webnovel

Pulang

Baron memutuskan pulang. Hanya lima menit—Ya, hanya lima menit dia mengemasi baju-bajunya lalu akan pergi setelahnya. Lelaki itu tak peduli dengan pelayan di rumah yang melarangnya untuk kabur lagi. Dia juga tidak peduli dengan Ayahnya yang sudah emosi kalang-kabut.

Mario terus mencoba memaksa Baron untuk meneruskan perusahaan. Entah apa lagi rencana Ayahnya itu, namun Baron ingin segera keluar dari rumah itu. Dia sudah cukup kecewa dengan perceraian kedua orang tuanya.

"Kau tidak boleh pergi begitu saja, Baron!" teriak Mario menggelegar—jika diibaratkan mungkin tetangganya bisa saja mendengar kerasnya suara teriakan itu.

Baron masih tak acuh, dia terus melangkahkan kaki hingga ke arah pintu depan. Namun aba-aba dari Mario, membuat para bodyguard menghalangi jalan Baron untuk keluar.

"Minggir!" Baron hendak menerobos empat pria yang menghalanginya. Namun niatnya ter-urungkan sebab Mario kini berdiri tegap tepat di hadapannya.

Baron membuang wajah, tak ingin menatap wajah pria itu.

"Tatap daddy, Baron!"

Dengan kasar Mario meraih dagu Baron—memaksa anaknya agar mau menatap dirinya. Tidak. Baron tidak boleh lemah. Dia harus bisa melawan Ayahnya.

"Kamu harus nerusin perusahaan! Atau kamu nggak akan Daddy anggap sebagai anak Daddy!" ancam Mario dengan wajah tak main-main.

Baron tahu, bahwa Mario tak akan mengulangi apalagi menyesali perkataan yang pernah diikrarkan oleh mulut pedasnya itu. Lantas gen itulah menurun kepada Baron—dia juga tak akan menyesali perkataannya untuk keluar dari rumah itu.

Sebuah seringai tiba-tiba muncul pada wajah rupawan anak dari sekarang pengusaha transportasi terkaya se-Jakarta itu. Dia—Baron berdecih tepat di hadapan Ayahnya.

"Terserah Daddy mau anggap aku anak atau nggak. Yang jelas, aku nggak mau nerusin perusahaan hasil hina itu!"

Plakk!

Satu tamparan mendarat dengan mulus pada pipi kanannya. Semaksimal mungkin Baron mencoba menahan emosi agar tidak meluap. Dia tak ingin kehilangan kontrol dan malah membahayakan Mario.

"Beraninya kamu berbicara seperti itu!" teriak Mario semakin keras. Kilatan amarah sungguh terpancar di wajahnya. Para pelayan dan bodyguard diam menunduk, mungkin hanya Vernon yang sanggup melihat keadaan.

"Apa?" Baron semakin menantang, "Daddy pikir aku nggak tau, kalau perusahaan Daddy itu sebenarnya bukan milik Daddy?"

"Tidak usah bicara aneh-aneh Baron. Anak sepertimu tidak akan pernah tahu urusan orang dewasa. Kau hanya anak kecil yang sukanya balapan, menghamburkan uang demi motor balapan mu itu. Dan kabarnya, kemarin kau kalah tiga miliar bukan? Sadar, Baron! Balap bukan dunia kamu!"

Tak ingin mendengar penuturan Mario yang semakin menjadi-jadi, Baron mengambil kesempatan untuk menelusup keluar dari pintu. Secepat kilat dia berlari.

"Kalian kejar dia!" Mario sontak menyuruh bodyguard untuk menangkap Baron.

~~~

Baron tak tahu lagi akan lari kemana lagi dengan tenaganya yang cukup terkuras. Malang sekali nasibnya malam ini, dia malah meninggalkan motor balap kesayangannya di rumah sialan Ayahnya. Sempat terlintas bahwa dia ingin tinggal di rumah neneknya saja. Tetapi jika tinggal di sana, dia pasti tak akan merasakan balapan lagi. Juga, dia belum siap meninggalkan dunia balapan serta teman-temannya ke Bandung.

"Real Ghost of Rider?"

Sebuah suara berat cukup mengagetkan Baron. Dia hingga tersentak kaget mendapati pria berbadan tinggi tengah berdiri tepat di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Larry.

Ya, Baron memang sengaja ingin menemui pria itu. Dia ingin meminta bantuan, yaitu tempat tinggal untuk sementara waktu.

"Sssttt..." Larry langsung menarik tubuh Baron ketika melihat situasi. Empat orang berbadan lebih besar dari Larry dengan pakaian yang serba hitam itu mulai mengedarkan pandangan di sekitar rumah Larry.

"Ayo masuk," ajak Larry dan diangguki saja oleh Baron.

