagi ini. Jadwal gue nanti siang," ucap Baron.

"Wah kebetulan. Kalau gitu lo nanti bareng Agnes aja ya. Bye, gue mau ngampus. Jangan lupa cuci piringnya!" Mike pergi begitu saja meninggalkan Baron yang terdiam di tempat.

~~~

Ariana hendak membeli perlengkapan make up di supermarket. Ya, mau tak mau dia harus menuruti apa yang dosen katakan. Dia juga tak ingin perempuan bernama Agnes itu mendapat masalah karenanya.

Ariana tak tahu jikalau hari ini supir serta pembantunya sedang cuti. Dia akhirnya memutuskan untuk menaiki mobil saja. Namun....

"Loh, mobil gue mana?"

Manik matanya mengedar mencari keberadaan mobil barunya yang tak terlihat. Dia hanya menemukan dua motor besar yang tak lain merupakan milik Baron dan Mike.

Tiba-tiba terdapat sebuah panggilan masuk—itulah yang tertera dalam layar ponselnya. Ariana segera mengangkat panggilan yang ternyata dari Mike.

"Halo?"

"Halo, Nes. Sorry gue lupa bilang. Mobil lo gue pakai ya, soalnya hari ini gue ada acara di luar kota. Kalau lo mau kemana-mana lo minta anter Baron aja. Tuh anak juga lagi nganggur pastinya," ucap Mike panjang lebar dari sambungan telepon itu.

"Ih kok lo baru bilang sih? Ya udah gue naik ojek aja," tutur Ariana.

"Eh jangan! Ojek mahal, Nes. Lo harus hemat!"

"Tapi... "

"Gue udah kasih tau Baron. Lo tinggal bilang aja ke dia mau kemana."

Tutt

Panggilan pun terputus.

"Mau kemana?" tanya Baron yang tiba-tiba sudah berdiri tegak di belakang Ariana.