~~~

"Baron mana?"

Kalimat itu keluar secara spontan setelah Mike memasuki rumahnya yang cukup sepi. Dia hanya melihat Ariana yang sibuk dengan sebuah laptop berwarna putih tulang berlogo apel.

Ariana yang melihat kedatangan Mike pun menolehkan kepalanya. Terlihat Mike masih memakai jas almamater kampus. Raut wajah tampannya pun menggambarkan sebuah kelelahan.

"Nggak tau. Terakhir kali gue lihat dia di kampus," jawab Ariana jujur.

Mike mendudukkan dirinya tepat di samping Ariana. Dia menyenderkan punggung pada bantalan awak sofa ruang tamu. Keadaan sungguh hening. Hanya ada suara mesin kipas laptop samar-samar bersamaan dengan suara mesin AC yang menyala.

"Lo lagi ngapain? Ngerjain tugas? Udah makan belum?" tanya Mike beralih pada aktivitas Ariana.

"Eum lagi searching aja, baca-baca cerita. Udah, tadi gue udah makan." Ariana mulai khawatir, takut jika Mike mencurigainya.

Kerutan dahi pun tercetak jelas. Mike mengulangi, "Baca cerita? Sejak kapan lo suka hal-hal kayak gitu?" tanyanya terheran.

Ariana bungkam di tempat. Dia hanya ingin mencari artikel tentang Young Rider, namun keburu Mike datang. Dia akhirnya sengaja berbohong, "Baca cerita yang kayak drakor gitu vibes-nya. Ah, lo mana tau."

"Drakor? Emang masih jaman ya ngedrakor? Sekarang itu jamannya drama Thailand. Lo tahu, temen gue pada demen drama pelangi kayak gitu."

"Hah? Beneran?"

Tidak terkejut juga, sebab drama Thailand juga terkenal di tahun dunia aslinya. Tetapi sepertinya, sekarang semakin parah.

Mike mengangguk pasti, "Gue sampai khawatir kalau temen gue sendiri malah ada yang kayak gitu. Terutama Baron, kayak nggak demen banget sama cewek. Tapi gue percaya sih sama dia. Nonton TV aja nggak pernah apalagi tahu masalah drama kayak gituan."

"Eh tapi bisa aja njir." Mike tiba-tiba berubah pikiran.

Hal itu membuat Ariana terkekeh geli. Pria tampan di hadapannya ini sungguh banyak bicara. Tidak salah Ariana menciptakan Mike dengan sikap seperti ini. Sikap ceria sepertinya itu mengingatkan dia pada Galang, sahabatnya di Bandung. Ah, dia jadi merindukan teman mainnya itu.

"Nggak lah. Lo nggak usah mengada-ngada," ucapku. "Eh btw, lo belum punya doi?" Tiba-tiba saja Ariana mempertanyakan hal pribadi pada Mike.

Mike yang ditanyai seperti itu malah tersenyum. Entah apa maksud senyumnya itu—Ariana tak bisa menebaknya. Dia pun menggelengkan kepala, "Gue mau lihat lo bahagia, Nes. Itu udah lebih dari cukup buat hue daripada doi atau apalah itu."

Deg.

Apa maksudnya?

Mike terlalu penyayang. Tidak. Mike tidak boleh seperti itu. Pria itu juga memiliki dunianya sendiri. Agnes tidak boleh mendominasi dunia sang kakak.

"Kok lo gitu sih? Lo itu harusnya punya doi, nanti bisa lo kenalin ke gue, ke mama papa, dan bisa lo pamerin juga ke temen-temen lo." Ariana mulai berceloteh tentang kehidupan Mike.

"Oh jadi doi itu cuma buat dipamer-pamerin gitu? Pantesan dari sekian banyak cowok yang nembak lo, lo malah pilih Baron. Soalnya kalau mau dipamer-pamerin pasti nggak bakal ada yang ngalahin tampangnya dia. Benar begitu, nona Agnes?"